PEMBAHASAN KISI-KISI
UKG ONLINE 2015 PKN SMP/MTS
KOMPETENSI UTAMA : PROFESIONAL
Kompetensi Inti Guru
2. Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu.
Kompetensi Guru Mata Pelajaran
2.1. Memahami kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu.
Indokator Esensial
2.1.25. Menganalisis kasus pelanggaran HAM di masyarakat menurut pasal-pasal UUD 1945.
Kasus Pelanggaran HAM di Masyarakat Menurut Pasal-pasal UUD 1945
Menurut peraturan perundang-undangan yang dimaksud pelanggaran HAM
adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja atau tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM
seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undang-undang, dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Siapa saja yang dapat melakukan pelanggaran HAM ? Pelanggaran HAM dapat dilakukan oleh dua pihak, yaitu :
-
Negara atau penyelenggara negara (state actors). Pelanggaran ini
dapat dilakukan oleh aparat negara seperti : presiden, menteri, pejabat
pemerintah, polisi dan tentara. Misalnya negara membuat kebijakan yang
salah atau kebijakan itu disalahgunakan oleh pejabat pelaksana.
Akibatnya dapat terjadi pelanggaran HAM.
- Pihak-pihak di luar negara (non state actors), yaitu masyarakat, kelompok, dan organisasi masyarakat.
Banyak terjadi kasus pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang dilakukan
pemerintah, aparat keamanan maupun oleh masyarakat. Hal ini dapat
ditunjukkan adanya korban akibat berbagai kerusuhan yang terjadi di
tanah air. Misalnya, korban hilang dalam berbagai kerusuhan di Jakarta,
Aceh, Ambon dan Papua diperkirakan ada 1148 orang hilang dalam kurun
waktu 1965 – Januari 2002 (Kompas 1 Juni 2002).
Kita juga dapat
dengan mudah menemukan pelanggaran HAM di sekitar kita yang menimpa
anak-anak. Misalnya, dalam kehidupan sehari-hari kita menyaksikan banyak
anak (dibawah umur 18 tahun) dipaksa harus bekerja mencari uang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya maupun untuk membantu keluarganya atau pihak
lain. Ada yang menjadi pengamen di jalanan, menjadi buruh, bahkan
dieksploitasi untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak patut. Mereka telah
kehilangan hak anak berupa perlindungan oleh orang tua, keluarga,
masyarakat dan negara, perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan
pekerjaan.
Begitu pula kita juga dapat menemukan kasus sejumlah
anak yang melanggar hukum (berkonflik dengan hukum). Misalnya data
Lembaga Advokasi Anak (LAdA) Lampung menyatakan jumlah anak yang
berkonflik dengan hukum selama Januari – Maret 2008 mencapai 83 orang.
Pelanggaran hukum yang dilakukan anak-anak adalah pencurian,
penganiayaan, penggunaan narkoba, pemerkosaan, perampasan, penodongan,
pembunuhan, perjudian, perampokan, penjambretan, curanmor, dan
perkelahian (“Anak-anak Berkonflik dengan Hukum, Kompas, 7 April 2008).
Dalam kehidupan sehari-hari kasus pelanggaran HAM oleh seseorang atau
masyarakat terutama pada perbuatan main hakim sendiri, seperti
pertikaian antar kelompok (konflik sosial), pengeroyokan, pembakaran
sampai tewas terhadap orang yang dituduh atau tertangkap basah melakukan
pencurian. Kebiasaan pengeroyokan sebagai bentuk main hakim sendiri
dalam menyelesaikan pertikaian atau konflik juga tampak sangat kuat di
kalangan para pelajar dan mahasiswa.
Hal ini tentunya sangat
memprihatinkan, karena mencerminkan suatu kehidupan yang tidak beradab
yang semestinya dalam menyelesaikan persoalan (konflik) dilakukan dengan
cara-cara yang bermartabat, seperti melakukan perdamaian, mengacu pada
aturan atau norma yang berlaku, melalui perantara tokoh-tokoh masyarakat
atau adat, dan lembaga-lembaga masyarakat yang ada.
Berikut ini
dipaparkan beberapa contoh pelanggaran HAM yang menjadi sorotan nasional
bahkan internasional. Namun contoh-contoh berikut harus kalian cermati,
mana yang tergolong pelanggaran HAM berat dan mana yang tergolong
pelanggaran HAM biasa.
1. Kasus Marsinah
Marsinah adalah seorang
pekerja wanita di PT. CPS, Jawa Timur. Kasus ini berawal dari unjuk
rasa dan pemogokan yang dilakukan buruh PT. CPS pada tanggal 3-4 Mei
1993. Aksi ini berbuntut dengan di-PKH-nya 13 buruh. Marsinah menuntut
dicabutnya PHK yang menimpa kawan-kawanya. Pada tanggal 5 Mei 1993
Marsinah ‘menghilang’ dan akhirnya pada 9 Mei 1993 Marsinah ditemukan
tewas dengan kondisi yang mengenaskan di hutan Wilangan Nganjuk.
b. Kasus Trisakti dan Semanggi
Kasus Trisakti dan Semanggi terkait dengan gerakan reformasi. Arah
gerakan reformasi adalah untuk melakukan perubahan yang lebih baik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan reformasi dipicu oleh krisis
ekonomi tahun 1997. Krisis ekonomi yang terjadi berkepanjangan karena
fondasi ekonomi yang lemah dan pengelolaan pemerintahan yang tidak
bersih dari KKN. Gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa
menuntut perubahan dari pemerintahan yang otoriter menjadi pemerintahan
yang demokratis, mensejahterakan rakyat dan bebas dari KKN.
Demostrasi merupakan senjata mahasiswa untuk menekan tuntutan perubahan
ketika dialog mengalami jalan buntu atau tidak efektif. Ketika
demonstrasi inilah berbagai hal yang tidak diinginkan dapat terjadi.
Karena sebagai gerakan massa tidak mudah melakukan kontrol. Bentrok
fisik dengan aparat keamanan, pengrusakan, penembakan dengan peluru
karet maupun tajam inilah yang mewarnai kasus Trisakti dan Semanggi.
Kasus Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 yang menewaskan 4 orang
mahasiswa Universitas Trisakti yang terkena peluru tajam. Kasus Trisakti
sudah ada pengadilan militer. Sedangkan tragedi Semanggi I terjadi 13
November 1998 yang menewaskan setidaknya 5 orang mahasiswa dan tragedi
Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menewaskan 5 orang
mahasiswa.
Dengan jatuhnya korban pada kasus Trisakti, emosi
masyarakat meledak. Selama dua hari berikutnya yakni 13 – 14 Mei
terjadilah kerusuhan yang membumi hanguskan sebagian ibukota Jakarta.
Kemudian berkembang meluas menjadi penjarahan dan aksi SARA (suku,
agama, ras dan antar golongan). Akibat kerusuhan tersebut, Komnas HAM
mencatat :
- 40 pusat perbelanjaan terbakar.
- 2.479 toko hancur.
- 1.604 toko dijarah.
- 1.119 mobil hangus dan ringsek.
- 1.026 rumah penduduk luluh lantak.
- 383 kantor rusak berat, dan
-
Yang lebih mengenaskan 1.188 orang meninggal dunia. Mereka kebanyak
mati di pusat-pusat perbelanjaan ketika sedang membalas dendam atas
kemiskinan yang selama ini menindih (GATRA, 9 Januari 1999).
Dengan korban yang sangat besar dan mengenaskan di atas, itulah harga
yang harus dibayar bangsa kita ketika menginginkan perubahan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Seharusnya hal itu masih dapat
dihindari apabila semua anak bangsa ini berpegang teguh pada nilai-nilai
luhur.
Pancasila sebagai acuan dalam memecahkan berbagai
persoalan dan mengelola negara ini. Peristiwa Mei 1998 dicatat disatu
sisi sebagai Tahun Reformasi dan pada sisi lain sebagai Tragedi
Nasional.
c. Kasus Bom Bali
Peristiwa peledakan bom oleh
kelompok teroris di Legian Kuta Bali 12 November 2002, yang memakan
korban meninggal dunia 202 orang dan ratusan yang luka-luka, semakin
menambah kepedihan kita. Apa lagi yang menjadi korban tidak hanya dari
Indonesia, bahkan kebanyakan dari turis manca negara yang datang sebagai
tamu di negara kita yang mestinya harus dihormati dan dijamin
keamanannya.
Selain ketiga kasus di atas, juga masih banyak kasus
pelanggaran yang mendapat perhatian tinggi dari pemerintah dan
masyarakat, antara lain :
- Kasus Tanjung Priok (1994).
- Kasus pembunuhan para ulama/kyai di Jawa Timur.
- Kasus terbunuhnya wartawan harian umum Bernas, Yogyakarta, Fuad Mohammad Safrudin (Udin) pada tahun 1996.
- DOM di Aceh.
- Peristiwa penculikan para aktivis politik pada tahun 1998.
- Kerusuhan pasca jejak pendapat pada peristiwa kemerdekaan Timor Timur tahun 1999.
- Kasus Ambon di Maluku pada tahun 1999.
- Kasus Poso di Sulawesi.
- Kasus Sampit di Kalimantan Tengah (huru hara etnis Dayak dan Madura).
- Kasus TKI di Malaysia pada tahun 2002.
- Terbunuhnya Reporter RCTI, Ersa Siregar dalam konflik Aceh pada tahun 2003.
Bila kita menganalisis kasus pelanggaran HAM di masyarakat menurut pasal-pasal UUD 1945 dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Pasal 28 A UUD 1945
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Contoh pelanggaran kasus:
Aborsi merupakan contoh kecil dari pelanggaran pasal ini, namun
inilah pelanggaran yang paling berat menurut saya, tetapi sayangnya
mendapatkan penanganan yang kurang dari para aparat. Apalah dosa seorang
bayi dalam rahim ? Ia memang tidak mengenal dunia ini, namun ia berhak
untuk mengenalnya bukan ? Lalu apakah hak seorang ibu dan pihak-pihak
lainya yang terkait untuk mencabut hak itu ?
2. Pasal 28 B Ayat (1) UUD 1945
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah”
Keluarga adalah lingkungan dimana beberapa orang yang masih memiliki
hubungan darah bersatu. Keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak .
Pengertian keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri
atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal
di suatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh satu keturunan lalu
mengerti dan merasa berdiri sebagai satu gabungan yang hakiki, esensial, enak dan berkehendak bersama-sama memperteguh gabunga itu untuk
memuliakan masing-masing anggotanya. Keluarga adalah dua atau lebih dari
dua individu yang bergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan
atau pengangkatan, dan mereka hidupnya dalam suatu rumah
tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing
dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
Peranan
keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan
situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan
dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.
3. Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
Ada banyak kasus tentang pelanggaran hak atas anak. Misalnya
pernikahan dini, minimnya pendidikan, perdagangan anak, penganiayaan
anak dan mempekerjakan anak di bawah umur. Pernikahan dini banyak
terjadi di pedesaan, 46,5% perempuan menikah sebelum mencapai 18 tahun
dan 21,5% menikah sebelum mencapai 16 tahun. Survey terhadap pekerja
seks komersial (PSK) di lokalisasi Doli, di Surabaya ditemukan bahwa 25%
dari mereka pertama kali bekerja berumur kurang dari 18 tahun (Ruth
Rosenberg, 2003).
Contoh kasus paling nyata dan paling segar
adalah pernikahan yang dilakukan oleh Kyai Pujiono Cahyo Widianto atau
dikenal dengan Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa (12 tahun). Di dalam
pernikahan itu seharusnya melanggar Undang Undang perkawinan dan Undang
Undang perlindungan anak.
Kasus lain yang baru saja terjadi yaitu
tentang perbuatan sodomi yang dilakukan oleh seorang tersangka kepada
anak-anak jalanan, bahkan tidak segan-segan tersangka tega membunuh dan
memutilasi korbannya setelah melakukan perbuatan kejinya.
4. Pasal 28 C Ayat (1) UUD 1945
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Tidak bisa
dipungkiri nilai dari biaya untuk masuk sekolah dari SD sampai Perguruan
Tinggi sangat tinggi. Di beragam media berkembang isu-isu pendidikan
legal mulai dari biaya sampai kualitas lulusan. Isu biaya di tahun
ajaran baru sekarang menjadi superstar di kalangan orang tua atau wali
para siswa dan atau mahasiswa.
Banyak pihak yang dipersalahkan
mengenai biaya pendidikan legal ini. Seharusnya murah, seharusnya
gratis, seharusnya semua mendapat kesempatan yang sama. Namun di negara Indonesia ini menunggu yang
“seharusnya” itu sepertinya masih lama. Karena memang semua juga masih
harus sekolah dan belajar, termasuk pihak-pihak yang dipersalahkan itu.
Pada dasarnya, hak untuk berpikir dan bertindak mendapatkan ilmu atau
pendidikan adalah milik semua orang. Tergantung apakah masing-masing mau
menggunakan haknya atau tidak. Kalau memang yang ingin di didik itu
menggunakan haknya dan terus berjuang mendapatkan ilmu dengan berbagai
cara, tentunya ada jalan bahwa pendidikan itu akan gratis.
Tentu
saja cara yang dipergunakan adalah berprestasi, baik dari segi nilai
akademis, kreativitas, inovasi, serta bersosialisasi untuk memperluas
wawasan yang pastinya juga bagian dari berlajar atau mendapatkan
pendidikan. Dengan demikian jika setiap siswa atau mahasiswa di
Indonesia saling bekerjasama sekaligus berkompetisi secara sehat dengan
cara-cara yang demikian, hampir pasti pendidikan Indonesia akan gratis.
Dan hampir pasti bangsa ini akan maju.
Intinya, finansial
bukanlah masalah untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Jika definisi
dari pendidikan yang layak adalah mendapatkan satu sarana gedung,
bangku, lab, pengajar atau dosen, buku-buku, dsb. Maka kesemuanya bisa
didapat secara gratis jika telah berusaha keras mendapatkan itu semua
dengan cara yang kreatif.
5. Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945
“Hak memperoleh keadilan hukum”
Belum lama ini kita sering mendengar kasus-kasus hukum yang lebih
menjerat kepada kaum tidak mampu. Salah satu kasus yang membuat miris
adalah kasus Nenek Pencuri Tiga Biji Kakao Divonis Satu Bulan Setengah.
Kasus ini adalah salah satu contoh bahwa hukum Indonesia seperti “pisau”
keatas tumpul kebawah tajam.
Dalam kasus ini nek Minah mencuri karena
terdorong kemiskinan. Kasus Minah snangat menarik perhatian masyarakat,
karena menyentuh inti kemanusiaan, melukai keadilan rakyat. Seharusnya
perkara ini tidak perlu dimeja hijaukan cukup dilakukan dengan
musyawarah. Lagi pula tiga biji benih kakao untuk ditanam kembali tidak
sampai merugikan PT RSA. Disini kita belajar bahwa dalam Negara kita
untuk memperoleh keadilan hukum sangat sulit, padahal hak memperoleh
keadilan hukum sudah diatur dalam UUD 1945 Pasal 28D Ayat (1). Sehingga
sangat diperlukan konstruksi ulang dalam peradilan dinegara kita ini.
Nenek berusia 57 tahun asal Depok ini sempat ditahan polisi karena
dilaporkan melakukan penganiayaan terhadap pembantunya. Penganiayaan
yang dimaksud adalah mencubit paha. Kasus ini terjadi pada Mei 2009
lalu. Seorang buruh pabrik bernama Hamdani divonis hukuman kurungan 2
bulan 24 hari oleh Pengadilan Negeri Tangerang pada Oktober 2002, atas
tuduhan mencuri sandal jepit milik perusahaan tempatnya bekerja. Padahal
sejatinya Hamdani hanya meminjam sandal hasil produksi perusahaan untuk
mengambil air wudlu. Praktek serupa pun dijalankan para koleganya.
Hanya saja Hamdani bernasib sial.
6. Pasal 28 E Ayat (1) UUD 1945
Contoh
kasus yang ramai pernah terjadi di Indonesia yaitu adanya aliran
Ahmadiyah. Di dalam ajaran aliran agama ini, meyakini bahwa nabi
Muhammad bukannlah nabi yang terakhir seperti yang tercantum dalam kitab
suci Al-Qur’an. Sontak dengan adanya aliran ini membuat seluruh unat
muslim menjadi geram. Entahlah, apakah aliran ini sesat atau tidak ?
Menteri Agama M. Maftuh Basyuni berkeyakinan Ahmadiyah menyesatkan
dan sesat. Namun, pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah
menteri agama atau aparat negara lainnya mempunyai wewenang menyatakan
suatu ajaran keagamaan/kepercayaan sesat dan menyesatkan dalam konteks
UUD 1945 dan hak asasi manusia (HAM) ?
Dalam konteks UUD 1945 dan
HAM, pernyataan Menteri Agama M. Maftuh Basyuni bahwa Ahmadiyah sesat
dan menyesatkan merupakan pelanggaran kebebasan memeluk agama. Menteri
Agama seharusnya memahami arti kewajivan negara untuk
melindungi/memajukan hak atas kebebasan beragama/kepercayaan.
7. Pasal 28 E Ayat (2) UUD 1945
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”
Gereja HKBP Pondok Timur Akhirnya Disegel. Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi, Senin (1/3) siang, akhirnya menyegel
rumah tinggal yang dijadikan tempat ibadah jemaat gereja Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur di Jalan Puyuh Raya RT 01/15 No 14,
Perumahan Pondok Timur Indah, Kecamatan Mustika Jaya, Kota Bekasi.
Papan tanda penyegelan tersebut dipasang petugas Dinas Penataan dan
Pengawasan Bangunan (P2B) Pemkot Bekasi, disaksikan puluhan jemaat
gereja tersebut. Tulisan di papan ini: “Bangunan ini disegel
berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2005, Perda Nomor 61 Tahun 1999, Perda
Nomor 74 Tahun 1999, Perda Nomor 4 Tahun 2000, Keputusan Wali Kota
Bekasi Nomor 15 Tahun 1998 Bidang Pengawasan dan Pengendalian Bangunan.”
Namun, setelah ditinggal petugas, papan segel tersebut pun dibuka.
Juru Bicara HKBP Pondok Timur Rever Harianja mengungkapkan, petugas P2B
melampaui kewenangan karena langsung melakukan penyegelan tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu.
“Penyegelan ini kami anggap tidak
ada. Berita acaranya saja tidak diserahkan kepada kami,” tegasnya. Ia
mengatakan, tempat tersebut tetap akan digunakan sebagai tempat untuk
menjalankan ibadah. “Tidak mungkinlah kami tidak beribadah,” ungkap
Rever yang dibenarkan sejumlah ibu-ibu warga jemaat. Lokasi itu pun
tetap dijaga karena sudah sejak tahun 2007 mereka menggunakan lokasi
tersebut sebagai tempat ibadah.
Didemo Warga Seperti diberitakan
sebelumnya, sedikitnya 250 orang yang mengaku sebagai warga setempat,
Minggu (28/2) pagi, menggelar unjuk rasa dan meminta rumah yang
dijadikan sebagai gereja itu ditutup dan dikembalikan fungsinya.
Penyegelan itu sendiri juga disesalkan para jemaat. Pendeta Gereja HKBP
Pondok Timur Luspita Simanjuntak sebelumnya juga menjelaskan bahwa
tempat itu sudah dijadikan sebagai tempat ibadah sejak tiga tahun lalu.
”Rumah tinggal yang sudah dibeli pihak gereja itu dibeli dan dijadikan
sebagai gereja karena sudah 17 tahun kami mengurus izin pembangunan
gereja, tetapi selalu mendapat penolakan dari masyarakat Mustika Jaya,”
katanya.
Dia menambahkan, pihaknya bersama beberapa pengurus
gereja lainnya, termasuk pengurus Gereja HKBP Philadelpia di Desa
Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi sudah mendatangi
Komisi III DPR RI, bahkan juga ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM).
8. Pasal 28 F Ayat (3) UUD 1945
Melihat kasus yang dialami
oleh Ibu Prita Mulyasari vs Omni International Hospital, saya tahu Ibu
Prita tidak pernah bermaksud sengaja hendak mencemarkan nama baik rumah
sakit ini seperti yang dituduhkan kepadanya tapi ia hanya ingin berbagi
pengalaman kepada teman-temannya via e-mail. Kebetulan saja ia mengalami
pengalaman kurang enak terhadap rumah sakit ini.
Setiap hari
banyak orang bekerja dan duduk berjam jam di depan internet dari pagi
hingga sore dan terkadang sampai malam hari. Sambil kerja mereka
sempatkan chatting, ngeblog, kirim e-mail dan download lagu-lagu keren.
Tetapi sampai sekarang belum banyak yang mengetahui adanya Undang-Undang
no 11 tahun 1998 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE).
9. Pasal 28 G Ayat (1)
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Contoh kasus pelanggaran HAM sesuai dengan pasal tersebut adalah :
Kasus Kedung Ombo adalah peristiwa penolakan penggusuran dan
pemindahan lokasi pemukiman oleh warga karena tanahnya akan dijadikan
waduk. Penolakan warga ini diakibatkan kecilnya jumlah ganti rugi yang
diberikan. Ketika sebagian besar warga sudah meninggalkan desanya, masih
tersisa 600 keluarga yang masih bertahan karena ganti rugi yang mereka
terima sangat kecil. Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi Rp
3.000,-/m², sementara warga dipaksa menerima Rp 250,-/m². Warga yang
bertahan juga mengalami teror, intimidasi dan kekerasan fisik akibat
perlawanan mereka terhadap proyek tersebut. Pemerintah memaksa warga
pindah dengan tetap mengairi lokasi tersebut, akibatnya warga yang
bertahan kemudian terpaksa tinggal ditengah-tengah genangan air.
Romo Mangun bersama Romo Sandyawan dan K.H. Hammam Ja’far, pengasuh
pondok pesantren Pebelan Magelang mendampingi para warga yang masih
bertahan di lokasi, dan membangun sekolah darurat untuk sekitar 3500
anak-anak, serta membangun sarana seperti rakit untuk transportasi warga
yang sebagian desanya sudah menjadi danau.Waduk ini akhirnya diresmikan
oleh Presiden Soeharto, tanggal 18 Mei 1991, dan warga tetap berjuang
menuntut haknya atas ganti rugi tanah yang layak.
Tahun 2001,
warga yang tergusur tersebut menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk membuka
kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan negosiasi ulang untuk
ganti-rugi tanah. Akan tetapi, Pemda Propinsi dan Kabupaten bersikeras
bahwa masalah ganti rugi tanah sudah selesai. Pemerintah telah meminta
pengadilan negeri setempat untuk menahan uang ganti rugi yang belum
dibayarkan kepada 662 keluarga penuntut.
10. Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”.
Di era saat ini, sepertinya
masalah kemiskinan masih belum bisa ditanggulangi oleh pemerintah.
Bahkan setiap tahun jumlahnya pun terus bertambah. Keadaanlah yang
membuat warga tersebut terbelenggu oleh kemiskinan. Apalgi kalau ada
anggota keluarga yang sakit, banyak dari mereka yang tidak mampu berobat
karena mahalnya biaya pengobatan saat ini. Sebagian dari anda tentu
pernah mendengar istilah Jamkesmas atau jaminan kesehatan masyarakat.
Ini merupakan salah satu program yang dibuat pemerintah untuk menjamin
kebutuhan kesehatan bagi masyarakat kurang atau tidak mampu. Jamkesmas
ini sebenarnya bukan suatu program baru. Program ini melanjutkan program
terdahulunya yaitu askeskin dan kartu sehat yang semuanya memiliki
tujuan yang sama, untuk menjamin pembiayaan kesehatan masyarakat miskin.
Meski sudah dijalankan, namun kenyataanya program ini belum mampu
menyentuh warga miskin yang ingin berobat. Pasalnya masih banyak warga
miskin yang tidak bisa mendapatkan perawatan yang layak karena
ketidakmampuan akan mahalnya biaya pengobatan yang harus dibayar. Banyak
sekali kasus-kasus yang menimpa warga miskin ini. Seperti yang terjadi
pada Nasarudin. Dalam proses kelahiran ketiga bayi kembarnya, dirinya
sempat mengalami beberapa penolakan dari rumah sakit karena tidak mampu.
Akhirnya ketiga bayinya pun dirawat sekedarnya, hingga seorang dari
ketiga bayinya pun meninggal dunia. Lain halnya dengan Faqih seorang
bayi berusia dua bulan meninggal dunia karena tumor pada ginjalnya.
Meski Faqih telah pergi, namun kedua orang tuanya harus berjuang
membayar biaya pengobatan yang begitu mahal selama perawatan Faqih.
Kasus-kasus diatas mungkin hanya sebagian kecil yang pernah menimpa
warga miskin di negeri ini. Tindakan dan peran pemerintah sangat penting
dalam menanggulangii kasus-kasus warga miskin yang sulit memperoleh
pengobatan. Seperti halnya pengucuran dana Jamkesmas untuk tahun 2010
ini, pemerintah berencana mengalokasikan anggaran Rp5,1 triliun untuk
membiayai pelayanan kesehatan 76,4 juta penduduk miskin dan hampir
miskin peserta Jamkesmas. Kementerian Kesehatan juga mengusulkan
penambahan alokasi anggaran sekitar Rp1,2 triliun untuk mencakup sekitar
17 juta pekerja sektor informal kurang mampu yang selama ini belum
terjangkau pelayanan Jamkesmas.
11. Pasal 28 I Ayat (1) UUD 1945
“Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hokum, dan hak untuk tidak dituntuk atas dasar hokum
yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun.”
Contoh kasus pelanggaran HAM sesuai dengan Pasal 28I Ayat 1 tersebut adalah :
Tragedi Semanggi
Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat
terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan
tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I
terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia,
yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan
Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan
tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta
serta menyebabkan 217 korban luka-luka.
Tragedi Semanggi II
Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan
tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.Kala itu adanya pendesakan
oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak
kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan
keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa
bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya
UU PKB.Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan
luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.
Pengadilan HAM ad hoc
Harapan kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II untuk menggelar
pengadilan HAM ad hoc bagi para oknum tragedi berdarah itu dipastikan
gagal tercapai. Badan Musyawarah (Bamus) DPR pada 6 Maret 2007 kembali
memveto rekomendasi tersebut. Putusan tersebut membuat usul pengadilan
HAM kandas, karena tak akan pernah disahkan di rapat paripurna. Putusan
penolakan dari Bamus itu merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya Bamus
telah menolak, namun di tingkat rapim DPR diputuskan untuk dikembalikan
lagi ke Bamus. Hasil rapat ulang Bamus kembali menolaknya. Karena itu,
hampir pasti usul yang merupakan rekomendasi Komisi III itu tak dibahas
lagi.
Rapat Bamus dipimpin Ketua DPR Agung Laksono. Dalam rapat
itu enam dari sepuluh fraksi menolak. Keenam fraksi itu adalah Fraksi
Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PPP, Fraksi PKS, Fraksi
PBR, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (BPD). Sementara fraksi yang
secara konsisten mendukung usul itu dibawa ke paripurna adalah Fraksi
PDI Perjuangan, Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Fraksi PAN, dan Fraksi
PDS.
Keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR, ini menganulir
putusan Komisi III-yang menyarankan pimpinan DPR berkirim surat kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membentuk Pengadilan HAM Ad
Hoc-membuat penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia Trisakti dan
Semanggi semakin tidak jelas.
Pada periode sebelumnya 1999-2005,
DPR juga menyatakan bahwa kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II
bukanlah pelanggaran berat HAM. 9 Juli 2001 rapat paripurna DPR RI
mendengarkan hasil laporan Pansus TSS, disampaikan Sutarjdjo
Surjoguritno. Isi laporan tersebut:
F-PDI P, F-PDKB, F-PKB (3 fraksi
) menyatakan kasus Trisakti, Semanggi I dan II terjadi unsur
pelanggaran HAM Berat. Sedangkan F-Golkar, F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F
-Reformasi, F-KKI, F-PDU (7 fraksi) menyatakan tidak terjadi
pelanggaran HAM berat pada kasus TSS.
12. Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apapundan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perilaku
yang bersifat diskriminatif itu.”
Contoh kasus pelanggaran HAM sesuai dengan pasal tersebut adalah :
Insiden Dili
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah
penembakan pemrotes Timor Timur di [[kuburan Santa [it:Massacro di
Dili]] Cruz]] di ibu kota Dili pada 12 November 1991. Para pemrotes,
kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap
pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes,
yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para
mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari
Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa
administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta
keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu.
Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung
gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para
mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan
kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada
saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai
menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas,
382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah
seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu
politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini
disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan
Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam
membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru
kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka
memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari
penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah
diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil
terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video
tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold
Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada
Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia,
hingga sangat mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan
Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup
besar, terjadi protes keras.
Banyak rakyat Portugal yang
menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan
bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang
melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa
Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena
dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di
Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa
Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan
Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah
Portugal meningkatkan kampanye diplomatik mereka, bagi pemerintah
Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth
Evans, ’suatu penyimpangan’.
Pembantaian ini (yang secara halus
disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan
Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada 1960, yang menyebabkan
penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata, dan yang
menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan internasional.
Kejadian ini kini diperingati sebagai Hari Pemuda oleh negara Timor
Leste yang merdeka. Tragedi 12 November ini dikenang oleh bangsa Timor
Leste sebagai salah satu hari yang paling berdarah dalam sejarah mereka,
yang memberikan perhatian internasional bagi perjuangan mereka untuk
merebut kemerdekaan.
13. Pasal 28 I Ayat (4) UUD 1945
“Perlindungan, pemajuan, penegakkan, danpemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.”
Contoh kasus: Tragedi Trisakti
Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998,
terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari
jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti
di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas
adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan
Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru
tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada.
14. Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945
“Dalam menjalan kan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang laindan untuk memenuhi tuntunan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu mayarakat demokratis.”
Contoh pelanggaran kasus: Gerakan 30 September
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI,
Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober)
adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di
mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang
lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai
usaha Kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar
Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta,
ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol
pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan
petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk
pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan
sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan
konstitusi di bawah dekrit presiden – sekali lagi dengan dukungan penuh
dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat
para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan
sistem “deklarasi terpimpin”. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin”
Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk
persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang
dinamakan NASAKOM.
Pada era “Demokrasi Terpimpin”, kolaborasi
antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan
pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan
masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi
birokrat dan militer menjadi wabah.
Pembahasan Indokator Esensial 2.1.25.
Download