BAB II
KONSTITUSI
DI INDONESIA
A.
KONSTITUSI YANG PERNAH DIGUNAKAN DI
INDONESIA
Seorang pemikir
Romawi kuno yang bernama Cicero (106 – 43 SM) menyatakan, “Ubi
societas ibi ius”, yang berarti dimana ada masyarakat di situ ada hukum.
Ungkapan ini menunjukkan bahwa dalam setiap kehidupan kelompok masyarakat dimanapun
senantiasa terdapat aturan yang mengikat warganya guna menjamin keamanan dan
ketertiban dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Lebih-lebih dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan kehidupan kelompok manusia
yang sedemikian banyak dan sedemikian kompleks permasalahannya, maka sangat
diperlukan adanya aturan-aturan yang menjamin keamanan dan ketertiban, yang
harus ditaati oleh seluruh warga negaranya. Aturan tertinggi dalam suatu Negara
adalah Konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD).
Secara umum, Negara bisa dibagi dua
yaitu Negara konstitusional dan Negara absolut. Negara konstitusional
adalah Negara yang berdasarkan pada konstitusi atau UUD yang biasanya
memuat hal-hal pokok tentang berdirinya negara, bagaimana cara pengaturan Negara, serta apa hak dan kewajiban pemerintah dan warga negara. Sedangkan Negara Absolut adalah negara yang tidak berdasarkan konstitusi tetapi berdasarkan pada kekuasaan mutlak dari penguasa, sehingga dalam prakteknya mengarah pada system pemerintahan yang dictator (sewenang-wenang) dan membuat rakyatnya tertindas. Namun demikian dewasa ini negara absolut sudah hamper tidak ada, setiap negara telah memiliki konstitusi atau UUD.
memuat hal-hal pokok tentang berdirinya negara, bagaimana cara pengaturan Negara, serta apa hak dan kewajiban pemerintah dan warga negara. Sedangkan Negara Absolut adalah negara yang tidak berdasarkan konstitusi tetapi berdasarkan pada kekuasaan mutlak dari penguasa, sehingga dalam prakteknya mengarah pada system pemerintahan yang dictator (sewenang-wenang) dan membuat rakyatnya tertindas. Namun demikian dewasa ini negara absolut sudah hamper tidak ada, setiap negara telah memiliki konstitusi atau UUD.
1. Istilah dan
Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi
berasal dari bahasa Perancis, “Constitere” yang artinya
menetapkan atau membentuk. Dalam bahasa Inggris disebut “Constitution”.
Sedangkan dalam bahasa Belanda digunakan istilah “Constitutie”
disamping kata “Grondwet”.
Dalam istilah sehari-hari konstitusi
sering disamakan dengan Undang-Undang Dasar yang merupakan terjemahan dari bahasa
Belanda “Grondwet”, grond artinya dasar dan wet artinya undang-undang. Namun
dalam praktek, pengertian konstitusi lebih luas dari UUD, karena konstitusi
mencakup keseluruhan peraturan, baik yang tertulis (UUD) maupun yang tidak
tertulis (convention, konvensi). Jadi UUD hanya bagian dari konstitusi, dan
menurut beberapa ahli bahwa istilah konstitusi lebih tepat diartikan sebagai
hukum dasar.
Pengertian bahwa konstitusi itu lebih
luas daripada UUD dikemukakan oleh Herman Heller dalam bukunya Verfassunglehre
(Ajaran Konstitusi) sebagaimana dikutip oleh Moh. Koesnardi dan Bintan
Saragih (1994 : 140) yang membagi konstitusi dalam tiga tingkat, yaitu
:
a. Konstitusi
sebagai pengertian social politik.
Pada tingkat ini konstitusi baru mencerminkan keadaan social
politik, keadaan yang ada dalam masyarakat, belum merupakan pengertian hukum.
b. Konstitusi
sebagai pengertian hukum.
Pada tingkat ini keputusan-keputusan yang ada dalam
masyarakat tersebut dijadikan rumusan yang normatif, yang harus ditaati. Pada
tingkat ini konstitusi tidak selalu tidak tertulis, tetapi ada juga yang
tertulis dalam arti terkodifikasi (dibukukan).
c. Konstitusi
sebagai suatu peraturan hukum yang tertulis.
Dengan demikian jelas dimana UUD merupakan salah satu bagian
dari konstitusi.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh
Ferdinand Lasalle yang membagi konstitusi dalam dua golongan, yaitu :
a.
Konstitusi dalam pengertian sosiologis dan politis, yaitu
berupa factor-faktor kekuatan yang nyata ada dalam masyarakat. Konstitusi
menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang nyata dalam negara,
seperti : raja, parlemen, cabinet, pressure group, partai politik.
b.
Konstitusi dalam pengertian yuridis, yaitu yang ditulis
dalam suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi
pemerintahan.
Berikut ini adalah pengertian
konstitusi yang dikemukakan oleh para ahli :
a. James
Bryce,
Konstitusi adalah sebagai kerangka negara yang diorganisasikan dengan dan
melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan :
1) Pengaturan
mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen.
2) Fungsi
dari lembaga-lembaga tersebut.
3)
Hak-hak yang ditetapkan.
b.
C.F. Strong, Konstitusi itu sebagai sekumpulan
asas-asas yang mengatur kekuasaan peme-rintahan, hak-hak yang diperintah
(rakyat) dan hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah.
c.
E.C.S. Wade dan G. Philips, Konstitusi adalah naskah yang
memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu
negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.
d. K.C.
Wheare,
Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara, berupa
kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk dan mengatur atau memerintah dalam
pemerintahan suatu negara.
2. Pembagian Konstitusi
Dalam ketatanegaraan
dikenal ada dua macam konstitusi (hukum dasar) yaitu :
a. Hukum
dasar tertulis yang disebut dengan Undang-Undang Dasar (UUD).
b.
Hukum dasar tidak tertulis yang disebut dengan konvensi
(convention).
Hukum dasar tertulis (UUD) adalah
piagam-piagam tertulis yang sengaja diadakan dan memuat segala apa yang
dianggap fundamental (mendasar) bagi negara pada masa itu. Karena dibuat dengan
sengaja, maka UUD ini lebih terang dan tegas dari hukum dasar yang tidak
tertulis. Selain itu, UUD lebih menjamin kepastian hukum dari pada konvensi.
Oleh karena cara pembuatannya melalui suatu badan tertentu yang mnempunyai
tingkat tertinggi dalam suatu negara, menyebabkan UUD relatif sulit untuk
diadakan perubahan, sehingga UUD bersifat lebih kaku (rigid) dari pada
konvensi. Negara-negara yang mempunyai UUD misalnya : Amerika Serikat (1787),
Perancis (1791), Belanda (1814), Uni Soviet (1918), Indonesia (1945), dan lain-lain.
Dewasa ini hampir semua negara mempunyai UUD. Bahkan India adalah salah satu
negara yang memiliki UUD yang amat panjang, yakni mencapai 395 pasal.
Adapun konvensi adalah kebiasaan-kebiasaan
yang timbul dan terpelihara dalam praktek ketatanegaraan. Meskipun tidak
tertulis, konvensi mempunyai kekuatan hukum yang kuat dalam ketatanegaraan.
Bahkan konvensi ini lebih bersifat fleksibel/soepel (tidak rigid/kaku), luwes
dan mudah diubah, sehingga mudah menyesuaikan dengan keadaan. Konvensi ini
berkedudukan sebagai pelengkap dari UUD, sehingga tidak boleh bertentangan
dengan UUD. Bahkan di Indonesia, konvensi bisa dikukuhkan menjadi Ketatapan
MPR.
Ada suatu pengecualian,
yakni Inggris yang tidak mempunyai UUD, tapi pemerintahannya didasarkan pada
konvensi, antara lain :
a. Piagam
Magna Charta, tahun 1215.
b. Petition
of Rights, tahun 1628.
c. The
Habeas Corpus Act, tahun 1679.
d. Bill of
Rights, tahun 1689.
e.
Piagam Westminter, tahun 1931.
Negara Indoneisa, selain memiliki UUD
juga memiliki dan menerapkan konvensi dalam praktek ketatanegaraannya. Adapun
contoh-contoh konvensi di Indonesia antara lain :
a. Pengambilan
keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (lihat pasal 2 ayat (3) UUD
1945).
b. Pidato
Kenegaraan Presiden di depan Sidang DPR setiap tanggal 16 Agustus.
c. Pertanggung-jawaban
Presiden di akhir masa jabatannya di depan Sidang MPR serta penilaiannya dari
MPR atas pertanggung-jawaban tersebut.
d. Prakarsa
Presiden menyusun program pembangunan.
e. Ratifikasi
perjanjian-perjanjian oleh DPR.
3. Sifat dan Kedudukan
Konstitusi
Sebagai aturan/hukum dasar dalam
negara, maka konstitusi (UUD) mempunyai kedudukan tertinggi dalam peraturan
perundang-undangan suatu negara.
Hukum dasar tertinggi di Indonesia
adalah UUD 1945. Dengan demikian semua jenis peraturan perundang-undangan di
Indonesia kedudukannya di bawah UUD 1945. UUD 1945 merupakan sumber hukum
tertinggi yang resmi, artinya segala peraturan yang lebih rendah tingkatannya
harus bersumber pada UUD 1945. Dan karena itu pula, UUD 1945 berfungsi sebagai
alat control bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya, apakah sesuai atau
tidak dengan hakikat isi UUD 1945.
Sebagai hukum dasar,
UUD 1945 bersifat mengikat, mengikat pemerintah, mengikat setiap lembaga negara
dan lembaga masyarakat, serta mengikat setiap warga negara Indonesia.
4. Fungsi Konstitusi
Konstitusi yang memuat seperangkat
ketentuan atau aturan dasar suatu negara tersebut mempunyai fungsi yang sangat
penting dalam suatu negara. Mengapa ? Sebab, konstitusi menjadi pegangan dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan kata lain, penyelenggaraan negara
harus didasarkan pada konstitusi dan tidak boleh bertentangan dengan
konstitusi. Dengan adanya pembatasan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi,
maka pemerintah tidak dapat dan tidak boleh menggunakan kekuasaannya secara
sewenang-wenang.
Menurut Karl
Loewenstein, Konstitusi adalah suatu sarana dasar untuk mengawasi
proses-proses kekuasaan. Oleh karena itu setiap konstitusi senantiasa memiliki
dua tujuan, yaitu :
a. Untuk
pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik.
b.
Untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para
penguasa serta menetapkan batas-batas kekuasaannya.
C.J. Frederich menyebutkan, konstitusi sebagai proses
(tata cara) yang membatasi perilaku pemerintahan secara efektif. Dengan jalan
membagi kekuasaan, konstitusionalisme menyelenggarakan sistem pemerintahan yang
efektif atas tindakan-tindakan pemerintah. Jadi konstitusi mempunyai fungsi
yang khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi
yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat tetapi juga oleh pemerintah.
Menurut Joeniarto,
secara umum konstitusi atau UUD mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Ditinjau
dari tujuannya, yakni untuk menjamin hak-hak anggota warga masyarakatnya,
terutama warga negara dari tindakan sewenang-wenang penguasanya.
b. Ditinjau
dari penyelenggaraan pemerintahannya, yakni untuk dijadikan landasan struktural
penyelenggaraan pemerintahan menurut suatu sistem ketatanegaraan yang pasti,
yang pokok-pokoknya telah digambarkan dalam aturan-aturan konstitusi/UUD.
5. Isi Muatan Konstitusi
Konstitusi atau UUD berisi ketentuan
yang mengatur hal-hal yang mendasar dalam bernegara, seperti tentang
batas-batas kekuasaan penyelenggara pemerintahan negara, hak-hak dan kewajiban
warga negara dan lain-lain. Berikut adalah isi muatan konstitusi atau UUD
menurut para ahli :
a. A.A.H.
Struycken, UUD
(grondwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisi :
1)
Tingkat perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
2)
Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan
bangsa.
3)
Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik
waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
4)
Suatu keinginan dengan mana perkembangan ketatanegaraan
bangsa hendak dipimpin.
b. Sri
Soemantri,
Konstitusi berisi tiga hal pokok yaitu :
1) Jaminan
terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dan warga negara.
2) Susunan
ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental.
3)
Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat
fundamental.
c. Miriam
Budiardjo, Setiap
UUD memuat ketentuan-ketentuan mengenai :
1) Organisasi
negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
2) Hak-hak
asasi manusia.
3) Prosedur
mengubah UUD.
4) Ada
kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.
6. Konstitusi/UUD di
Indonesia
Sejak tanggal 18 Agustus
1945 hingga sekarang (tahun 2008/2009) negara Indonesia pernah mempergunakan
tiga macam konstitusi/UUD dengan periodesasinya sebagai berikut :
NO
|
PERIODE
|
KONSTITUSI/UUD
|
1
|
18 – 08 – 1945 s/d 27 – 12 - 1949
|
UUD 1945
|
2
|
27 – 12 – 1949 s/d 17 – 08 - 1950
|
Konstitusi RIS 1949
|
3
|
17 – 08 – 1950 s/d 05 – 07 - 1959
|
UUDS 1950
|
4
|
05 – 07 – 1959 s/d 19 – 10 - 1999
|
UUD 1945
|
5
|
19 – 10 – 1999 s/d Sekarang
|
UUD 1945 (Hasil Amandemen)
|
Dengan demikian di
Indonesia telah pernah dipergunakan tiga jenis konstitusi/UUD dalam lima
periode.
a. Periode Pertama (18
Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949)
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945, negara RI belum memiliki konstitusi/UUD. Namun sehari
kemudian, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan siding pertama yang
salah satu keputusannya adalah mengesahkan UUD yang kemudian disebut UUD 1945.
Pada saat itu UUD 1945 belum ditetapkan oleh MPR sebagaimana diatur dalam Pasal
3 UUD 1945, sebab pada saat itu MPR belum terbentuk dan PPKI dianggap sebagai
badan resmi yang mewakili seluruh bangsa Indonesia.
Naskah UUD yang disahkan oleh PPKI
tersebut disertai penjelasannya yang dimuat dalam Berita Negara RI No. 7 tahun
II 1946. UUD 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu Pembukaan, Batang
Tubuh dan Penjelasan. Batang Tubuh terdiri dari 16 bab yang terbagi dalam 37
pasal, serta 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan.
Bagaimana sistem ketatanegaraan menurut
UUD 1945 pada saat itu ? Terutama mengenai bentuk negara, kedaulatan dan sistem
pemerintahan dapat dikemukakan sebagai berikut :
Bentuk negara diatur dalam Pasal 1 ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk republik". Sebagai negara kesatuan, maka di negara RI hanya ada
satu kekuasaan pemerintahan negara, yakni di tangan Pemerintah Pusat. Di sini
tidak ada pemerintah negara bagian sebagaimana yang berlaku di negara yang
berbentuk negara serikat (federasi). Sebagai negara yang berbentuk republic,
maka kepala negara dijabat oleh Presiden yang diangkat melalui suatu pemilihan,
bukan berdasarkan keturunan seperti di kerajaan.
Kedaulatan negara diatur dalam pasal 1
ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Atas dasar itu, maka kedudukan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara, sedangkan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara
yang lain berada di bawah MPR.
Sistem pemerintahan negara diatur dalam
pasal 4 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan
menurut UUD”. Pasal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan menganut sistem
presidensial. Dalam sistem ini, Presiden selain sebagai kepala negara juga
sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai pelaksana tugas
pemerintahan adalah pembantu Presiden yang bertanggung-jawab kepada presiden,
bukan kepada DPR.
Perlu diketahui
lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi negara menurut UUD 1945 (sebelum
amandemen) adalah :
1) Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2) Presiden
3) Dewan
Pertimbangan Agung (DPA)
4) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
5) Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK)
6)
Mahkamah Agung (MA).
b. Periode Kedua (27 Desember 1949 s/d 17
Agustus 1950)
Perjalanan negara baru Republik Indonesia tidak luput dari
rongrongan pihak Belanda yang menginginkan menjajah kembali Indonesia. Belanda
berusaha memecah belah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negara-negara
“boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara
Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam Negara RI.
Bahkan kemudian Belanda melancarkan
agresi atau pendudukan terhadap ibu kota Jakarta, yang dikenal dengan Agresi
Militer I pada tanggal 21 Juli 1947 dan Agresi Militer II atas kota Yogyakarta
pada tanggal 19 Desember 1948, sehingga mengakibatkan timbulnya Perang
Kemerdekaan pertama dan kedua.
Untuk menyelesaikan pertikaian Belanda
dengan RI, lalu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dengan
menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada tanggal
23 Agustus – 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari RI,
BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg, yaitu gabungan negara-negara
boneka bentukan Belanda), dan Belanda serta sebuah Komisi PBB untuk Indonesia.
KMB tersebut
menghasilkan tiga buah persetujuan pokok yaitu :
1) Didirikannya
Negara Republik Indonesia Serikat.
2) Penyerahan
kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
3)
Didirikan Uni antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
Perubahan bentuk negara dari negara
kesatuan menjadi negara serikat mengharuskan adanya penggantian UUD. Oleh
karena itu, disusunlah naskah UUD/Konstitusi RIS, yang rancangannya dibuat oleh
delegasi RI dan delegasi BFO pada KMB.
Setelah kedua belah pihak menyetujui
rancangan tersebut, maka mulai tanggal 27 Desember 1949 diberlakukan suatu UUD
yang diberi nama Konstitusi RIS. Konstitusi ini terdiri dari Mukadimah yang
berisi 4 alinea, Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197 pasal, serta sebuah
lampiran.
Mengenai bentuk negara dinyatakan dalam
pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi, “RIS yang merdeka dan berdaulat
adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk federasi”. Dengan berubah
menjadi negara serikat/federasi, maka di dalam RIS terdapat beberapa negara
bagian, yang masing-masing memiliki kekuasaan pemerintahan di wilayah negara
bagiannya. Negara-negara bagian itu adalah : negara RI, Indonesia Timur, Pasundan,
Jawa Timur, Madura, Sumatera Timur, dan Sumatera Selatan. Selain itu terdapat
pula satuan-satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu : Jawa Tengah,
Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan
Tenggara, dan Kalimantan Timur.
Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949,
UUD 1945 tetap berlaku tetapi hanya untuk negara bagian RI yang wilayahnya
meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota di Yogyakarta.
Sistem pemerintahan yang digunakan pada
masa itu adalah sistem parlementer, sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat (1)
dan (2) Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa, “Presiden tidak dapat
diganggu gugat”. Artinya, Presiden tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban
atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala negara, tetapi
bukan kepala pemerintahan.
Kalau demikian, siapakah yang
menjalankan dan yang bertanggung-jawab atas tugas pemerintahan ?
Pada ayat (2) ditegaskan bahwa,
“Menteri-menteri bertanggung-jawab atas seluruh kebijakan pemerintah baik
bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya
sendiri-sendiri”. Dengan demikian, yang melaksanakan dan
mempertanggung-jawabkan tugas-tugas pemerintahan adalah menteri-menteri. Dalam
hal ini, kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri.
Lalu, kepada siapakah pemerintah
bertanggung-jawab ? Dalam sistem pemerintahan parlementer, pemerintah
bertanggung-jawab kepada parlemen (DPR).
Perlu diketahui bahwa
lembaga-lembaga negara menurut Konstitusi RIS adalah sebagai berikut :
1) Presiden
2) Menteri-menteri
3) Senat
4) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR/Parlemen)
5) Mahkamah
Agung (MA)
6) Dewan
Pengawas Keuangan (DPK)
c. Periode Ketiga (17
Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959)
Pada awal Mei 1950 terjadi penggabungan
negara-negara bagian dalam negara RIS, sehingga hanya tinggal tiga negara
bagian yaitu Negara RI, Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur
(NST).
Perkembangan berikutnya adalah
munculnya kesepakatan antara RIS yang mewakili NIT dan NST dengan RI untuk
kembali ke bentuk negara kesatuan. Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan
dalam Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950. Untuk mengubah negara serikat
menjadi negara kesatuan diperlukan UUD negara kesatuan, yakni dengan cara
memasukkan isi UUD 1945 ditambah bagian-bagian yang baik dari Konstitusi RIS.
Pada tanggal 15 Agustus 1950
ditetapkanlah Undang-Undang Federal No. 7 tahun 1950 tentang Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) 1950, yang berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950. Dengan
demikian sejak tanggal tersebut Konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS 1950,
dan terbentuklah kembali NKRI. UUDS 1950 terdiri dari Mukadimah dan Batang
Tubuh yang meliputi 6 bab dan 146 pasal.
Mengenai bentuk negara kesatuan
tersebut terdapat dalam pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang berbunyi, “RI yang
merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk
kesatuan”.
Sistem pemerintahan yang dianut adalah
sistem pemerintahan parlementer, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 83 ayat (1)
UUDS 1950 bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat”.
Kemudian pada ayat (2) disebutkan, “Menteri-menteri bertanggung-jawab atas
seluruh kebijakan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing
untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Hal ini berarti yang bertanggung jawab atas
seluruh kebijakan pemerintahan adalah menteri-menteri yang bertanggung jawab
kepada parlemen atau DPR.
Adapun
lembaga-lembaga menurut UUDS 1950 adalah :
1) Presiden dan
Wakil Presiden
2) Menteri-menteri
3) DPR
4) MA
5)
DPK
Sesuai dengan namanya, UUDS 1950
bersifat sementara yang nampakm pada rumusan pasal 134 bahwa, “Konstituante
(Lembaga Pembuat UUD) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya
menetapkan UUD RI yang akan menggantikan UUDS ini”. Anggota Konstituante
dipilih melalui pemilu bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November
1956 di Bandung.
Sekalipun Konstituante telah bekerja
kurang lebih selama dua setengah tahun, namun belum juga berhasil menyelesaikan
sebuah UUD. Faktor penyebabnya adalah adanya pertentangan pendapat di antara
partai-partai politik yang ada di Konstituante dan di DPR serta di badan-badan
pemerintahan.
Pada tanggal 22 April 1959 Presiden
Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke UUD 1945,
yang pada dasarnya saran tersebut dapat diterima oleh para anggota
Konstituante, tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda. Karena tidak ada kata
sepakat, akhirnya diadakanlah pemungutan suara. Namun setelah tiga kali
pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran Presiden
tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang
hadir.
Atas dasar hal
tersebut, demi untuk menyelamatkan bangsa dan negara, pada tanggal 5 Juli 1959
Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden yang isinya adalah :
1) Menetapkan
pembubaran Konstituante.
2) Menetapkan
berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3)
Pembentukan MPRS dan DPAS.
Dengan DP 5 Juli 1959, maka UUD 1945
berlaku kembali sebagai landasan konstitusional dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara RI.
d. Periode Keempat (5
Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999)
Praktik penyelenggaraan negara pada
masa berlakunya UUD 1945 sejak 5 Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999 ternyata
mengalami berbagai pergeseran, bahkan terjadinya beberapa penyimpangan. Oleh
karena itu pelaksanaan UUD 1945 selama kurun waktu tersebut dapat dipilah
menjadi dua periode yaitu Orde Lama (1959 – 1966) dan periode Orde Baru (1966 –
1999).
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan
politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden
dan juga MPRS yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya,
UUD 1945 belum dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Hal ini terjadi karena
penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang Presiden
(Soekarno) dan lemahnya control yang seharusnya dilakukan DPR terhadap
kebijakan-kebijakan Preiden.
Selain itu muncul pertentangan politik
dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanan dan
kehidupan ekonomi semakin memburuk. Puncak dari situasi tersebut adalah
munculnya pemberontakan G-30-S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa
dan negara.
Mengingat keadaan semakin membahayakan,
Ir. Soekarno selaku Presiden RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto
melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) untuk mengambil segala
tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanan, ketertiban dan ketenangan
serta kestabilan jalannya pemerintahan. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap
sebagai awal masa Orde Baru (Soeharto).
Semboyan Orde Baru pada masa itu adalah
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Apakah terwujud
tekad tersebut ? Ternyata tidak. Dilihat dari prinsip demokrasi, prinsip negara
hukum dan keadilan social ternyata masih terdapat banyak hal yang jauh dari
harapan. Hampir sama dengan pada masa Orde Lama, sangat dominannya kekuasaan
Presiden dan lemahnya control DPR.
Selain itu, kelemahan tersebut terletak
pula pada UUD 1945 itu sendiri, yang sifatnya singkat dan luwes (fleksibel),
sehingga memungkinkan munculnya berbagai penyimpangan. Tuntutan untuk merubah
atau menyempurnakan UUD 1945 tidak memperoleh tanggapan, bahkan pemerintah Orde
Baru bertekad untuk mempertahankan dan tidak merubah UUD 1945.
e. Periode Kelima (19
Oktober 1999 s/d Sekarang)
Pada tanggal 21 Mei 1998 merupakan
momentum penting dalam ketatanegaraan RI, dimana Presiden Soeharto turun dan
diganti oleh Wakil Presiden, Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie. Pergantian ini
didasarkan pada pasal 8 UUD 1945 tentang keadaan presiden dan wakil presiden RI
berhalangan.
Peristiwa tanggal 21
Mei 1998 menyiratkan adanya tiga hal penting yang berkaitan dengan
ketatanegaraan RI, yaitu :
1) Terjadinya
penggantian presiden.
2) Runtuhnya
kekuasaan Orde Baru dan munculnye Orde Reformasi
3)
Perlunya mengevaluasi mekanisme penyerahan kekuasaan dari
presiden dan wakil presiden yang diatur oleh Tap. MPR No. VII/MPR/1973.
Runtuhnya Orde Baru dan lengsernya
Presiden Soeharto merupakan keberhasilan gerakan reformasi yang dilakukan oleh
mahasiswa yang didukung oleh tokoh-tokoh reformasi. Oleh karena itu pada
tanggal 21 Mei 1998 disebut sebagai awal reformasi.
Seiring dengan tuntutan reformasi dan
setelah lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru, maka sejak tahun
1999 dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Sampai saat ini UUD
1945 sudah mengalami empat tahap perubahan, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001
dan 2002.
UUD 1945 telah mengalami perubahan yang
cukup mendasar, yang menyangkut kelembagaan negara, pemilihan umum, pembatasan
kekuasaan presiden dan wakil presiden, memperkuat kedudukan DPR, pemerintah
daerah, dan ketentuan-ketentuan yang rinci tentang HAM.
UUD 1945 hasil amandemen memang belum
dapat dilaksanakan sepenuhnya, karena memang masa berlakunya belum lama dan
masih dalam masa transisi. Namun setidaknya, setelah perubahan ada beberapa
praktek kenegaraan yang melibatkan rakyat secara langsung, seperti dalam
pemilihan Presiden, Wapres, Gubernur, Bupati dan Walikota. Hal ini tentu lebih
mempertegas prinsip kedaulatan rakyat yang dianut negara kita.
Perlu diketahui bahwa
setelah perubahan UUD 1945 terdapat lembaga-lembaga negara baru yang dibentuk
serta ada pula yang dihapus seperti DPA. Adapun lembaga-lembaga negara menurut
UUD 1945 setelah amandemen adalah :
1) Presiden
dan Wakil Presiden
2) MPR
3) DPR
4) Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)
5) BPK
6) MA
7) Mahkamah
Konstitusi (MK)
8) Komisi
Yudisial (KY)
7. Sistem Ketatanegaraan
Indonesia
Sebagaimana telah
dijelaskan dimuka, bahwa negara Indonesia pernah menggunakan tiga jenis
konstitusi/UUD, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Untuk itu kita
dapat membandingkan sistem ketatanegaraan Indonesia menurut ketiga jenis
konstitusi/UUD tersebut yang dapat dilukiskan sebagai berikut :
No
|
Aspek/Bidang
|
UUD
1945
|
Konstitusi
RIS
|
UUDS
1950
|
1
|
Bentuk
Negara
|
Republik
|
Republik
|
Republik
|
2
|
Susunan
Negara
|
Kesatuan
|
Serikat
|
Kesatuan
|
3
|
Sistem
Pemerintahan
|
Presidensil
|
Parlementer
|
Parlementer
|
Penjelasan :
1)
Bentuk Negara Republik artinya negara itu dikepalai oleh
Presiden, bukan raja atau nama lainnya.
2)
Susunan Negara :
b)
Kesatuan, yaitu dimana dalam negara hanya ada
satu pemegang kekuasaan pemerintahan yakni Pemerintah Pusat yang berdaulat
penuh ke dalam dan ke luar, memiliki satu UUD, tidak mengenal adanya negara
bagian, tetapi dikenal adanya pembagian daerah atas beberapa provinsi.
c) Serikat/Federasi, yaitu negara yang memiliki
negara-negara bagian yang berdaulat ke dalam, sedangkan kedaulatan ke luar ada pada pemerintah federal. Menurut
C.F. Strong, cirri-ciri negara federal ialah :
· Adanya
supremasi konstitusi dimana federal itu terwujud.
· Adanya
pembagian kekuasaan antara negara federal dengan negara bagian.
· Adanya satu lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan
perselisihan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian.
3) Sistem
Pemerintahan :
a) Presidensil, yakni sistem pemerintahan yang
dipegang dan dikendalikan langsung oleh Presiden. Kabinet dibentuk oleh
Presiden, menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
b) Parlementer, yaitu sistem pemerintahan yang
dipegang dan dikendalikan oleh Parlemen. Kabinet bertanggung-jawab kepada
Parlemen (DPR), kedudukan cabinet ditentukan oleh Parlemen, dan cabinet
(menteri-menteri) dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang bertanggung jawab
kepada Parlemen.
B.
PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN TERHADAP
KONSTITUSI
1.
Indonesia Negara Konstitusional
Negara Indonesia adalah negara
konstitusional, yaitu negara yang berdasarkan pada konstitusi, tidak bersifat
absolutism yang berdasarkan pada kekuasan mutlak. Oleh karena itu pemerintahan
Indonesia merupakan pemerintahan yang konstitusional, artinya pemerintahan yang
berdasarkan pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar, yakni UUD 1945.
Indonesia sebagai
negara konstitusional sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 yaitu :
a. Pasal 1
ayat (2) berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”.
b. Pasal 4 ayat (1) berbunyi, “Presiden RI memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
c.
Dalam Penjelasan disebutkan, “Pemerintahan berdasar atas
sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang
tidak terbatas)”.
Negara konstitusional
memiliki konstitusi yang bercirikan :
a. Membatasi
kekuasaan pemerintah.
b.
Menjamin hak asasi manusia dan hak warga negara.
2.
Sistem Ketatanegaraan Indonesia
berdasarkan UUD 1945
Berdasarkan UUD 1945 setelah amandemen
secara terperinci sistem ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai berikut :
1) Bentuk negara Indonesia adalah kesatuan sedangkan bentuk
pemerintahan adalah republik (pasal 1 ayat 1).
2) Negara Indonesia adalah negara demokrasi yakni kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (pasal 1 ayat 2).
3)
Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3).
4) Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum
dasar) tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas). (Penjelasan).
5)
Sistem pemerintahan adalah presidensiil. Presiden
berkedudukan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan (pasal 4
ayat 1). Presiden dan wakil presiden dipilih rakyat secara langsung dalam satu
paket (pasal 6.A ayat 1).
6) Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas artinya kekuasaan
kepala negara (presiden) memang besar, tetapi tetap ada batasnya antara lain
UUD dan berbagai bentuk peraturan perundang-undangan lainnya (pasal 10 – 15).
7)
Sebagai kepala pemerintahan, presiden membentuk cabinet
(pasal 17)
8) DPD adalah perwakilan dari daerah provinsi yang anggotanya
dipilih oleh rakyat di daerah yang bersangkutan (pasal 22.C).
9)
Selain DPR dan DPD terdapat MPR yang memiliki jabatan selama
5 tahun (Pasal 2 dan 3).
10) Kekuasaan
membentuk undang-undang (legislatif) adalah DPR. Selain itu DPR menetapkan
anggaran belanja negara dan mengawasi jalannya pemerintahan. (pasal 20.A)
11) Kekuasaan
yudikatif berada pada MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta
sebuah Mahkamah Konstitusi (pasal 24 ayat 2) dan juga Komisis Yudisial (pasal
24.B).
12) Pemerintah
daerah terdapat di daerah provinsi dan kabupaten/kota (pasal 18).
13) Pemilu
diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD provinsi serta DPRD
kabupaten/kota serta memilih paket presiden dan wakil presiden (pasal 22.E ayat
2).
14) Indonesia
menjalankan otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggung-jawab (pasal 18
ayat 5)
15)
Sistem kepartaian adalah multi partai.
3.
Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada
masa Orde Lama (1945 – 1965)
Selama pemerintahan Orde Lama
(pemerintahan Soekarno) sejak awal kemerdekaan 1945 hingga 1965 terdapat
beberapa penyimpangan terhadap UUD 1945 yang dapat kita temui dalam tiga
periode yaitu :
a.
Periode tahun 1945 –
1949 (UUD 1945)
1)
Keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor : X (baca: eks)
tanggal 16 Oktober 1945 yang mengubah fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP yang dibentuk PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945) dari pembantu presiden
menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut serta menetapkan GBHN
sebelum terbentuknya MPR, DPR dan DPA.
Padahal fungsi tersebut seharusnya dilakukan oleh lembaga DPR dan MPR.
Hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 pasal 4 Aturan Peralihan yang
berbunyi, “Sebelum MPR, DPR dan DPA terbentuk, segala kekuasaan dilaksanakan
oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional”.
2)
Keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945
berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang
merubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan
parlementer. Hal ini bertentangan dengan pasal 4 ayat (1) dan pasal 17 UUD
1945.
b.
Periode tahun 1949 –
1950 (Konstitusi RIS)
Bertepatan dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, maka
Konstitusi RIS diberlakukan sejak tanggal 27 Desember 1945. Dengan berlakunya
Konstitusi RIS jelas terdapat penyimpangan terhadap UUD 1945 yang pada saat itu
hanya berlaku di negara bagian RI yang wilayahnya meliputi Jawa dan Sumatera
dengan ibu kota Yogyakarta. Penyimpangan terhadap UUD 1945 antara lain :
1)
Berubahnya bentuk negara kesatuan menjadi bentuk negara
serikat atau federal. Hal ini berdasarkan ketentuan Konstitusi RIS pasal 1 ayat
(1) yang berbunyi, “RIS yang merdeka dan berdaulat adalah negara hukum yang
demokratis dan berbentuk federasi”. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945
pasal 1 ayat (1) yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara kesatuan
yang berbentuk republik”.
2) Berubahnya sistem pemerintahan presidensil menurut UUD 1945
menjadi sistem parlementer, sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat (1) dan (2)
Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa, “Presiden tidak dapat diganggu
gugat”. Artinya, Presiden tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban atas
tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala negara, tetapi bukan
kepala pemerintahan. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 4 ayat (1) yang
berbunyi, “Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”.
c.
Periode tahun 1950 –
1959 (UUDS 1950)
Pada tanggal 20 Juli 1950 Pemerintah RIS dan RIS menyetujui
Rancangan UUDS yang telah disusun oleh kedua belah pihak. Rancangan UUDS ini
kemudian mendapat pengesahan dari DPR RIS dan BP-KNIP. Pada tanggal 15 Agustus
1950 Presiden Soekarno di hadapan rapat gabungan DPR dan Senat menandatangani
naskah UU Federasi No. 7 tahun 1950 yang memuat perubahan Konstitusi RIS
menjadi UUDS 1950 yang mulai berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak berlakunya UUDS 1950 bentuk
negara kembali menjadi negara kesatuan. Hal ini terdapat dalam pasal 1 ayat (1)
UUDS 1950 yang berbunyi, “RI yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara
hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Namun demikian sistem pemerintahan yang
dianut masih sistem pemerintahan parlementer, sebagaimana dinyatakan dalam
pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat
diganggu gugat”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan, “Menteri-menteri
bertanggung-jawab atas seluruh kebijakan pemerintah, baik bersama-sama untuk
seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Hal ini
berarti yang bertanggung jawab atas seluruh kebijakan pemerintahan adalah
menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen atau DPR.
d.
Periode tahun 1959 –
1966 (UUD 1945 pasca Dekrit).
Dengan dasar yang kuat dan dukungan
dari sebagian besar rakyat, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya yaitu :
1) Pembubaran
Konstituante.
2) Berlakunya
kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3)
Pembentukan MPRS yang terdiri dari anggota-anggota DPR
ditambah utusan daerah dan golongan, serta DPAS akan diselenggarakan dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dekrit inilah yang menjadi dasar hukum
berlakunya kembali UUD 1945. Namun demikian pelaksanaan UUD 1945 pada masa ini
tercatat ada beberapa penyimpangan, antara lain :
1) Diterapkannya demokrasi terpimpin yang pelaksanaannya jauh
menyimpang dari ketentuan Pancasila dan UUD 1945.
2) Presiden telah mengeluarkan produk peraturan dalam bentuk Penetapan
Presiden, yang hal itu tidak dikenal dalam UUD 1945.
3)
MPRS dengan Ketetapan No. I/MPRS/1960 telah menetapkan
Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi
Kita (Manifesto Politik RI) sebagai GBHN yang bersifat tetap.
4) Pimpinan lembaga-lembaga negara diberi kedudukan sebagai
menteri-menteri negara, yang berarti menempatkannya sejajar dengan pembantu
presiden.
5)
Hak budget tidak berjalan, karena setelah tahun 1960
pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapat persetujuan DPR sebelum
berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan.
6) Pada tanggal 5 Maret 1960, melalui Penetapan Presiden No. 3
tahun 1960, Presiden membubarkan anggota DPR hasil Pemilu 1955. Kemudian
melalui Penetapan Presiden No. 4 tahun 1960 tanggal 24 Juni 1960 dibentuklah DPR
Gotong-Royong (DPR-GR) yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 19 ayat (1) yang
menyatakan, “Susunan DPR ditetapkan dengan undang-undang”. Kemudian
Penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara RI menyatakan, “Kedudukan
DPR adalah kuat. Dewan ini tidak dapat dibubarkan oleh Presiden”.
7)
Dibentuknya MPRS yang seluruh anggotanya diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 yakni
dengan :
1. Pasal 1
ayat (2) yang menyatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR”.
2. Pasal 2
ayat (1) yang menyatakan, “MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah
dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan
yang ditetapkan dengan undang-undang”.
3. Penjelasan
UUD 1945 tentang pokok-pokok sistem pemerintahan negara RI yang menyatakan, “Kekuasaan
negara tertinggi di tangan MPR (Die Gezamte Staatgewalt liegi allein bei der
Majelis)”. Majelis ini memegang kekuasaan negara tertinggi, sedangkan
Presiden harus menjalankan haluan negara yang ditetapkan oleh MPR, serta
presiden diangkat oleh Majelis, bertindak dan bertanggung-jawab kepada MPR.
8)
MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup
melalui Ketetapan Nomor III/MPRS/1963.
Hal ini sangat bertentangan dengan pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden
dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya
dapat dipilih kembali”.
9)
Kedaulatan rakyat dan semua kekuasaan negara, baik
eksekutif, legislatif dan yudikatif ada dalam satu tangan, yaitu dalam
kekuasaan Presiden Soekarno. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 dimana
terdapat pembagian kekuasaan eksekutif (presiden), legislatif (DPR) dan
Yudikatif (MA).
4.
Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada
masa Orde Baru (1966 – 1998)
Masa Orde Baru atau masa pemerintahan
Soeharto ditandai dengan dikeluarkannya Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966
oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Supersemar. Di masa Orde Baru inipun tercatat beberapa penyimpangan
terhadap UUD 1945, antara lain :
a)
Dalam prakteknya kekuasaan negara bertumpu pada kekuasaan
Presiden Soeharto sejalan dengan tidak berjalannya fungsi control dari MPR dan
DPR.
b)
MPR berketetapan tidak berkehendak dan akan melakukan
perubahan terhadap UUD 1945 serta akan melaksanakannya secara murni dan
konsekuen (Pasal 104 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 tentang Tata Tertib MPR).
Hal ini bertentangan dengan pasal 3 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada
MPR untuk menetapkan UUD dan GBHN, serta pasal 37 yang memberikan kewenangan
kepada MPR untuk mengubah UUD.
c)
MPR mengeluarkan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang
Referendum yang mengatur tata cara perubahan UUD yang tidak sesuai dengan pasal
37 UUD 1945.
d)
Umumnya menteri menjadi anggota MPR, bahkan gubernur
otomatis menjadi anggota MPR dari utusan daerah. Hal ini tidak sesuai dengan
apirasi rakyat, karena di satu pihak menteri dan gubernur adalah pelaksana
pemerintahan yang berada di bawah Presiden, tetapi di pihak lain mereka menjadi
anggota MPR yang harus menilai pertanggung-jawaban Presiden.
5.
Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada
masa Orde Reformasi (1998 – Sekarang)
Peristiwa tanggal 21 Mei 1998 dianggap sebagai
momentum penting dalam ketatanegaraan Indonesia, karena pada saat itu telah
berakhir kekuasaan Orde Baru dan diganti dengan Orde Reformasi.
Di masa Orde Reformasi inilah UUD 1945
telah mengalami perubahan sebanyak empat tahap, yakni tahun 1999, 2000, 2001
dan 2002. UUD 1945 hasil perubahan belum begitu lama dilaksanakan, karena itu
keterlaksanaannya belum banyak dipersoalkan. Lebih-lebih mengingat agenda
reformasi itu sendiri antara lain adalah perubahan (amandemen) UUD 1945.
Namun demikian, terdapat ketentuan UUD
1945 hasil amandemen yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah, yaitu anggaran
pendidikan dalam APBN dan APBD yang belum mencapai 20%. Hal ini dianggap
bertentangan dengan pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari
APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Akan
tetapi mulai tahun 2009 ini Pemerintah Pusat telah menentukan anggaran
pendidikan sebanyak 20% dalam APBN, maka tinggal menunggu kebijakan
daerah-daerah tentang hal yang sama.
6.
Usaha Membatasi Kekuasaaan Pemerintah
Untuk menghindari kekuasaan pemerintah
yang mutlak, maka dalam UUD 1945 telah diatur adanya pembatasan kekuasan
pemerintah, yaitu :
a. Presiden
dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas
usul DPR. (pasal 7.A)
b. Presiden
tidak dapat membekukan dan atau membubarkan DPR. (pasal 7.C)
c. Presiden
dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
(pasal 7)
d. Presiden
dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain. (pasal 11 ayat 1)
e.
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan DPR. (pasal 11 ayat 2)
f.
Presiden mengangkat duta dan konsul dengan memperhatikan
pertimbangan DPR. (pasal 13)
g. Presiden
member grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA. (pasal 14
ayat 1)
h. Presiden
member amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. (pasal 14
ayat 2)
i.
Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai
Pengganti Undang-Undang (Perpu), yang harus mendapat persetujuan DPR dalam
persidangan berikutnya. (pasal 22)
Untuk menjamin hak-hak warga negara dan
hak asasi manusia, maka dalam UUD 1945 telah diatur sebagai berikut :
a. Pasal 27
sampai dengan pasal 34 mengenai hak dan kewajiban warga negara.
b.
Pasal 28.A sampai dengan 28.J mengenai hak asasi manusia.
7.
Dampak penyimpangan konstitusi terhadap
sistem demokrasi di Indonesia
Penyimpangan
terhadap konstitusi akan menyebabkan timbulnya krisis konstitusional, krisis
konstitusional yang berlarut-larut akan menimbulkan krisis politik dan krisis
politik yang berkepanjangan akan meluas ke dalam krisis dalam berbagai bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dari
penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945 yang pernah kita alami, maka dapat
dirasakan pula dampak negatifnya terhadap kehidupan demokrasi dalam negara,
antara lain :
a.
Hilangnya pembagian kekuasaan dan kekuasaan negara menjadi
tumpang tindih bahkan bertumpu pada satu tangan, seperti pada tangan Presiden.
b.
Kedudukan dan fungsi lembaga-lembaga negara menjadi tumpang
tindih menurut kehendak pemegang kekuasaan yang inkonstitusional.
c.
Hak asasi manusia dan hak warga negara menjadi terabaikan
bahkan tidak dapat terjamin oleh negara.
d.
Kehidupan politik tidak stabil menimbulkan keamanan negara
pun tidak stabil, sehingga pembangunan nasional praktis tidak dapat
dilaksanakan dengan baik, bahkan melahirkan krisis di berbagai bidang.
e.
Ketidak-stabilan politik juga akan dapat dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok yang hendak memecah-belah keutuhan NKRI, seperti dengan
mengadakan pemberontakan untuk merebut kekuasaan negara atau memisahkan diri
dari bingkai NKRI.
C.
HASIL-HASIL AMANDEMEN UUD 1945
1.
Cara Perubahan Konstitusi
Konstitusi merupakan peraturan yang
mengatur kehidupan warga negara, maka harus sesuai dengan perkembangan
kehidupan warga negara. Oleh karena itu suatu konstitusi pada masa tertentu
memerlukan adanya perubahan atau amandemen.
Dalam Hukum Tata Negara dikenal adanya
dua cara perubahan UUD sebagai konstitusi tertulis, yaitu :
a.
Verfassung Anderung, yakni perubahan secara
konstitusional, artinya perubahan dilakukan menurut prosedur yang diatur
sendiri oleh UUD yang bersangkutan.
b.
Verfassung Wandlung, yakni perubahan secara revolusioner,
artinya perubahan yang dilakukan tidak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
UUD yang bersangkutan.
2.
Teknik Perubahan Konstitusi
Teknik perubahan UUD dikenal dengan
adanya dua tradisi, yaitu tradisi Eropa Kontinental dan tradisi Amerika
Serikat.
a. Eropa
Kontinental.
Dalam tradisi ini perubahan dilakukan langsung dalam teks UUD. Jika perubahan
itu menyangkut materi tertentu, tentulah naskah UUD yang asli tidak banyak
mengalami perubahan. Tetapi jika materi yang diubah banyak, apalagi kalau
perubahannya mendasar, maka biasanya naskah UUD itu disebut dengan nama baru
sama sekali. Jadi dalam hal ini bukan perubahan, tetapi penggantian.
b. Amerika
Serikat. Dalam
tradisi ini perubahan dilakukan terhadap materi tertentu dengan menetapkan
naskah amandemen yang terpisah dari naskah asli UUD.
3.
Dasar Pemikiran Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD atau sering pula
digunakan istilah amandemen UUD adalah salah satu agenda reformasi. Perubahan
itu dapat berupa pencabutan, penambahan dan perbaikan.
Mengenai amandemen UUD 1945 sendiri
dilandasi oleh beberapa dasar pemikiran sebagai berikut :
a. UUD 1945
memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden yang meliputi kekuasaan
eksekutif dan legislatif, khususnya dalam membentuk undang-undang.
b. UUD 1945
mengandung pasal-pasal yang terlalu luwes (fleksibel), sehingga dapat
menimbulkan lebih dari satu tafsir (multitafsir).
c.
Kedudukan Penjelasan UUD 1945 seringkali diperlakukan dan
mempunyai kekuatan hukum seperti pasal-pasal (batang tubuh) UUD 1945.
4.
Dasar Politis dan Yuridis Perubahan UUD
1945
Pelaksanaan amandemen UUD 1945 memiliki
dasar politis dan yuridis. Yang menjadi dasar politis, yaitu mempelajari,
menelaah dan mempertimbangkan dengan seksama dan sungguh-sungguh hal-hal yang
bersifat mendasar yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara.
Sedangkan yang menjadi dasar hukum (yuridis) amandemen UUD
1945 adalah UUD 1945 itu sendiri yaitu pasal 37 sebagai berikut :
a. Ayat 1 :
“Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus
hadir”.
b.
Ayat 2 : “Putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir”.
5.
Prosedur Perubahan UUD 1945
Prosedur perubahan UUD 1945 secara eksplisit telah
ditentukan oleh pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD 1945, yakni :
a. Perubahan
dilakukan melalui Sidang MPR.
b. Dalam
siding tersebut sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir.
c.
Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
daripada jumlah anggota yang hadir.
6.
Latar Belakang dan Tujuan Perubahan UUD
1945
Ada dua hal yang menjadi latar belakang perubahan UUD 1945,
yaitu :
a.
Tuntutan demokrasi. UUD 1945 disusun pada masa persiapan kemerdekaan Indonesia
dengan situasi yang serba mendesak. Oleh karena itu terdapat pasal-pasal yang
diarahkan untuk kepentingan pemimpin terdahulu, serta tidak adanya pasal-pasal
yang secara rinci dan tegas menjamin hak asasi manusia. Oleh karena itu,
perubahan UUD 1945 dilakukan dalam rangka memenuhi tuntutan kehidupan yang
lebih demokratis.
b.
Perkembangan zaman. Dalam hal ini UUD 1945 (sebelum amandemen) mengandung
beberapa pasal yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan
permasalahan kenegaraan dewasa ini. Oleh karena itu diperlukan perubahan agar
dapat lebih sesuai dengan perkembangan zaman.
Amandemen UUD 1945 memiliki beberapa tujuan, antara lain :
a.
Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam
mencapai tujuan nasional dan memperkukuh NKRI.
b.
Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan
kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan
perkembangan paham demokrasi.
c.
Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan
perlindungan HAM agar sesuai dengan perkembangan paham HAM dan peradaban umat
manusia yang merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang tercantum dalam UUD
1945.
d.
Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara
demokratis dan modern.
e.
Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam
penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan
demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum.
f.
Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan berbangsa dan
bernegara sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan bangsa dan negara.
Dalam melakukan perubahan terhadap UUD
1945 terdapat beberapa kesepakatan dasar, yaitu :
a. Tidak
mengubah Pembukaan UUD 1945.
b. Tetap
mempertahankan NKRI.
c. Mempertegas
sistem pemerintahan presidensial.
d.
Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan
dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh).
7.
Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945
Prubahan terhadap UUD 1945 dilakukan
secara bertahap karena mendahulukan pasal-pasal yang disepakati oleh semua
fraksi di MPR, kemudian dilanjutkan dengan perubahan terhadap pasal-pasal yang
lebih sulit memperoleh kesepakatan. Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan
sebanyak empat kali melalui mekanisme siding MPR, yaitu :
a. Sidang
Umum MPR 1999 tanggal 14 – 21 Oktober 1999.
b. Sidang
Tahunan MPR 2000 tanggal 7 – 18 Agustus 2000.
c. Sidang
Tahunan MPR 2001 tanggal 1 – 9 November 2001.
d.
Sidang Tahunan MPR 2002 tanggal 1 – 11 Agustus 2002.
Perubahan UUD 1945 dimaksudkan untuk
menyempurnakan UUD itu sendiri, bukan untuk mengganti. Secara umum hasil
perubahan yang dilakukan secara bertahap adalah sebagai berikut :
a.
Perubahan Pertama
Perubahan pertama terhadap UUD 1945 ditetapkan pada tanggal
19 Oktober 1999 dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah yang berhasil
mematahkan semangat yang cenderung mensakralkan atau menjadikan UUD 1945
sebagai sesuatu yang suci yang tidak boleh disentuh ole hide perubahan.
Perubahan pertama terhadap UUD 1945 meliputi 9 pasal, 16
ayat, yaitu :
No
|
Pasal yang Diubah
|
Isi Perubahan
|
1
|
Pasal 5 ayat 1
|
Hak Presiden untuk mengajukan RUU kepada DPR
|
2
|
Pasal 7
|
Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wapres
|
3
|
Pasal 9 ayat 1 dan 2
|
Sumpah Presiden dan Wapres
|
4
|
Pasal 13 ayat 2 dan 3
|
Pengangkatan dan penempatan Duta
|
5
|
Pasal 14 ayat 1
|
Pemberian grasi dan rehabilitasi
|
6
|
Pasal 14 ayat 2
|
Pemberian amnesti dan abolisi
|
7
|
Pasal 15
|
Pemberian gelar, tanda jasa dan kehormatan lain
|
8
|
Pasal 17 ayat 2 dan 3
|
Pengangkatan Menteri
|
9
|
Pasal 20 ayat 1 - 4
|
Fungsi dan hak DPR
|
10
|
Pasal 21
|
Hak DPR mengajukan usul RUU
|
b.
Perubahan Kedua
Perubahan kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000 yang
meliputi 27 pasal yang tersebat dalam 7 bab, yaitu :
No
|
Bab yang Diubah
|
Isi Perubahan
|
1
|
Bab VI
|
Pemerintahan daerah
|
2
|
Bab VII
|
DPR
|
3
|
Bab IX.A
|
Wilayah negara
|
4
|
Bab X
|
Warga negara dan penduduk
|
5
|
Bab X.A
|
Hak asasi manusia (HAM)
|
6
|
Bab XII
|
Pertahanan dan keamanan
|
7
|
Bab XV
|
Bendera, bahasa, lambing negara dan lagu kebangsaan
|
c.
Perubahan Ketiga
Perubahan ketiga ditetapkan pada tanggal 10 November 2001,
meliputi 23 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu :
No
|
Bab
yang Diubah
|
Isi
Perubahan
|
1
|
Bab I
|
Bentuk
dan kedaulatan
|
2
|
Bab II
|
MPR
|
3
|
Bab III
|
Kekuasaan
pemerintahan negara
|
4
|
Bab V
|
Kementerian
negara
|
5
|
Bab
VII.A
|
DPR
|
6
|
Bab
VII.B
|
Pemilu
|
7
|
Bab
VIII.A
|
BPK
|
d.
Perubahan Keempat
Perubahan keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002,
meliputi 16 pasal yang terdiri atas 31 butir ketentuan serta 1 butir yang
dihapuskan. Dalam naskah perubahan keempat ini ditetapkan bahwa :
1)
UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama,
kedua, ketiga dan keempat adalah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18
Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
2)
Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR-RI
ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahuhan MPR-RI dan mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
3)
Bab IV tentang DPA dihapuskan dan pengubahan substansi pasal
16 serta penempatan-nya ke dalam bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara.
Hasil perubahan keempat terhadap UUD 1945 secara terperinci
adalah sebagai berikut :
No
|
Pasal yang Diubah
|
Isi Perubahan
|
1
|
Pasal 2 ayat 1
|
MPR
|
2
|
Pasal 6.A ayat 4
|
Presiden dan Wakil Presiden
|
3
|
Pasal 8 ayat 3
|
Presiden dan Wakil Presiden
|
4
|
Pasal 16
|
Dewan Pertimbangan Presiden
|
5
|
Pasal 23.B
|
Macam dan harga mata uang
|
6
|
Pasal 23.D
|
Bank sentral
|
7
|
Pasal 24 ayat 3
|
Kekuasaan kehakiman
|
8
|
Pasal 31 ayat 1 - 5
|
Pendidikan
|
9
|
Pasal 32 ayat 1 dan 2
|
Kebudayaan
|
10
|
Pasal 33 ayat 4 dan 5
|
Perekonomian nasional
|
11
|
Pasal 34 ayat 1 - 4
|
Kesejahteraan sosial
|
12
|
Pasal 37 ayat 1 - 5
|
Perubahan UUD
|
13
|
Pasal 1 Aturan Peralihan
|
Peraturan perundang-undangan
|
14
|
Pasal II Aturan Peralihan
|
Lembaga negara
|
15
|
Pasal III Aturan Peralihan
|
Mahkamah Konstitusi
|
16
|
Pasal 1 Aturan Tambahan
|
MPR
|
17
|
Pasal II Aturan Tambahan
|
Struktur UUD 1945
|
Secara umum dilihat dari jumlah bab,
pasal dan ayatnya, hasil perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut :
No
|
Sebelum Perubahan
|
Setelah Perubahan
|
1
|
16 bab
|
21 bab
|
2
|
37 pasal
|
73 pasal
|
3
|
49 ayat
|
170 ayat
|
4
|
4 pasal Aturan Peralihan
|
3 pasal Aturan Peralihan
|
5
|
2 ayat Aturan Tambahan
|
2 ayat Aturan Tambahan
|
6
|
Dilengkapi Penjelasan
|
Tanpa Penjelasan
|
Pada dasarnya mengubah atau
mengamandemen suatu peraturan dimaksudkan untuk menyempurnakan, melengkapi atau
mengganti peraturan yang sudah ada sebelumnya. Tentu saja hasil perubahan itu
diharapkan lebih baik dan berguna bagi rakyat. Demikian pula halnya perubahan
terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 bukan hanya
menyangkut perubahan jumlah bab, pasal dan ayat, tetapi juga ada perubahan
sistem ketatanegaraan RI. Hasil-hasil perubahan tersebut menunjukkan adanya
penyempurnaan kelembagaan negara, jaminan dan perlindungan HAM, dan
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis. Hasil-hasil perubahan
tersebut telah melahirkan peningkatan pelaksanaan kedaulatan rakyat, utamanya
dalam pemilihan presiden dan kepala daerah yang secara langsung oleh rakyat.
Perubahan itu secara global adalah sebagai berikut :
a. MPR yang semula sebagai lembaga tertinggi negara dan berada
di atas lembaga negara lain, berubah menjadi lembaga negara yang sejajar dengan
lembaga negara lainnya, seperti DPR, Presiden, BPK, MA, MK, DPD, dan KY.
b.
Pemegang kekuasaan membentuk undang-undang yang semula
dipegang oleh Presiden beralih ke tangan DPR.
c. Presiden dan Wakil Presiden yang semula dipilih oleh MPR
berubah menjadi dipilih oleh rakyat secara langsung dalam satu paket
(pasangan).
d. Periode masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang semula
tidak dibatasi, berubah menjadi maksimal dua kali masa jabatan.
e.
Adanya lembaga negara yang berwenang menguji undang-undang
terhadap UUD 1945 yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).
f. Presiden dalam hal mengangkat dan menerima duta dari negara
lain harus memperhatikan pertimbangan DPR.
g. Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR dalam hal
member amnesti dan rehabilitasi.
D.
Sikap Positif Terhadap UUD 1945 Hasil Amandemen
1.
Pentingnya Amandemen UUD 1945 bagi Bangsa Indonesia
Perubahan terhadap UUD 1945 memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan
bangsa Indonesia, antara lain :
a. Menghilangkan
pandangan adanya keyakinan bahwa UUD 1945 merupakan hal yang sakral, tidak bisa
diubah, diganti dan dikaji secara mendalam tentang kebenarannya, seperti
doktrin yang diterapkan pada masa Orde Baru.
b. Perubahan
UUD 1945 memberikan peluang kepada bangsa Indonesia untuk membangun dirinya,
yakni melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan kondisi dan aspirasi
masyarakat.
c.
Perubahan
UUD 1945 mendidik jiwa demokrasi dan menghilangkan kesan jiwa UUD 1945 yang sentralistik
dan otoriter, sebab dengan adanya amandemen UUD 1945 masa jabatan dan kekuasaan
Presiden dibatasi serta sistem pemerintahan desentralisasi dan pemberian
otonomi kepada daerah.
d.
Perubahan
UUD 1945 menghidupkan perkembangan politik ke atas keterbukaan.
e. Perubahan
UUD 1945 mendorong para cendikiawan dan berbagai tokoh masyarakat untuk lebih
proaktif dan kreatif mengkritisi pemerintah (demi kebaikan), sehingga mendorong
kehidupan bangsa yang dinamis (berkembang) dalam segala bidang, guna mewujudkan
kehidupan yang maju dan sejahtera sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah
maju.
2.
Makna Kesetiaan pada Konstitusi
Warga negara yang baik wajib memiliki kesetiaan terhadap bangsa dan
negara. Kesetiaan itu apabila diperinci mencakup 4 hal, yaitu :
a.
Kesetiaan
terhadap ideologi negara.
b.
Kesetiaan
terhadap konstitusi negara.
c.
Kesetiaan
terhadap peraturan perundang-undangan negara.
d.
Kesetiaan
terhadap kebijakan pemerintah.
Dengan demikian salah satu indicator seorang warga negara yang baik
adalah memiliki kesetiaan terhadap konstitusi negara. Seorang warga negara
Indonesia yang baik wajib memiliki kesetiaan terhadap konstitusi negara RI,
yakni UUD 1945. Kesetiaan ini senantiasa melahirkan sikap perilaku yang positif
terhadap UUD 1945.
Setia terhadap konstitusi atau UUD 1945 memiliki makna menunjukkan
perilaku peduli/memperhatikan, mempelajari isinya, mengkaji maknanya,
melaksanakan nilai-nilai dan aturan yang ada di dalamnya, mengamankan dan
mempertahankan pelaksanaannya, serta berani membela/menegakkan jika konstitusi
itu dilanggar.
3.
Pengaruh Amandemen UUD 1945 terhadap Sistem Pemerintahan Demokrasi
Perubahan terhadap UUD 1945 telah memberikan pengaruh yang sangat
besar terhadap sistem pemerintahan demokrasi di Indonesia. Hal dikarenakan adanya
perubahan-perubahan penting, seperti penyempurnaan kelembagaan negara,
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis, dan peningkatan pelaksanaan
kedaulatan rakyat. Hal ini dapat dilihat pada hasil-hasil perubahan yang telah
kita pelajari sebelumnya.
4.
Pengaruh Amandemen UUD 1945 terhadap Jaminan Perlindungan HAM
Perubahan
terhadap UUD 1945 juga telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
jaminan HAM. Hal ini Nampak jelas dengan dicantumkannya pasal-pasal khusus yang
secara rinci menunjukkan jaminan HAM secara konstitusional. Begitu pula sejalan
dengan pelaksanaan UUD 1945 tersebut telah lahir beberapa instrumen (peraturan
dan kelembagaan) yang ditujukan untuk menjamin perlindungan dan penegakkan HAM.
5.
Sikap Positif terhadap UUD 1945 Hasil Amandemen
Sebagai wujud kesetiaan terhadap konstitusi, setiap warga negara
Indonesia hendaknya mampu menampilkan sikap positif terhadap pelaksanaan UUD
1945 hasil amandemen. Sikap positif tersebut antara lain :
a.
Menghargai
upaya yang dilakukan oleh para mahasiswa dan para politisi yang dengan gigih
memperjuangkan reformasi tatanan kehidupan bernegara yang diatur dalam UUD 1945
sebelum perubahan.
b.
Menghargai
upaya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara, khususnya MPR yang telah
melakukan perubahan terhadap UUD 1945.
c.
Menyadari
manfaat hasil perubahan UUD 1945.
d.
Mengkritisi
penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan UUD 1945 hasil perubahan.
e.
Mematuhi
aturan dasar hasil perubahan UUD 1945.
f.
Berpartisipasi
secara aktif dan bertanggung jawab dalam melaksanakan aturan hasil perubahan
UUD 1945.
g.
Menghormati
dan melaksnakan aturan-aturan lain di bawah UUD 1945 termasuk tata tertib
sekolah.
Tanpa sikap positif warga negara terhadap pelaksanaan UUD 1945
hasil amandemen, maka hasil perubahan UUD 1945 itu tidak akan banyak berarti
bagi kebaikan hidup bernegara. Tanpa kesadaran untuk mematuhi UUD 1945 hasil
amandemen, maka penyelenggaraan negara dan kehidupan bernegara tidak akan jauh
berbeda dengan sebelumnya. Itulah beberapa sikap dan perilaku yang hendaknya
ditunjukkan oleh warga negara yang baik.
Petunjuk : Bubuhkan tanda cek (V) dan berikan alasan sesuai dengan
sikap kalian terhadap pernyataan di bawah ini.
No
|
Pernyataan
|
S
|
TS
|
Alasan
|
1
|
Perubahan UUD 1945 berpengaruh terhadap kehidupan yang lebih
demokratis.
|
|||
2
|
Perubahan UUD 1945 belum mampu mening-katkan penegakan hukum.
|
|||
3
|
Perubahan UUD 1945 dapat menciptakan ke-hidupan masyarakat yang
lebih aman, tertib dan damai.
|
|||
4
|
Perubahan UUD 1945, terutama tentang kebi-jakan otonomi daerah,
telah membawa kema-juan bagi daerah.
|
|||
5
|
Pemilihan umum masa Orde Baru lebih demokratis daripada masa
sekarang.
|
|||
6
|
Setelah perubahan UUD 1945, rakyat kurang terlibat dalam
pemilihan kepala daerah.
|
|||
7
|
Pada masa sekarang sering terjadi pelang-garan HAM, karena UUD
1945 hasil perubahan tidak mengatur jaminan HAM.
|
|||
8
|
Perubahan UUD 1945 tidak berkaitan dengan kepentingan rakyat,
karena perubahan terse-but hanya mengatur kepentingan lembaga negara.
|
|||
9
|
UUD 1945 tidak perlu memuat jaminan HAM yang sedemikian luas,
karena HAM merupa-kan paham Barat (Liberalisme).
|
|||
10
|
Perubahan UUD 1945 sangat perlu dilakukan untuk menjawab
tantangan zaman.
|
|||
11
|
Negara dijamin akan lebih baik dengan dilaku-kannya amandemen UUD
1945.
|
|||
12
|
Amandemen UUD 1945 dapat menghambat pelaksanaan reformasi.
|
|||
13
|
Amandemen UUD 1945 akan menimbulkan perubahan terhadap sistem
pemerintahan.
|
|||
14
|
Setiap warga negara wajib menerapkan isi UUD 1945 hasil
amandemen.
|
|||
15
|
Sebagai siswa yang baik saya akan mempelajari UUD 1945 hasil
amandemen dan mengamalkan-nya dalam kehidupan sehari-hari sesuai kedudukan
dan kemampuan.
|
|||
16
|
Pihak-pihak yang melakukan pelanggaran ter-hadap UUD 1945 harus
ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.
|
6.
Usaha Mengembangkan Sikap Positif Terhadap UUD 1945 Hasil Amandemen
Sikap positif setiap warga negara terhadap pelaksanaan UUD 1945
hasil amandemen harus dibina dan dikembangkan, sehingga akan mampu membentuk
dan meningkatkan kesadaran setiap warga negara di dalam pelaksanaan UUD 1945
hasil amandemen. Dalam hal ini ada beberapa usaha yang dapat dilakukan, antara
lain :
a.
Mensosialisasikan
isi atau materi UUD 1945 hasil amandemen kepada segenap lapisan masyarakat
melalui berbagai cara dan metode, seperti penataran, kursus, pendidikan formal,
dan sebagainya.
b.
Menyadakan
penerangan dan penyuluhan akan arti penting hidup berbangsa dan bernegara.
c.
Pembentukan
peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan ketentuan UUD 1945 hasil
amandemen.
d.
Mensosialisasikan
produk hukum atau peraturan yang dibentuk berdasarkan ketentuan UUD 1945 hasil
amandemen.
e.
Para
penyelenggara negara harus mampu menunjukkan pelaksanaan tugas dan fungsinya
sesuai ketentuan UUD 1945 hasil amandemen.
f.
Mengadakan
pengawasan secara ketat terhadap para penyelenggara negara, agar
penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan UUD 1945 hasil amandemen.
g.
Memberikan
sanksi yang tegas dan adil kepada pihak-pihak yang melanggar ketentuan UUD 1945
hasil amandemen.
h.
Memberikan
jaminan terhadap pelaksanaan hak-hak warga negara dan hak asasi manusia sesuai
dengan ketentuan UUD 1945 hasil amandemen.
Makasih banyak :) Ini sangat membantu buat US besok.
ReplyDeleteMakasih. Lengkap bgt.
ReplyDelete