Oct 25, 2012

Materi PKn Kls VIII Bab II

BAB II
KONSTITUSI DI INDONESIA



A.       KONSTITUSI YANG PERNAH DIGUNAKAN DI INDONESIA

Seorang pemikir Romawi kuno yang bernama Cicero (106 – 43 SM) menyatakan, “Ubi societas ibi ius”, yang berarti dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Ungkapan ini menunjukkan bahwa dalam setiap kehidupan kelompok masyarakat dimanapun senantiasa terdapat aturan yang mengikat warganya guna menjamin keamanan dan ketertiban dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Lebih-lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan kehidupan kelompok manusia yang sedemikian banyak dan sedemikian kompleks permasalahannya, maka sangat diperlukan adanya aturan-aturan yang menjamin keamanan dan ketertiban, yang harus ditaati oleh seluruh warga negaranya. Aturan tertinggi dalam suatu Negara adalah Konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD).
Secara umum, Negara bisa dibagi dua yaitu Negara konstitusional dan Negara absolut. Negara konstitusional adalah Negara yang berdasarkan pada konstitusi atau UUD yang biasanya
memuat hal-hal pokok tentang berdirinya negara, bagaimana cara pengaturan Negara, serta apa hak dan kewajiban pemerintah dan warga negara. Sedangkan Negara Absolut adalah negara yang tidak berdasarkan konstitusi tetapi berdasarkan pada kekuasaan mutlak dari penguasa, sehingga dalam prakteknya mengarah pada system pemerintahan yang dictator (sewenang-wenang) dan membuat rakyatnya tertindas. Namun demikian dewasa ini negara absolut sudah hamper tidak ada, setiap negara telah memiliki konstitusi atau UUD.
1.   Istilah dan Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis, “Constitere” yang artinya menetapkan atau membentuk. Dalam bahasa Inggris disebut “Constitution”. Sedangkan dalam bahasa Belanda digunakan istilah “Constitutie” disamping kata “Grondwet”.
Dalam istilah sehari-hari konstitusi sering disamakan dengan Undang-Undang Dasar yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Grondwet”, grond artinya dasar dan wet artinya undang-undang. Namun dalam praktek, pengertian konstitusi lebih luas dari UUD, karena konstitusi mencakup keseluruhan peraturan, baik yang tertulis (UUD) maupun yang tidak tertulis (convention, konvensi). Jadi UUD hanya bagian dari konstitusi, dan menurut beberapa ahli bahwa istilah konstitusi lebih tepat diartikan sebagai hukum dasar.
Pengertian bahwa konstitusi itu lebih luas daripada UUD dikemukakan oleh Herman Heller dalam bukunya Verfassunglehre (Ajaran Konstitusi) sebagaimana dikutip oleh Moh. Koesnardi dan Bintan Saragih (1994 : 140) yang membagi konstitusi dalam tiga tingkat, yaitu :
a.       Konstitusi sebagai pengertian social politik.
Pada tingkat ini konstitusi baru mencerminkan keadaan social politik, keadaan yang ada dalam masyarakat, belum merupakan pengertian hukum.
b.       Konstitusi sebagai pengertian hukum.
Pada tingkat ini keputusan-keputusan yang ada dalam masyarakat tersebut dijadikan rumusan yang normatif, yang harus ditaati. Pada tingkat ini konstitusi tidak selalu tidak tertulis, tetapi ada juga yang tertulis dalam arti terkodifikasi (dibukukan).
c.       Konstitusi sebagai suatu peraturan hukum yang tertulis.
Dengan demikian jelas dimana UUD merupakan salah satu bagian dari konstitusi.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ferdinand Lasalle yang membagi konstitusi dalam dua golongan, yaitu :
a.       Konstitusi dalam pengertian sosiologis dan politis, yaitu berupa factor-faktor kekuatan yang nyata ada dalam masyarakat. Konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang nyata dalam negara, seperti : raja, parlemen, cabinet, pressure group, partai politik.
b.       Konstitusi dalam pengertian yuridis, yaitu yang ditulis dalam suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Berikut ini adalah pengertian konstitusi yang dikemukakan oleh para ahli :
a.     James Bryce, Konstitusi adalah sebagai kerangka negara yang diorganisasikan dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan :
1)     Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen.
2)     Fungsi dari lembaga-lembaga tersebut.
3)     Hak-hak yang ditetapkan.
b.    C.F. Strong, Konstitusi itu sebagai sekumpulan asas-asas yang mengatur kekuasaan peme-rintahan, hak-hak yang diperintah (rakyat) dan hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah.
c.     E.C.S. Wade dan G. Philips, Konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.
d.    K.C. Wheare, Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara, berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk dan mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara.


 2.   Pembagian Konstitusi
Dalam ketatanegaraan dikenal ada dua macam konstitusi (hukum dasar) yaitu :
a.       Hukum dasar tertulis yang disebut dengan Undang-Undang Dasar (UUD).
b.       Hukum dasar tidak tertulis yang disebut dengan konvensi (convention).
Hukum dasar tertulis (UUD) adalah piagam-piagam tertulis yang sengaja diadakan dan memuat segala apa yang dianggap fundamental (mendasar) bagi negara pada masa itu. Karena dibuat dengan sengaja, maka UUD ini lebih terang dan tegas dari hukum dasar yang tidak tertulis. Selain itu, UUD lebih menjamin kepastian hukum dari pada konvensi. Oleh karena cara pembuatannya melalui suatu badan tertentu yang mnempunyai tingkat tertinggi dalam suatu negara, menyebabkan UUD relatif sulit untuk diadakan perubahan, sehingga UUD bersifat lebih kaku (rigid) dari pada konvensi. Negara-negara yang mempunyai UUD misalnya : Amerika Serikat (1787), Perancis (1791), Belanda (1814), Uni Soviet (1918), Indonesia (1945), dan lain-lain. Dewasa ini hampir semua negara mempunyai UUD. Bahkan India adalah salah satu negara yang memiliki UUD yang amat panjang, yakni mencapai 395 pasal.
Adapun konvensi adalah kebiasaan-kebiasaan yang timbul dan terpelihara dalam praktek ketatanegaraan. Meskipun tidak tertulis, konvensi mempunyai kekuatan hukum yang kuat dalam ketatanegaraan. Bahkan konvensi ini lebih bersifat fleksibel/soepel (tidak rigid/kaku), luwes dan mudah diubah, sehingga mudah menyesuaikan dengan keadaan. Konvensi ini berkedudukan sebagai pelengkap dari UUD, sehingga tidak boleh bertentangan dengan UUD. Bahkan di Indonesia, konvensi bisa dikukuhkan menjadi Ketatapan MPR.
Ada suatu pengecualian, yakni Inggris yang tidak mempunyai UUD, tapi pemerintahannya didasarkan pada konvensi, antara lain :
a.       Piagam Magna Charta, tahun 1215.
b.       Petition of Rights, tahun 1628.
c.       The Habeas Corpus Act, tahun 1679.
d.       Bill of Rights, tahun 1689.
e.       Piagam Westminter, tahun 1931.
Negara Indoneisa, selain memiliki UUD juga memiliki dan menerapkan konvensi dalam praktek ketatanegaraannya. Adapun contoh-contoh konvensi di Indonesia antara lain :
a.       Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (lihat pasal 2 ayat (3) UUD 1945).
b.       Pidato Kenegaraan Presiden di depan Sidang DPR setiap tanggal 16 Agustus.
c.       Pertanggung-jawaban Presiden di akhir masa jabatannya di depan Sidang MPR serta penilaiannya dari MPR atas pertanggung-jawaban tersebut.
d.       Prakarsa Presiden menyusun program pembangunan.
e.       Ratifikasi perjanjian-perjanjian oleh DPR.

 
3.   Sifat dan Kedudukan Konstitusi
Sebagai aturan/hukum dasar dalam negara, maka konstitusi (UUD) mempunyai kedudukan tertinggi dalam peraturan perundang-undangan suatu negara.
Hukum dasar tertinggi di Indonesia adalah UUD 1945. Dengan demikian semua jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia kedudukannya di bawah UUD 1945. UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang resmi, artinya segala peraturan yang lebih rendah tingkatannya harus bersumber pada UUD 1945. Dan karena itu pula, UUD 1945 berfungsi sebagai alat control bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya, apakah sesuai atau tidak dengan hakikat isi UUD 1945.
Sebagai hukum dasar, UUD 1945 bersifat mengikat, mengikat pemerintah, mengikat setiap lembaga negara dan lembaga masyarakat, serta mengikat setiap warga negara Indonesia.

4.   Fungsi Konstitusi
Konstitusi yang memuat seperangkat ketentuan atau aturan dasar suatu negara tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting dalam suatu negara. Mengapa ? Sebab, konstitusi menjadi pegangan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan kata lain, penyelenggaraan negara harus didasarkan pada konstitusi dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dengan adanya pembatasan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi, maka pemerintah tidak dapat dan tidak boleh menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang.
Menurut Karl Loewenstein, Konstitusi adalah suatu sarana dasar untuk mengawasi proses-proses kekuasaan. Oleh karena itu setiap konstitusi senantiasa memiliki dua tujuan, yaitu :
a.       Untuk pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik.
b.       Untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para penguasa serta menetapkan batas-batas kekuasaannya.
C.J. Frederich menyebutkan, konstitusi sebagai proses (tata cara) yang membatasi perilaku pemerintahan secara efektif. Dengan jalan membagi kekuasaan, konstitusionalisme menyelenggarakan sistem pemerintahan yang efektif atas tindakan-tindakan pemerintah. Jadi konstitusi mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat tetapi juga oleh pemerintah.
Menurut Joeniarto, secara umum konstitusi atau UUD mempunyai fungsi sebagai berikut :
a.       Ditinjau dari tujuannya, yakni untuk menjamin hak-hak anggota warga masyarakatnya, terutama warga negara dari tindakan sewenang-wenang penguasanya.
b.       Ditinjau dari penyelenggaraan pemerintahannya, yakni untuk dijadikan landasan struktural penyelenggaraan pemerintahan menurut suatu sistem ketatanegaraan yang pasti, yang pokok-pokoknya telah digambarkan dalam aturan-aturan konstitusi/UUD.

5.   Isi Muatan Konstitusi
Konstitusi atau UUD berisi ketentuan yang mengatur hal-hal yang mendasar dalam bernegara, seperti tentang batas-batas kekuasaan penyelenggara pemerintahan negara, hak-hak dan kewajiban warga negara dan lain-lain. Berikut adalah isi muatan konstitusi atau UUD menurut para ahli :
a.     A.A.H. Struycken, UUD (grondwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisi :
1)   Tingkat perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
2)   Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3)   Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
4)   Suatu keinginan dengan mana perkembangan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
b.    Sri Soemantri, Konstitusi berisi tiga hal pokok yaitu :
1)   Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dan warga negara.
2)   Susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental.
3)   Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental.
c.     Miriam Budiardjo, Setiap UUD memuat ketentuan-ketentuan mengenai :
1)   Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
2)   Hak-hak asasi manusia.
3)   Prosedur mengubah UUD.
4)   Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.


6.   Konstitusi/UUD di Indonesia
Sejak tanggal 18 Agustus 1945 hingga sekarang (tahun 2008/2009) negara Indonesia pernah mempergunakan tiga macam konstitusi/UUD dengan periodesasinya sebagai berikut :

NO
PERIODE
KONSTITUSI/UUD
1
18 – 08 – 1945 s/d 27 – 12 - 1949
UUD 1945
2
27 – 12 – 1949 s/d 17 – 08 - 1950
Konstitusi RIS 1949
3
17 – 08 – 1950 s/d 05 – 07 - 1959
UUDS 1950
4
05 – 07 – 1959 s/d 19 – 10 - 1999
UUD 1945
5
19 – 10 – 1999 s/d Sekarang
UUD 1945 (Hasil Amandemen)

Dengan demikian di Indonesia telah pernah dipergunakan tiga jenis konstitusi/UUD dalam lima periode.

a.      Periode Pertama (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949)
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, negara RI belum memiliki konstitusi/UUD. Namun sehari kemudian, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan siding pertama yang salah satu keputusannya adalah mengesahkan UUD yang kemudian disebut UUD 1945. Pada saat itu UUD 1945 belum ditetapkan oleh MPR sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, sebab pada saat itu MPR belum terbentuk dan PPKI dianggap sebagai badan resmi yang mewakili seluruh bangsa Indonesia.
Naskah UUD yang disahkan oleh PPKI tersebut disertai penjelasannya yang dimuat dalam Berita Negara RI No. 7 tahun II 1946. UUD 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Batang Tubuh terdiri dari 16 bab yang terbagi dalam 37 pasal, serta 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan.
Bagaimana sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 pada saat itu ? Terutama mengenai bentuk negara, kedaulatan dan sistem pemerintahan dapat dikemukakan sebagai berikut :
Bentuk negara diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik". Sebagai negara kesatuan, maka di negara RI hanya ada satu kekuasaan pemerintahan negara, yakni di tangan Pemerintah Pusat. Di sini tidak ada pemerintah negara bagian sebagaimana yang berlaku di negara yang berbentuk negara serikat (federasi). Sebagai negara yang berbentuk republic, maka kepala negara dijabat oleh Presiden yang diangkat melalui suatu pemilihan, bukan berdasarkan keturunan seperti di kerajaan.
Kedaulatan negara diatur dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Atas dasar itu, maka kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sedangkan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara yang lain berada di bawah MPR.
Sistem pemerintahan negara diatur dalam pasal 4 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”. Pasal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan menganut sistem presidensial. Dalam sistem ini, Presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai pelaksana tugas pemerintahan adalah pembantu Presiden yang bertanggung-jawab kepada presiden, bukan kepada DPR.
Perlu diketahui lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi negara menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah :
1)   Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2)   Presiden
3)   Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
4)   Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
5)   Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
6)   Mahkamah Agung (MA).

b.     Periode Kedua (27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950)
Perjalanan negara baru Republik Indonesia tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan menjajah kembali Indonesia. Belanda berusaha memecah belah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negara-negara “boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam Negara RI.
Bahkan kemudian Belanda melancarkan agresi atau pendudukan terhadap ibu kota Jakarta, yang dikenal dengan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947 dan Agresi Militer II atas kota Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948, sehingga mengakibatkan timbulnya Perang Kemerdekaan pertama dan kedua.
Untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dengan RI, lalu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dengan menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada tanggal 23 Agustus – 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari RI, BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg, yaitu gabungan negara-negara boneka bentukan Belanda), dan Belanda serta sebuah Komisi PBB untuk Indonesia.
KMB tersebut menghasilkan tiga buah persetujuan pokok yaitu :
1)     Didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat.
2)     Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
3)     Didirikan Uni antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara serikat mengharuskan adanya penggantian UUD. Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD/Konstitusi RIS, yang rancangannya dibuat oleh delegasi RI dan delegasi BFO pada KMB.
Setelah kedua belah pihak menyetujui rancangan tersebut, maka mulai tanggal 27 Desember 1949 diberlakukan suatu UUD yang diberi nama Konstitusi RIS. Konstitusi ini terdiri dari Mukadimah yang berisi 4 alinea, Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197 pasal, serta sebuah lampiran.
Mengenai bentuk negara dinyatakan dalam pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi, “RIS yang merdeka dan berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk federasi”. Dengan berubah menjadi negara serikat/federasi, maka di dalam RIS terdapat beberapa negara bagian, yang masing-masing memiliki kekuasaan pemerintahan di wilayah negara bagiannya. Negara-negara bagian itu adalah : negara RI, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatera Timur, dan Sumatera Selatan. Selain itu terdapat pula satuan-satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu : Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur.
Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD 1945 tetap berlaku tetapi hanya untuk negara bagian RI yang wilayahnya meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota di Yogyakarta.
Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa itu adalah sistem parlementer, sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa, “Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Artinya, Presiden tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala negara, tetapi bukan kepala pemerintahan.
Kalau demikian, siapakah yang menjalankan dan yang bertanggung-jawab atas tugas pemerintahan ?
Pada ayat (2) ditegaskan bahwa, “Menteri-menteri bertanggung-jawab atas seluruh kebijakan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Dengan demikian, yang melaksanakan dan mempertanggung-jawabkan tugas-tugas pemerintahan adalah menteri-menteri. Dalam hal ini, kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri.
Lalu, kepada siapakah pemerintah bertanggung-jawab ? Dalam sistem pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung-jawab kepada parlemen (DPR).
Perlu diketahui bahwa lembaga-lembaga negara menurut Konstitusi RIS adalah sebagai berikut :
1)     Presiden
2)     Menteri-menteri
3)     Senat
4)     Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/Parlemen)
5)     Mahkamah Agung (MA)
6)     Dewan Pengawas Keuangan (DPK)
 

c.      Periode Ketiga (17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959)
Pada awal Mei 1950 terjadi penggabungan negara-negara bagian dalam negara RIS, sehingga hanya tinggal tiga negara bagian yaitu Negara RI, Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur (NST).
Perkembangan berikutnya adalah munculnya kesepakatan antara RIS yang mewakili NIT dan NST dengan RI untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950. Untuk mengubah negara serikat menjadi negara kesatuan diperlukan UUD negara kesatuan, yakni dengan cara memasukkan isi UUD 1945 ditambah bagian-bagian yang baik dari Konstitusi RIS.
Pada tanggal 15 Agustus 1950 ditetapkanlah Undang-Undang Federal No. 7 tahun 1950 tentang Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, yang berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian sejak tanggal tersebut Konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS 1950, dan terbentuklah kembali NKRI. UUDS 1950 terdiri dari Mukadimah dan Batang Tubuh yang meliputi 6 bab dan 146 pasal.
Mengenai bentuk negara kesatuan tersebut terdapat dalam pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang berbunyi, “RI yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan, “Menteri-menteri bertanggung-jawab atas seluruh kebijakan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Hal ini berarti yang bertanggung jawab atas seluruh kebijakan pemerintahan adalah menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen atau DPR.
Adapun lembaga-lembaga menurut UUDS 1950 adalah :
1)   Presiden dan Wakil Presiden
2)   Menteri-menteri
3)   DPR
4)   MA
5)   DPK
Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara yang nampakm pada rumusan pasal 134 bahwa, “Konstituante (Lembaga Pembuat UUD) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD RI yang akan menggantikan UUDS ini”. Anggota Konstituante dipilih melalui pemilu bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di Bandung.
Sekalipun Konstituante telah bekerja kurang lebih selama dua setengah tahun, namun belum juga berhasil menyelesaikan sebuah UUD. Faktor penyebabnya adalah adanya pertentangan pendapat di antara partai-partai politik yang ada di Konstituante dan di DPR serta di badan-badan pemerintahan.
Pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke UUD 1945, yang pada dasarnya saran tersebut dapat diterima oleh para anggota Konstituante, tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda. Karena tidak ada kata sepakat, akhirnya diadakanlah pemungutan suara. Namun setelah tiga kali pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran Presiden tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang hadir.
Atas dasar hal tersebut, demi untuk menyelamatkan bangsa dan negara, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden yang isinya adalah :
1)     Menetapkan pembubaran Konstituante.
2)     Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3)     Pembentukan MPRS dan DPAS.
Dengan DP 5 Juli 1959, maka UUD 1945 berlaku kembali sebagai landasan konstitusional dalam menyelenggarakan pemerintahan negara RI.
d.     Periode Keempat (5 Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999)
Praktik penyelenggaraan negara pada masa berlakunya UUD 1945 sejak 5 Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999 ternyata mengalami berbagai pergeseran, bahkan terjadinya beberapa penyimpangan. Oleh karena itu pelaksanaan UUD 1945 selama kurun waktu tersebut dapat dipilah menjadi dua periode yaitu Orde Lama (1959 – 1966) dan periode Orde Baru (1966 – 1999).
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya, UUD 1945 belum dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang Presiden (Soekarno) dan lemahnya control yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan Preiden.
Selain itu muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanan dan kehidupan ekonomi semakin memburuk. Puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G-30-S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan negara.
Mengingat keadaan semakin membahayakan, Ir. Soekarno selaku Presiden RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanan, ketertiban dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru (Soeharto).
Semboyan Orde Baru pada masa itu adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Apakah terwujud tekad tersebut ? Ternyata tidak. Dilihat dari prinsip demokrasi, prinsip negara hukum dan keadilan social ternyata masih terdapat banyak hal yang jauh dari harapan. Hampir sama dengan pada masa Orde Lama, sangat dominannya kekuasaan Presiden dan lemahnya control DPR.
Selain itu, kelemahan tersebut terletak pula pada UUD 1945 itu sendiri, yang sifatnya singkat dan luwes (fleksibel), sehingga memungkinkan munculnya berbagai penyimpangan. Tuntutan untuk merubah atau menyempurnakan UUD 1945 tidak memperoleh tanggapan, bahkan pemerintah Orde Baru bertekad untuk mempertahankan dan tidak merubah UUD 1945.
e.      Periode Kelima (19 Oktober 1999 s/d Sekarang)
Pada tanggal 21 Mei 1998 merupakan momentum penting dalam ketatanegaraan RI, dimana Presiden Soeharto turun dan diganti oleh Wakil Presiden, Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie. Pergantian ini didasarkan pada pasal 8 UUD 1945 tentang keadaan presiden dan wakil presiden RI berhalangan.
Peristiwa tanggal 21 Mei 1998 menyiratkan adanya tiga hal penting yang berkaitan dengan ketatanegaraan RI, yaitu :
1)     Terjadinya penggantian presiden.
2)     Runtuhnya kekuasaan Orde Baru dan munculnye Orde Reformasi
3)     Perlunya mengevaluasi mekanisme penyerahan kekuasaan dari presiden dan wakil presiden yang diatur oleh Tap. MPR No. VII/MPR/1973.
Runtuhnya Orde Baru dan lengsernya Presiden Soeharto merupakan keberhasilan gerakan reformasi yang dilakukan oleh mahasiswa yang didukung oleh tokoh-tokoh reformasi. Oleh karena itu pada tanggal 21 Mei 1998 disebut sebagai awal reformasi.
Seiring dengan tuntutan reformasi dan setelah lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru, maka sejak tahun 1999 dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Sampai saat ini UUD 1945 sudah mengalami empat tahap perubahan, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002.
UUD 1945 telah mengalami perubahan yang cukup mendasar, yang menyangkut kelembagaan negara, pemilihan umum, pembatasan kekuasaan presiden dan wakil presiden, memperkuat kedudukan DPR, pemerintah daerah, dan ketentuan-ketentuan yang rinci tentang HAM.
UUD 1945 hasil amandemen memang belum dapat dilaksanakan sepenuhnya, karena memang masa berlakunya belum lama dan masih dalam masa transisi. Namun setidaknya, setelah perubahan ada beberapa praktek kenegaraan yang melibatkan rakyat secara langsung, seperti dalam pemilihan Presiden, Wapres, Gubernur, Bupati dan Walikota. Hal ini tentu lebih mempertegas prinsip kedaulatan rakyat yang dianut negara kita.
Perlu diketahui bahwa setelah perubahan UUD 1945 terdapat lembaga-lembaga negara baru yang dibentuk serta ada pula yang dihapus seperti DPA. Adapun lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 setelah amandemen adalah :
1)     Presiden dan Wakil Presiden
2)     MPR
3)     DPR
4)     Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
5)     BPK
6)     MA
7)     Mahkamah Konstitusi (MK)
8)     Komisi Yudisial (KY)



7.   Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka, bahwa negara Indonesia pernah menggunakan tiga jenis konstitusi/UUD, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Untuk itu kita dapat membandingkan sistem ketatanegaraan Indonesia menurut ketiga jenis konstitusi/UUD tersebut yang dapat dilukiskan sebagai berikut :

No
Aspek/Bidang
UUD 1945
Konstitusi RIS
UUDS 1950
1
Bentuk Negara
Republik
Republik
Republik
2
Susunan Negara
Kesatuan
Serikat
Kesatuan
3
Sistem Pemerintahan
Presidensil
Parlementer
Parlementer

Penjelasan :
1)   Bentuk Negara Republik artinya negara itu dikepalai oleh Presiden, bukan raja atau nama lainnya.
2)   Susunan Negara :
b)   Kesatuan, yaitu dimana dalam negara hanya ada satu pemegang kekuasaan pemerintahan yakni Pemerintah Pusat yang berdaulat penuh ke dalam dan ke luar, memiliki satu UUD, tidak mengenal adanya negara bagian, tetapi dikenal adanya pembagian daerah atas beberapa provinsi.
c)  Serikat/Federasi, yaitu negara yang memiliki negara-negara bagian yang berdaulat ke dalam, sedangkan kedaulatan ke  luar ada pada pemerintah federal. Menurut C.F. Strong, cirri-ciri negara federal ialah :
·      Adanya supremasi konstitusi dimana federal itu terwujud.
·      Adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dengan negara bagian.
·    Adanya satu lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan perselisihan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian.
3)   Sistem Pemerintahan :
a)   Presidensil, yakni sistem pemerintahan yang dipegang dan dikendalikan langsung oleh Presiden. Kabinet dibentuk oleh Presiden, menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
b)   Parlementer, yaitu sistem pemerintahan yang dipegang dan dikendalikan oleh Parlemen. Kabinet bertanggung-jawab kepada Parlemen (DPR), kedudukan cabinet ditentukan oleh Parlemen, dan cabinet (menteri-menteri) dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada Parlemen.



B.       PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN TERHADAP KONSTITUSI
1.   Indonesia Negara Konstitusional
Negara Indonesia adalah negara konstitusional, yaitu negara yang berdasarkan pada konstitusi, tidak bersifat absolutism yang berdasarkan pada kekuasan mutlak. Oleh karena itu pemerintahan Indonesia merupakan pemerintahan yang konstitusional, artinya pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar, yakni UUD 1945.
Indonesia sebagai negara konstitusional sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 yaitu :
a.     Pasal 1 ayat (2) berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
b.   Pasal 4 ayat (1) berbunyi, “Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
c.       Dalam Penjelasan disebutkan, “Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas)”.
Negara konstitusional memiliki konstitusi yang bercirikan :
a.       Membatasi kekuasaan pemerintah.
b.       Menjamin hak asasi manusia dan hak warga negara.
2.   Sistem Ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945
Berdasarkan UUD 1945 setelah amandemen secara terperinci sistem ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai berikut :
1)      Bentuk negara Indonesia adalah kesatuan sedangkan bentuk pemerintahan adalah republik (pasal 1 ayat 1).
2)     Negara Indonesia adalah negara demokrasi yakni kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (pasal 1 ayat 2).
3)        Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3).
4)     Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas). (Penjelasan).
5)        Sistem pemerintahan adalah presidensiil. Presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan (pasal 4 ayat 1). Presiden dan wakil presiden dipilih rakyat secara langsung dalam satu paket (pasal 6.A ayat 1).
6)   Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas artinya kekuasaan kepala negara (presiden) memang besar, tetapi tetap ada batasnya antara lain UUD dan berbagai bentuk peraturan perundang-undangan lainnya (pasal 10 – 15).
7)        Sebagai kepala pemerintahan, presiden membentuk cabinet (pasal 17)
8)     DPD adalah perwakilan dari daerah provinsi yang anggotanya dipilih oleh rakyat di daerah yang bersangkutan (pasal 22.C).
9)        Selain DPR dan DPD terdapat MPR yang memiliki jabatan selama 5 tahun (Pasal 2 dan 3).
10)    Kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif) adalah DPR. Selain itu DPR menetapkan anggaran belanja negara dan mengawasi jalannya pemerintahan. (pasal 20.A)
11)    Kekuasaan yudikatif berada pada MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta sebuah Mahkamah Konstitusi (pasal 24 ayat 2) dan juga Komisis Yudisial (pasal 24.B).
12)    Pemerintah daerah terdapat di daerah provinsi dan kabupaten/kota (pasal 18).
13)    Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota serta memilih paket presiden dan wakil presiden (pasal 22.E ayat 2).
14)    Indonesia menjalankan otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggung-jawab (pasal 18 ayat 5)
15)    Sistem kepartaian adalah multi partai.
3.   Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Lama (1945 – 1965)
Selama pemerintahan Orde Lama (pemerintahan Soekarno) sejak awal kemerdekaan 1945 hingga 1965 terdapat beberapa penyimpangan terhadap UUD 1945 yang dapat kita temui dalam tiga periode yaitu :
a.      Periode tahun 1945 – 1949 (UUD 1945)
1)     Keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor : X (baca: eks) tanggal 16 Oktober 1945 yang mengubah fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP yang dibentuk PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945) dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut serta menetapkan GBHN sebelum terbentuknya MPR, DPR dan DPA.  Padahal fungsi tersebut seharusnya dilakukan oleh lembaga DPR dan MPR. Hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 pasal 4 Aturan Peralihan yang berbunyi, “Sebelum MPR, DPR dan DPA terbentuk, segala kekuasaan dilaksanakan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional”.
2)     Keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang merubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer. Hal ini bertentangan dengan pasal 4 ayat (1) dan pasal 17 UUD 1945.
b.      Periode tahun 1949 – 1950 (Konstitusi RIS)
Bertepatan dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, maka Konstitusi RIS diberlakukan sejak tanggal 27 Desember 1945. Dengan berlakunya Konstitusi RIS jelas terdapat penyimpangan terhadap UUD 1945 yang pada saat itu hanya berlaku di negara bagian RI yang wilayahnya meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota Yogyakarta. Penyimpangan terhadap UUD 1945 antara lain :
1)     Berubahnya bentuk negara kesatuan menjadi bentuk negara serikat atau federal. Hal ini berdasarkan ketentuan Konstitusi RIS pasal 1 ayat (1) yang berbunyi, “RIS yang merdeka dan berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk federasi”. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 1 ayat (1) yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”.
2) Berubahnya sistem pemerintahan presidensil menurut UUD 1945 menjadi sistem parlementer, sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa, “Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Artinya, Presiden tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala negara, tetapi bukan kepala pemerintahan. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 4 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”.
c.       Periode tahun 1950 – 1959 (UUDS 1950)
Pada tanggal 20 Juli 1950 Pemerintah RIS dan RIS menyetujui Rancangan UUDS yang telah disusun oleh kedua belah pihak. Rancangan UUDS ini kemudian mendapat pengesahan dari DPR RIS dan BP-KNIP. Pada tanggal 15 Agustus 1950 Presiden Soekarno di hadapan rapat gabungan DPR dan Senat menandatangani naskah UU Federasi No. 7 tahun 1950 yang memuat perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950 yang mulai berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak berlakunya UUDS 1950 bentuk negara kembali menjadi negara kesatuan. Hal ini terdapat dalam pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang berbunyi, “RI yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Namun demikian sistem pemerintahan yang dianut masih sistem pemerintahan parlementer, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan, “Menteri-menteri bertanggung-jawab atas seluruh kebijakan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Hal ini berarti yang bertanggung jawab atas seluruh kebijakan pemerintahan adalah menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen atau DPR.
d.      Periode tahun 1959 – 1966 (UUD 1945 pasca Dekrit).
Dengan dasar yang kuat dan dukungan dari sebagian besar rakyat, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya yaitu :
1)     Pembubaran Konstituante.
2)     Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3)     Pembentukan MPRS yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah utusan daerah dan golongan, serta DPAS akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dekrit inilah yang menjadi dasar hukum berlakunya kembali UUD 1945. Namun demikian pelaksanaan UUD 1945 pada masa ini tercatat ada beberapa penyimpangan, antara lain :
1) Diterapkannya demokrasi terpimpin yang pelaksanaannya jauh menyimpang dari ketentuan Pancasila dan UUD 1945.
2)   Presiden telah mengeluarkan produk peraturan dalam bentuk Penetapan Presiden, yang hal itu tidak dikenal dalam UUD 1945.
3)     MPRS dengan Ketetapan No. I/MPRS/1960 telah menetapkan Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita (Manifesto Politik RI) sebagai GBHN yang bersifat tetap.
4)   Pimpinan lembaga-lembaga negara diberi kedudukan sebagai menteri-menteri negara, yang berarti menempatkannya sejajar dengan pembantu presiden.
5)     Hak budget tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapat persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan.
6)  Pada tanggal 5 Maret 1960, melalui Penetapan Presiden No. 3 tahun 1960, Presiden membubarkan anggota DPR hasil Pemilu 1955. Kemudian melalui Penetapan Presiden No. 4 tahun 1960 tanggal 24 Juni 1960 dibentuklah DPR Gotong-Royong (DPR-GR) yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 19 ayat (1) yang menyatakan, “Susunan DPR ditetapkan dengan undang-undang”. Kemudian Penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara RI menyatakan, “Kedudukan DPR adalah kuat. Dewan ini tidak dapat dibubarkan oleh Presiden”.
7)     Dibentuknya MPRS yang seluruh anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 yakni dengan :
1.    Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”.
2.    Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, “MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”.
3. Penjelasan UUD 1945 tentang pokok-pokok sistem pemerintahan negara RI yang menyatakan, “Kekuasaan negara tertinggi di tangan MPR (Die Gezamte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis)”. Majelis ini memegang kekuasaan negara tertinggi, sedangkan Presiden harus menjalankan haluan negara yang ditetapkan oleh MPR, serta presiden diangkat oleh Majelis, bertindak dan bertanggung-jawab kepada MPR.
8)     MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui Ketetapan Nomor  III/MPRS/1963. Hal ini sangat bertentangan dengan pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
9)     Kedaulatan rakyat dan semua kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif ada dalam satu tangan, yaitu dalam kekuasaan Presiden Soekarno. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 dimana terdapat pembagian kekuasaan eksekutif (presiden), legislatif (DPR) dan Yudikatif (MA).
4.   Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Baru (1966 – 1998)
Masa Orde Baru atau masa pemerintahan Soeharto ditandai dengan dikeluarkannya Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, yang kemudian dikenal dengan sebutan Supersemar. Di masa Orde Baru inipun tercatat beberapa penyimpangan terhadap UUD 1945, antara lain :
a)   Dalam prakteknya kekuasaan negara bertumpu pada kekuasaan Presiden Soeharto sejalan dengan tidak berjalannya fungsi control dari MPR dan DPR.
b)   MPR berketetapan tidak berkehendak dan akan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen (Pasal 104 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 tentang Tata Tertib MPR). Hal ini bertentangan dengan pasal 3 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk menetapkan UUD dan GBHN, serta pasal 37 yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk mengubah UUD.
c)   MPR mengeluarkan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang mengatur tata cara perubahan UUD yang tidak sesuai dengan pasal 37 UUD 1945.
d)   Umumnya menteri menjadi anggota MPR, bahkan gubernur otomatis menjadi anggota MPR dari utusan daerah. Hal ini tidak sesuai dengan apirasi rakyat, karena di satu pihak menteri dan gubernur adalah pelaksana pemerintahan yang berada di bawah Presiden, tetapi di pihak lain mereka menjadi anggota MPR yang harus menilai pertanggung-jawaban Presiden.
5.   Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Reformasi (1998 – Sekarang)
Peristiwa tanggal 21 Mei 1998 dianggap sebagai momentum penting dalam ketatanegaraan Indonesia, karena pada saat itu telah berakhir kekuasaan Orde Baru dan diganti dengan Orde Reformasi.
Di masa Orde Reformasi inilah UUD 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat tahap, yakni tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. UUD 1945 hasil perubahan belum begitu lama dilaksanakan, karena itu keterlaksanaannya belum banyak dipersoalkan. Lebih-lebih mengingat agenda reformasi itu sendiri antara lain adalah perubahan (amandemen) UUD 1945.
Namun demikian, terdapat ketentuan UUD 1945 hasil amandemen yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah, yaitu anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD yang belum mencapai 20%. Hal ini dianggap bertentangan dengan pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Akan tetapi mulai tahun 2009 ini Pemerintah Pusat telah menentukan anggaran pendidikan sebanyak 20% dalam APBN, maka tinggal menunggu kebijakan daerah-daerah tentang hal yang sama.
6.   Usaha Membatasi Kekuasaaan Pemerintah
Untuk menghindari kekuasaan pemerintah yang mutlak, maka dalam UUD 1945 telah diatur adanya pembatasan kekuasan pemerintah, yaitu :
a.       Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR. (pasal 7.A)
b.       Presiden tidak dapat membekukan dan atau membubarkan DPR. (pasal 7.C)
c.       Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. (pasal 7)
d.       Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. (pasal 11 ayat 1)
e.       Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR. (pasal 11 ayat 2)
f.        Presiden mengangkat duta dan konsul dengan memperhatikan pertimbangan DPR. (pasal 13)
g.       Presiden member grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA. (pasal 14 ayat 1)
h.       Presiden member amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. (pasal 14 ayat 2)
i.         Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu), yang harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. (pasal 22)
Untuk menjamin hak-hak warga negara dan hak asasi manusia, maka dalam UUD 1945 telah diatur sebagai berikut :
a.       Pasal 27 sampai dengan pasal 34 mengenai hak dan kewajiban warga negara.
b.       Pasal 28.A sampai dengan 28.J mengenai hak asasi manusia.
7.   Dampak penyimpangan konstitusi terhadap sistem demokrasi di Indonesia
Penyimpangan terhadap konstitusi akan menyebabkan timbulnya krisis konstitusional, krisis konstitusional yang berlarut-larut akan menimbulkan krisis politik dan krisis politik yang berkepanjangan akan meluas ke dalam krisis dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dari penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945 yang pernah kita alami, maka dapat dirasakan pula dampak negatifnya terhadap kehidupan demokrasi dalam negara, antara lain :
a.       Hilangnya pembagian kekuasaan dan kekuasaan negara menjadi tumpang tindih bahkan bertumpu pada satu tangan, seperti pada tangan Presiden.
b.       Kedudukan dan fungsi lembaga-lembaga negara menjadi tumpang tindih menurut kehendak pemegang kekuasaan yang inkonstitusional.
c.       Hak asasi manusia dan hak warga negara menjadi terabaikan bahkan tidak dapat terjamin oleh negara.
d.       Kehidupan politik tidak stabil menimbulkan keamanan negara pun tidak stabil, sehingga pembangunan nasional praktis tidak dapat dilaksanakan dengan baik, bahkan melahirkan krisis di berbagai bidang.
e.       Ketidak-stabilan politik juga akan dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang hendak memecah-belah keutuhan NKRI, seperti dengan mengadakan pemberontakan untuk merebut kekuasaan negara atau memisahkan diri dari bingkai NKRI.

 
C.       HASIL-HASIL AMANDEMEN UUD 1945
1.   Cara Perubahan Konstitusi
Konstitusi merupakan peraturan yang mengatur kehidupan warga negara, maka harus sesuai dengan perkembangan kehidupan warga negara. Oleh karena itu suatu konstitusi pada masa tertentu memerlukan adanya perubahan atau amandemen.
Dalam Hukum Tata Negara dikenal adanya dua cara perubahan UUD sebagai konstitusi tertulis, yaitu :
a.     Verfassung Anderung, yakni perubahan secara konstitusional, artinya perubahan dilakukan menurut prosedur yang diatur sendiri oleh UUD yang bersangkutan.
b.    Verfassung Wandlung, yakni perubahan secara revolusioner, artinya perubahan yang dilakukan tidak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UUD yang bersangkutan.
2.   Teknik Perubahan Konstitusi
Teknik perubahan UUD dikenal dengan adanya dua tradisi, yaitu tradisi Eropa Kontinental dan tradisi Amerika Serikat.
a.     Eropa Kontinental. Dalam tradisi ini perubahan dilakukan langsung dalam teks UUD. Jika perubahan itu menyangkut materi tertentu, tentulah naskah UUD yang asli tidak banyak mengalami perubahan. Tetapi jika materi yang diubah banyak, apalagi kalau perubahannya mendasar, maka biasanya naskah UUD itu disebut dengan nama baru sama sekali. Jadi dalam hal ini bukan perubahan, tetapi penggantian.
b.    Amerika Serikat. Dalam tradisi ini perubahan dilakukan terhadap materi tertentu dengan menetapkan naskah amandemen yang terpisah dari naskah asli UUD.
3.   Dasar Pemikiran Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD atau sering pula digunakan istilah amandemen UUD adalah salah satu agenda reformasi. Perubahan itu dapat berupa pencabutan, penambahan dan perbaikan.
Mengenai amandemen UUD 1945 sendiri dilandasi oleh beberapa dasar pemikiran sebagai berikut :
a.       UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden yang meliputi kekuasaan eksekutif dan legislatif, khususnya dalam membentuk undang-undang.
b.       UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu luwes (fleksibel), sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu tafsir (multitafsir).
c.       Kedudukan Penjelasan UUD 1945 seringkali diperlakukan dan mempunyai kekuatan hukum seperti pasal-pasal (batang tubuh) UUD 1945.
4.   Dasar Politis dan Yuridis Perubahan UUD 1945
Pelaksanaan amandemen UUD 1945 memiliki dasar politis dan yuridis. Yang menjadi dasar politis, yaitu mempelajari, menelaah dan mempertimbangkan dengan seksama dan sungguh-sungguh hal-hal yang bersifat mendasar yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara.
Sedangkan yang menjadi dasar hukum (yuridis) amandemen UUD 1945 adalah UUD 1945 itu sendiri yaitu pasal 37 sebagai berikut :
a.       Ayat 1 : “Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir”.
b.       Ayat 2 : “Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir”.
5.   Prosedur Perubahan UUD 1945
Prosedur perubahan UUD 1945 secara eksplisit telah ditentukan oleh pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD 1945, yakni :
a.       Perubahan dilakukan melalui Sidang MPR.
b.       Dalam siding tersebut sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir.
c.       Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir.
6.   Latar Belakang dan Tujuan Perubahan UUD 1945
Ada dua hal yang menjadi latar belakang perubahan UUD 1945, yaitu :
a.       Tuntutan demokrasi. UUD 1945 disusun pada masa persiapan kemerdekaan Indonesia dengan situasi yang serba mendesak. Oleh karena itu terdapat pasal-pasal yang diarahkan untuk kepentingan pemimpin terdahulu, serta tidak adanya pasal-pasal yang secara rinci dan tegas menjamin hak asasi manusia. Oleh karena itu, perubahan UUD 1945 dilakukan dalam rangka memenuhi tuntutan kehidupan yang lebih demokratis.
b.       Perkembangan zaman. Dalam hal ini UUD 1945 (sebelum amandemen) mengandung beberapa pasal yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan permasalahan kenegaraan dewasa ini. Oleh karena itu diperlukan perubahan agar dapat lebih sesuai dengan perkembangan zaman.
Amandemen UUD 1945 memiliki beberapa tujuan, antara lain :
a.       Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional dan memperkukuh NKRI.
b.       Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi.
c.       Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan HAM agar sesuai dengan perkembangan paham HAM dan peradaban umat manusia yang merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang tercantum dalam UUD 1945.
d.       Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern.
e.       Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum.
f.        Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan bangsa dan negara.
Dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945 terdapat beberapa kesepakatan dasar, yaitu :
a.       Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
b.       Tetap mempertahankan NKRI.
c.       Mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
d.       Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh).
7.   Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945
Prubahan terhadap UUD 1945 dilakukan secara bertahap karena mendahulukan pasal-pasal yang disepakati oleh semua fraksi di MPR, kemudian dilanjutkan dengan perubahan terhadap pasal-pasal yang lebih sulit memperoleh kesepakatan. Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan sebanyak empat kali melalui mekanisme siding MPR, yaitu :
a.       Sidang Umum MPR 1999 tanggal 14 – 21 Oktober 1999.
b.       Sidang Tahunan MPR 2000 tanggal 7 – 18 Agustus 2000.
c.       Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1 – 9 November 2001.
d.       Sidang Tahunan MPR 2002 tanggal 1 – 11 Agustus 2002.
Perubahan UUD 1945 dimaksudkan untuk menyempurnakan UUD itu sendiri, bukan untuk mengganti. Secara umum hasil perubahan yang dilakukan secara bertahap adalah sebagai berikut :
a.      Perubahan Pertama
Perubahan pertama terhadap UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999 dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat yang cenderung mensakralkan atau menjadikan UUD 1945 sebagai sesuatu yang suci yang tidak boleh disentuh ole hide perubahan.
Perubahan pertama terhadap UUD 1945 meliputi 9 pasal, 16 ayat, yaitu :
No
Pasal yang Diubah
Isi Perubahan
1
Pasal 5 ayat 1
Hak Presiden untuk mengajukan RUU kepada DPR
2
Pasal 7
Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wapres
3
Pasal 9 ayat 1 dan 2
Sumpah Presiden dan Wapres
4
Pasal 13 ayat 2 dan 3
Pengangkatan dan penempatan Duta
5
Pasal 14 ayat 1
Pemberian grasi dan rehabilitasi
6
Pasal 14 ayat 2
Pemberian amnesti dan abolisi
7
Pasal 15
Pemberian gelar, tanda jasa dan kehormatan lain
8
Pasal 17 ayat 2 dan 3
Pengangkatan Menteri
9
Pasal 20 ayat 1 - 4
Fungsi dan hak DPR
10
Pasal 21
Hak DPR mengajukan usul RUU

b.      Perubahan Kedua
Perubahan kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000 yang meliputi 27 pasal yang tersebat dalam 7 bab, yaitu :
No
Bab yang Diubah
Isi Perubahan
1
Bab VI
Pemerintahan daerah
2
Bab VII
DPR
3
Bab IX.A
Wilayah negara
4
Bab X
Warga negara dan penduduk
5
Bab X.A
Hak asasi manusia (HAM)
6
Bab XII
Pertahanan dan keamanan
7
Bab XV
Bendera, bahasa, lambing negara dan lagu kebangsaan

c.       Perubahan Ketiga
Perubahan ketiga ditetapkan pada tanggal 10 November 2001, meliputi 23 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu :
No
Bab yang Diubah
Isi Perubahan
1
Bab I
Bentuk dan kedaulatan
2
Bab II
MPR
3
Bab III
Kekuasaan pemerintahan negara
4
Bab V
Kementerian negara
5
Bab VII.A
DPR
6
Bab VII.B
Pemilu
7
Bab VIII.A
BPK

d.      Perubahan Keempat
Perubahan keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002, meliputi 16 pasal yang terdiri atas 31 butir ketentuan serta 1 butir yang dihapuskan. Dalam naskah perubahan keempat ini ditetapkan bahwa :
1)     UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat adalah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
2)     Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR-RI ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahuhan MPR-RI dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
3)     Bab IV tentang DPA dihapuskan dan pengubahan substansi pasal 16 serta penempatan-nya ke dalam bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara.
Hasil perubahan keempat terhadap UUD 1945 secara terperinci adalah sebagai berikut :
No
Pasal yang Diubah
Isi Perubahan
1
Pasal 2 ayat 1
MPR
2
Pasal 6.A ayat 4
Presiden dan Wakil Presiden
3
Pasal 8 ayat 3
Presiden dan Wakil Presiden
4
Pasal 16
Dewan Pertimbangan Presiden
5
Pasal 23.B
Macam dan harga mata uang
6
Pasal 23.D
Bank sentral
7
Pasal 24 ayat 3
Kekuasaan kehakiman
8
Pasal 31 ayat 1 - 5
Pendidikan
9
Pasal 32 ayat 1 dan 2
Kebudayaan
10
Pasal 33 ayat 4 dan 5
Perekonomian nasional
11
Pasal 34 ayat 1 - 4
Kesejahteraan sosial
12
Pasal 37 ayat 1 - 5
Perubahan UUD
13
Pasal 1 Aturan Peralihan
Peraturan perundang-undangan
14
Pasal II Aturan Peralihan
Lembaga negara
15
Pasal III Aturan Peralihan
Mahkamah Konstitusi
16
Pasal 1 Aturan Tambahan
MPR
17
Pasal II Aturan Tambahan
 Struktur UUD 1945

Secara umum dilihat dari jumlah bab, pasal dan ayatnya, hasil perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut :
No
Sebelum Perubahan
Setelah Perubahan
1
16 bab
21 bab
2
37 pasal
73 pasal
3
49 ayat
170 ayat
4
4 pasal Aturan Peralihan
3 pasal Aturan Peralihan
5
2 ayat Aturan Tambahan
2 ayat Aturan Tambahan
6
Dilengkapi Penjelasan
Tanpa Penjelasan

Pada dasarnya mengubah atau mengamandemen suatu peraturan dimaksudkan untuk menyempurnakan, melengkapi atau mengganti peraturan yang sudah ada sebelumnya. Tentu saja hasil perubahan itu diharapkan lebih baik dan berguna bagi rakyat. Demikian pula halnya perubahan terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 bukan hanya menyangkut perubahan jumlah bab, pasal dan ayat, tetapi juga ada perubahan sistem ketatanegaraan RI. Hasil-hasil perubahan tersebut menunjukkan adanya penyempurnaan kelembagaan negara, jaminan dan perlindungan HAM, dan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis. Hasil-hasil perubahan tersebut telah melahirkan peningkatan pelaksanaan kedaulatan rakyat, utamanya dalam pemilihan presiden dan kepala daerah yang secara langsung oleh rakyat. Perubahan itu secara global adalah sebagai berikut :
a.    MPR yang semula sebagai lembaga tertinggi negara dan berada di atas lembaga negara lain, berubah menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya, seperti DPR, Presiden, BPK, MA, MK, DPD, dan KY.
b.    Pemegang kekuasaan membentuk undang-undang yang semula dipegang oleh Presiden beralih ke tangan DPR.
c.    Presiden dan Wakil Presiden yang semula dipilih oleh MPR berubah menjadi dipilih oleh rakyat secara langsung dalam satu paket (pasangan).
d.   Periode masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang semula tidak dibatasi, berubah menjadi maksimal dua kali masa jabatan.
e.       Adanya lembaga negara yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).
f.     Presiden dalam hal mengangkat dan menerima duta dari negara lain harus memperhatikan pertimbangan DPR.
g.  Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR dalam hal member amnesti dan rehabilitasi.


D.  Sikap Positif Terhadap UUD 1945 Hasil Amandemen
1.    Pentingnya Amandemen UUD 1945 bagi Bangsa Indonesia
Perubahan terhadap UUD 1945 memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia, antara lain :
a.    Menghilangkan pandangan adanya keyakinan bahwa UUD 1945 merupakan hal yang sakral, tidak bisa diubah, diganti dan dikaji secara mendalam tentang kebenarannya, seperti doktrin yang diterapkan pada masa Orde Baru.
b. Perubahan UUD 1945 memberikan peluang kepada bangsa Indonesia untuk membangun dirinya, yakni melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat.
c.    Perubahan UUD 1945 mendidik jiwa demokrasi dan menghilangkan kesan jiwa UUD 1945 yang sentralistik dan otoriter, sebab dengan adanya amandemen UUD 1945 masa jabatan dan kekuasaan Presiden dibatasi serta sistem pemerintahan desentralisasi dan pemberian otonomi kepada daerah.
d.   Perubahan UUD 1945 menghidupkan perkembangan politik ke atas keterbukaan.
e.   Perubahan UUD 1945 mendorong para cendikiawan dan berbagai tokoh masyarakat untuk lebih proaktif dan kreatif mengkritisi pemerintah (demi kebaikan), sehingga mendorong kehidupan bangsa yang dinamis (berkembang) dalam segala bidang, guna mewujudkan kehidupan yang maju dan sejahtera sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju.

2.    Makna Kesetiaan pada Konstitusi
Warga negara yang baik wajib memiliki kesetiaan terhadap bangsa dan negara. Kesetiaan itu apabila diperinci mencakup 4 hal, yaitu :
a.    Kesetiaan terhadap ideologi negara.
b.    Kesetiaan terhadap konstitusi negara.
c.    Kesetiaan terhadap peraturan perundang-undangan negara.
d.   Kesetiaan terhadap kebijakan pemerintah.
Dengan demikian salah satu indicator seorang warga negara yang baik adalah memiliki kesetiaan terhadap konstitusi negara. Seorang warga negara Indonesia yang baik wajib memiliki kesetiaan terhadap konstitusi negara RI, yakni UUD 1945. Kesetiaan ini senantiasa melahirkan sikap perilaku yang positif terhadap UUD 1945.
Setia terhadap konstitusi atau UUD 1945 memiliki makna menunjukkan perilaku peduli/memperhatikan, mempelajari isinya, mengkaji maknanya, melaksanakan nilai-nilai dan aturan yang ada di dalamnya, mengamankan dan mempertahankan pelaksanaannya, serta berani membela/menegakkan jika konstitusi itu dilanggar.

3.    Pengaruh Amandemen UUD 1945 terhadap Sistem Pemerintahan Demokrasi
Perubahan terhadap UUD 1945 telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap sistem pemerintahan demokrasi di Indonesia. Hal dikarenakan adanya perubahan-perubahan penting, seperti penyempurnaan kelembagaan negara, penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis, dan peningkatan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Hal ini dapat dilihat pada hasil-hasil perubahan yang telah kita pelajari sebelumnya.

4.    Pengaruh Amandemen UUD 1945 terhadap Jaminan Perlindungan HAM
Perubahan terhadap UUD 1945 juga telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap jaminan HAM. Hal ini Nampak jelas dengan dicantumkannya pasal-pasal khusus yang secara rinci menunjukkan jaminan HAM secara konstitusional. Begitu pula sejalan dengan pelaksanaan UUD 1945 tersebut telah lahir beberapa instrumen (peraturan dan kelembagaan) yang ditujukan untuk menjamin perlindungan dan penegakkan HAM.

5.    Sikap Positif terhadap UUD 1945 Hasil Amandemen
Sebagai wujud kesetiaan terhadap konstitusi, setiap warga negara Indonesia hendaknya mampu menampilkan sikap positif terhadap pelaksanaan UUD 1945 hasil amandemen. Sikap positif tersebut antara lain :
a.    Menghargai upaya yang dilakukan oleh para mahasiswa dan para politisi yang dengan gigih memperjuangkan reformasi tatanan kehidupan bernegara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan.
b.    Menghargai upaya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara, khususnya MPR yang telah melakukan perubahan terhadap UUD 1945.
c.    Menyadari manfaat hasil perubahan UUD 1945.
d.   Mengkritisi penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan UUD 1945 hasil perubahan.
e.    Mematuhi aturan dasar hasil perubahan UUD 1945.
f.     Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab dalam melaksanakan aturan hasil perubahan UUD 1945.
g.    Menghormati dan melaksnakan aturan-aturan lain di bawah UUD 1945 termasuk tata tertib sekolah.
Tanpa sikap positif warga negara terhadap pelaksanaan UUD 1945 hasil amandemen, maka hasil perubahan UUD 1945 itu tidak akan banyak berarti bagi kebaikan hidup bernegara. Tanpa kesadaran untuk mematuhi UUD 1945 hasil amandemen, maka penyelenggaraan negara dan kehidupan bernegara tidak akan jauh berbeda dengan sebelumnya. Itulah beberapa sikap dan perilaku yang hendaknya ditunjukkan oleh warga negara yang baik.
Petunjuk : Bubuhkan tanda cek (V) dan berikan alasan sesuai dengan sikap kalian terhadap pernyataan di bawah ini.
No
Pernyataan
S
TS
Alasan
1
Perubahan UUD 1945 berpengaruh terhadap kehidupan yang lebih demokratis.



2
Perubahan UUD 1945 belum mampu mening-katkan penegakan hukum.



3
Perubahan UUD 1945 dapat menciptakan ke-hidupan masyarakat yang lebih aman, tertib dan damai.



4
Perubahan UUD 1945, terutama tentang kebi-jakan otonomi daerah, telah membawa kema-juan bagi daerah.



5
Pemilihan umum masa Orde Baru lebih demokratis daripada masa sekarang.



6
Setelah perubahan UUD 1945, rakyat kurang terlibat dalam pemilihan kepala daerah.



7
Pada masa sekarang sering terjadi pelang-garan HAM, karena UUD 1945 hasil perubahan tidak mengatur jaminan HAM.



8
Perubahan UUD 1945 tidak berkaitan dengan kepentingan rakyat, karena perubahan terse-but hanya mengatur kepentingan lembaga negara.



9
UUD 1945 tidak perlu memuat jaminan HAM yang sedemikian luas, karena HAM merupa-kan paham Barat (Liberalisme).



10
Perubahan UUD 1945 sangat perlu dilakukan untuk menjawab tantangan zaman.



11
Negara dijamin akan lebih baik dengan dilaku-kannya amandemen UUD 1945.



12
Amandemen UUD 1945 dapat menghambat pelaksanaan reformasi.



13
Amandemen UUD 1945 akan menimbulkan perubahan terhadap sistem pemerintahan.



14
Setiap warga negara wajib menerapkan isi UUD 1945 hasil amandemen.



15
Sebagai siswa yang baik saya akan mempelajari UUD 1945 hasil amandemen dan mengamalkan-nya dalam kehidupan sehari-hari sesuai kedudukan dan kemampuan.



16
Pihak-pihak yang melakukan pelanggaran ter-hadap UUD 1945 harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.




6.    Usaha Mengembangkan Sikap Positif Terhadap UUD 1945 Hasil Amandemen
Sikap positif setiap warga negara terhadap pelaksanaan UUD 1945 hasil amandemen harus dibina dan dikembangkan, sehingga akan mampu membentuk dan meningkatkan kesadaran setiap warga negara di dalam pelaksanaan UUD 1945 hasil amandemen. Dalam hal ini ada beberapa usaha yang dapat dilakukan, antara lain :
a.    Mensosialisasikan isi atau materi UUD 1945 hasil amandemen kepada segenap lapisan masyarakat melalui berbagai cara dan metode, seperti penataran, kursus, pendidikan formal, dan sebagainya.
b.    Menyadakan penerangan dan penyuluhan akan arti penting hidup berbangsa dan bernegara.
c.    Pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan ketentuan UUD 1945 hasil amandemen.
d.   Mensosialisasikan produk hukum atau peraturan yang dibentuk berdasarkan ketentuan UUD 1945 hasil amandemen.
e.    Para penyelenggara negara harus mampu menunjukkan pelaksanaan tugas dan fungsinya sesuai ketentuan UUD 1945 hasil amandemen.
f.     Mengadakan pengawasan secara ketat terhadap para penyelenggara negara, agar penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan UUD 1945 hasil amandemen.
g.    Memberikan sanksi yang tegas dan adil kepada pihak-pihak yang melanggar ketentuan UUD 1945 hasil amandemen.
h.    Memberikan jaminan terhadap pelaksanaan hak-hak warga negara dan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan UUD 1945 hasil amandemen.





2 comments: