Nov 26, 2015

Materi PKn Kelas VIII Bab III-C

MATERI PKN KELAS VIII
BAB III PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL



C. Mentaati Peraturan Perundang-Undangan Nasional

1. Kekuatan Berlakunya Undang-Undang

Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen untuk mengatur masyarakat yang bersifat mengikat terhadap warga masyarakat yang diaturnya. Namun demikian, dalam pelaksanaannya belum tentu semua peraturan dapat diterapkan dengan sempurna dan ditaati oleh seluruh warga masyarakat.
Kekuatan berlakunya undang-undang di dalam masyarakat terdiri dari :
  1. Kekuatan berlaku secara filosofis. Suatu undang-undang mempunyai kekuatan berlaku secara filosofis, apabila isi peraturan atau kaidah hukum dari undang-undang tersebut sesuai dengan cita-cita moral dan cita-cita hukum yang luhur.
  2. Kekuatan berlaku secara sosiologis. Suatu undang-undang mempunyai kekuatan berlaku secara sosiologis, apabila peraturan itu diterima oleh masyarakat sebagai hukum. Jadi berlakunya hukum menurut kenyataan di masyarakat.
  3. Kekuatan berlaku secara yuridis. Suatu undang-undang dikatakan mempunyai kekuatan berlaku secara yuridis, apabila dalam pembentukannya telah memenuhi persyaratan formalnya, yaitu :
  4. 1) Tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. 
    2) Dibentuk oleh lembaga yang sah menurut peraturan yang berlaku.
    3) Melalui proses penyusunan yang benar dan sesuai peraturan yang berlaku.

2. Pentingnya Sikap Taat Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Nasional



3. Sikap Taat Warga Negara Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Nasional

Peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka wajib ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Mentaati berasal dari kata dasar “taat” yang artinya patuh dan tunduk. Orang yang patuh dan tunduk pada peraturan adalah orang yang sadar. Seseorang dikatakan mempunyai kesadaran terhadap aturan atau hukum, yaitu apabila dia :
  1. Mempunyai pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum yang berlaku, baik di lingkungan masyarakat maupun di negara Indonesia.
  2. Memiliki pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum, artinya bukan sekedar tahu ada hukum tentang pajak, misalnya, tetapi juga dia mengetahui isi peraturan tentang pajak tersebut.
  3. Memiliki sikap positif terhadap peraturan-peraturan hukum.
  4. Menunjukkan perilaku yang sesuai dengan apa yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Orang yang mempunyai kesadaran terhadap berbagai aturan hukum akan mematuhi apa yang menjadi tuntutan peraturan tersebut. Dengan kata lain, dia akan menjadi patuh terhadap berbagai peraturan yang ada. Orang menjadi patuh, karena :
  1. Sejak kecil dididik untuk mematuhi dan melaksanakan berbagai aturan yang berlaku, baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat sekitar maupun yang berlaku secara nasional (Indoctrination).
  2. Pada awalnya bisa saja seseorang itu patuh terhadap hukum karena adanya tekanan atau paksaan untuk melaksanakan berbagai aturan tersebut. Pelaksanaan aturan yang semula karena faktor paksaan lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan (habit), sehingga tanpa sadar dia melakukan perbuatan itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Orang taat karena dia merasakan bahwa peraturan-peraturan yang ada tersebut dapat memberikan manfaat atau kegunaan bagi kehidupan diri dan lingkungannya (utility).
  4. Kepatuhan atau ketaatan karena merupakan suatu sarana untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok.
Masalah kepatuhan hukum merupakan atau menyangkut proses internalisasi dari hukum tersebut. Jadi ketaatan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang berlaku di rumah, sekolah, masyarakat sekitar, maupun dalam kehidupan berbangsa pada dasarnya berkisar pada diri warga masyarakat yang merupakan faktor yang menentukan bagi sahnya hukum.
Masalah ketaatan dalam penegakan hukum dalam arti material mengandung makna sebagai berikut :
  1. Penegakan hukum yang sesuai dengan ukuran-ukuran tentang hukum yang baik atau hukum yang buruk.
  2. Kepatuhan dari warga-warga masyarakat terhadap kaidah-kaidah hukum yang dibuat serta diterapkan oleh badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
  3. Kaidah-kaidah hukum harus selaras dengan hak asasi manusia.
  4. Negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan terwujudnya aspirasi-aspirasi manusia dan penghargaan yang wajar terhadap martabat manusia.
  5. Adanya badan-badan yudikatif yang bebas dan merdeka yang akan dapat memeriksa serta memperbaiki setiap tindakan yang sewenang-wenang dari badan-badan eksekutif.
Beikut ini adalah Pekerjaan Rumah bagi kalian, yaitu berilah masing-masing 5 contoh sikap dan perilaku yang menunjukkan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan kenegaraan.

No
Lingkungan
Ketaatan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
1
Keluarga
a.    Membuat kartu keluarga
b.    Membayar pajak bumi dan bangunan
c.    Membuat akte kelahiran
d.    Mendaftarkan pernikahan ke KUA
e.    Membayar rekening listrik
2
Sekolah
a.    Mengenakan pakaian seragam anak sekolah.
b.    Mengikuti Ujian Nasional
c.    Belajar sesuai dengan jadwal
d.    Mengikuti kegiatan ekstra kurikuler
e.    Melaksanakan upacara bendera setiap hari senin.
3
Masyarakat
a.    Tidak memaksanakan agama kepada orang lain.
b.    Ikut serta dalam menjaga keamanan dan ketertiban lingkungan masyarakat, misalnya ronda malam.
c.    Membuat Kartu Tanda Penduduk.
d.    Tidak mengganggu hak milik orang lain.
e.    Tidak main hakim sendiri.
4
Kenegaraan
a.    Mematuhi peraturan lalu lintas.
b.    Disiplin membayar pajak.
c.    Menggunakan hak pilih dalam Pemilu, Pilkada dan Pilkades.
d.    Menjaga berbagai fasilitas milik negara.
e.    Mensukseskan program Wajar Dikdas 9 tahun.


4. Perilaku Taat Terhadap Peraturan Sekolah

Wujud ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku bisa kalian tunjukkan dengan ketaatan kalian terhadap peraturan tata tertib sekolah. Untuk itu isilah skala sikap di bawah ini dengan penuh kejujuran.

Petunjuk !
Berilah tanda cek (V) pada kolom yang sesuai dengan pengalaman dan sikap perilaku kalian sendiri secara jujur.

No.
Pernyataan
Skala Sikap
Sl
Sr
Kd
TP
1
Berpakaian seragam sekolah dengan atribut lengkap.




2
Merokok di lingkungan sekolah.




3
Mencoret-coret tembok dan meja sekolah.




4
Mengikuti upacara bendera setiap hari senin dengan disiplin dan khidmat.




5
Membawa senjata tajak ke sekolah.




6
Mengenakan jaket di kelas atau lingkungan sekolah.




7
Memilih dan mengikuti kegiatan ekstra kurikules dengan baik.




8
Membiarkan rambut menutupi telinga (bagi siswa laki-laki).




9
Membawa atau memakai perhiasan ke sekolah.




10
Meninggalkan kelas/sekolah sebelum waktunya.





Keterangan :
SL = Selalu, bobot skor 4 kalau pernyataan positif dan 1 kalau negatif.
Sr = Sering, bobot skor 3 kalau pernyataan positif dan 2 kalau negatif.
Kd = Kadang-kadang, bobot skor 2 kalau pernyataan positif dan 3 kalau pernyataan negatif.
TP = Tidak pernah, bobot skor 4 kalau pernyataan positif dan 4 kalau pernyataan negatif.

5. Usaha Mengembangkan Sikap Taat Terhadap Peraturan Perundang-Undangan

Ketaatan seluruh bangsa Indonesia terhadap semua peraturan perundang-undangan sangat penting artinya kelangsungan hidup bermasyarakatm, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu ketaatan terhadap segala peraturan yang berlaku harus selalu dibina dan dikembangkan dengan melibatkan berbagai pihak dan melalui berbagai sarana yang efektif, sehingga tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum akan semakin meningkat.
Dalam kaitan dengan upaya untuk membina kesadaran hukum masyarakat, Sjachran Basah mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu :
  1. Hukum Tertulis
    1. Dalam menciptakan hukum nasional tertulis haruslah identik dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau setidak-tidaknya materi hukum termaksud harus menampung tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang sedang berkembang.
    2. Istilah-istilah dan pengertian-pengertian hukum yang membaku, benar dan tepat dalam penggunaannya jangan dipakai lagi untuk hal lain dalam penggunaan lain.
    3. Bahasa hukum tertulis harus dapat dipahami oleh warga masyarakat dan hendaknya tidak member peluang penafsiran lain.
    4. Bila diperlukan terjemahan hukum tertulis peninggalan masa colonial harus diresmikan melalui badan yang berwenang.
  2. Penegak Hukum
    1. Menertibkan fungsi, tugas, kekuasaan dan wewenang lembaga-lembaga yang bertugas menegakkan hukum menurut proporsi ruang lingkup masing-masing serta didasarkan atas sistem kerjasama yang baik mengingat koordinasi, integrasi, simplifikasi, dan sinkronasi (KISS).
    2. Memantapkan sikap dan perilaku para penegak hukum serta kemampuan dalam rangka meningkatkan citra dan wibawa hukum serta aparat penegak hukum, sehingga dapat memberikan suri tauladan terhadap warga masyarakat.
    3. Penambahan dan pemerataan tenaga-tenaga aparat penegak hukum, termasuk kesejahteraan mereka.
    4. Penyempurnaan penyelenggaraan administrasi.
    5. Merealisasikan proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
    6. Meningkatkan kelancaran pelaksanaan putusan pengadilan terutama dalam perkara perdata.
    7. Memantapkan dan meningkatkan konsultasi hukum serta bantuan hukum (ligitasi) bagi pencari keadilan yang tidak atau kurang mampu.
    8. Menghindari adanya keputusan yang simpang siur yang tidak menjamin adanya kepastian hukum.
  3. Warga Masyarakat
    1. Memupuk dan membina diri perasaan kekeluargaan dalam suatu ikatan yang utuh (cohesive force) sebagai landasan menegakkan masyarakat Pancasila.
    2. Menciptakan rasa turut memiliki (sense of belonging) dan turut berpartisipasi dalam pembangunan serta pemeliharaan hasil-hasil pembangunan.
    3. Meningkatkan pendidikan kesadaran hukum masyarakat melalui cara formal dan informal berdasarkan pendidikan budi pekerti dan tata karma, sebagai dasar pengetahuan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
  4. Komunikasi Hukum
  5. Kegiatan ini harus diselenggarakan secara kontinyu (terus-menerus) melalui berbagai cara, sarana dan media, seperti : penerangan dan penyuluhan hukum, penggunaan media cetak dan elektronik, anjang sono mahasiswa hukum dan para penegak hukum, penyelenggaraan pecan kesadaran hukum masyarakat, dan sebagainya.
  6. Penghargaan
  7. Memberikan penghargaan oleh pemerintah atau lembaga penegak hukum sebagai imbalan dan motivasi kepada mereka yang telah berjasa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum serta pembinaan kesadaran hukum masyarakat.



Materi PKn Kelas VIII Bab III-D



Nov 25, 2015

Materi PKn Kelas VIII Bab III-B

MATERI PKN KELAS VIII
BAB III PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL



B. Proses Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Nasional

1. Prinsip/Asas Peraturan Perundang-Undangan Nasional

Lembaga Administrasi Negara menyatakan, bahwa prinsip-prinsip yang mendasari pembentukan peraturan perundang-undangan adalah :
  1. Dasar yuridis (hukum) sebelumnya yang selalu peraturan perundang-undangan. Penyusunan peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan yuridis yang jelas, tanpa landasan yuridis yang jelas, perundang-undangan yang disusun tersebut dapat batal demi hukum. Adapun yang dijadikan landasan yuridis adalah selalu peraturan perundang-undangan, sedangkan hukum lain hanya dapat dijadikan bahan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut.
  2. Hanya peraturan perundang-undangan tertentu saja yang dapat dijadikan landasan yuridis. Tidak semua peraturan perundang-undangan dapat dijadikan landasan yuridis. Peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan yuridis hanyalah peraturan yang sederajat atau lebih tinggi dan terkait langsung dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat.
  3. Peraturan perundang-undangan yang masih berlaku hanya dapat dihapus, dicabut, atau diubah oleh peraturan perundang-undangan oleh yang sederajat atau yang lebih tinggi. Misalnya, dengan dikeluarkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, maka undang-undang sebelumnya yakni UU No. 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas dinyatakan tidak berlaku.
  4. Peraturan perundang-undangan baru mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama. Dengan dikeluarkannya suatu peraturan perundang-undangan yang baru, maka apabila telah ada peraturan perundang-undangan yang sejenis dan sederajat yang telah diberlakukan, maka secara otomatis peraturan perundang-undangan yang lama itu akan dinyatakan tidak berlaku. Prinsip ini dalam bahasa hukum dikenal dengan istilah lex pesteriori derogate lex priori.
  5. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhi lebih rendah kedudukannya dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka secara otomatis dinyatakan batal demi hukum. Misalnya, suatu keputusan menteri tidak dibenarkan bertentangan dengan PP, PP tidak boleh bertentangan dengan UU, dan UU tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
  6. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus dengan yang bersifat umum yang sederajat tingkatannya, maka yang dimenangkan adalah yang bersifat khusus. Prinsip ini dalam bahasa hukum dikenal dengan lex specialist lex generalist. Misalnya, bila ada masalah korupsi dan terjadi pertentangan antara UU No. 20 tahun 2001 tentang Korupsi dengan KUHP, maka yang berlaku adalah UU No. 20 tahun 2001.
  7. Setiap jenis peraturan perundang-undangan materinya berbeda. Setiap peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan harus mengatur hanya satu obyek tertentu saja. Contoh : UU No. 4 tahun 2004 yang mengatur masalah Kehakiman, UU No. 5 tahun 2004 mengatur Mahkamah Agung, UU No. 24 tahun 2003 mengatur Mahkamah Konstitusi. Jadi sekalipun ketiga lembaga tersebut sama-sama bergerak di bidang hukum, namun materinya berbeda, sehingga harus diatur oleh undang-undang yang berbeda.
Dalam Pasal 5 UU No. 12 tahun 2011 disebutkan asas-asas dalam pembentukan peraturan perundangan yaitu :
  1. Kejelasan tujuan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai
  2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, adalah setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga yang tidak berwewenang
  3. Kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan, adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
  4. Dapat dilaksanakan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
  5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, adalah bahwa setiap peraturan perundang undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
  6. Kejelasan rumusan, adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
  7. Keterbukaan, adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan.
Selanjutnya ditegaskan dalam pasal 6 bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas :
  1. Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketenteraman masyarakat.
  2. Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
  3. Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  4. Kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
  5. Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  6. Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  7. Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
  8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
  9. Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
  10. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

2. Proses Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Nasional

Peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan dalam tata urutan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011 di atas, secara lebih jelas sebagai berikut :

2.1. UUD 1945

UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundangan-undangan. Sebagai hukum, maka UUD mengikat setiap warga negara dan berisi norma dan ketentuan yang harus ditaati. Sebagai hukum dasar maka UUD 1945 merupakan sumber hukum bagi peraturan perundangan, dan merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan peraturan perundangan di Indonesia. Secara historis UUD 1945 disusun oleh BPUPKI dan ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.


MPR berwewenang mengubah dan menetapkan UUD sesuai amanat pasal 3 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan terhadap UUD 1945 sudah dilakukan sebanyak 4 (empat) kali perubahan. Perubahan ini dilakukan sebagai jawaban atas tuntutan reformasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Tata cara perubahan UUD ditegaskan dalam pasal 37 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara singkat sebagai berikut :
  1. Usul perubahan pasal-pasal diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR dan disampaikan secara tertulis yang memuat bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
  2. Sidang MPR untuk mengubah pasal-pasal dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR.
  3. Putusan untuk mengubah disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% ditambah satu dari anggota MPR.
  4. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Perlu juga kalian pahami bahwa dalam perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat beberapa kesepakatan dasar, yaitu :
  1. Tidak mengubah Pembukaaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
  4. Penjelasan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hal-hal bersifat normatif (hukum) akan dimasukkan ke dalam Pasal-pasal.
  5. Melakukan perubahan dengan cara adendum, artinya menambah pasal perubahan tanpa menghilangkan pasal sebelumnya. Tujuan perubahan bersifat adendum agar untuk kepentingan bukti sejarah.

2.2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)

Ketika MPRS dan MPR masih berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara salah satu produk hukum MPR adalah Ketetapan MPR. Ketetapan MPR adalah putusan majelis yang memiliki kekuatan hukum mengikat ke dalam dan ke luar majelis. Mengikat ke dalam berarti mengikat kepada seluruh anggota majelis. Sedangkan mengikat ke luar berarti setiap warga negara, lembaga masyarakat dan lembaga negara terikat oleh Ketetapan MPR.


Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Pasal 2 Ketetapan MPR ini menegaskan bahwa beberapa ketetapan MPRS dan MPR yang masih berlaku dengan ketentuan, adalah :
  1. Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NKRI bagi PKI dan Larangan setiap kegiatan untuk menyebarluaskan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.
  2. Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi.
  3. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.
Sedangkan Pasal 4 ketetapan MPR ini mengatur ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang, yaitu :
  1. Ketetapan MPRS RI Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera.
  2. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
  3. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI.
  4. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan. Ketetapan ini saat ini sudah tidak berlaku, karena sudah ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang hal ini.
  5. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan persatuan dan kesatuan nasional.
  6. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.
  7. Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.
  8. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika kehidupan berbangsa.
  9. Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
  10. Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan KKN.
  11. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
2.3. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perpu)

Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah peraturan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Kedua bentuk peraturan perundangan ini memiliki kedudukan yang sederajat. DPR merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang, berdasarkan pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun kekuasaan ini harus dengan persetujuan Presiden.


Suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat diusulkan oleh DPR atau Presiden. Dewan Perwakilan Daerah juga dapat mengusulkan RUU tertentu kepada DPR. Proses pembuatan undang-undang apabila RUU diusulkan oleh DPR sebagai berikut :
  1. DPR mengajukan RUU secara tertulis kepada Presiden.
  2. Presiden menugasi menteri terkait untuk membahas RUU bersama DPR.
  3. Apabila RUU disetujui bersama DPR dan Presiden, selanjutnya disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang.
Proses pembuatan undang-undang apabila RUU diusulkan oleh Presiden sebagai berikut:
  1. Presiden mengajukan RUU secara tertulis kepada Pimpinan DPR, berikut memuat menteri yang ditugaskan untuk membahas bersama DPR.
  2. DPR bersama Pemerintah membahas RUU dari Presiden.
  3. Apabila RUU disetujui bersama DPR dan Presiden, selanjutnya disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang.
Proses pembuatan undang-undang apabila RUU diusulkan oleh DPD sebagai berikut :
  1. DPD mengajukan usul RUU kepada DPR secara tertulis.
  2. DPR membahas RUU yang diusulkan oleh DPD melalui alat kelengkapan DPR.
  3. DPR mengajukan RUU secara tertulis kepada Presiden.
  4. Presiden menugasi menteri terkait untuk membahas RUU bersama DPR.
  5. Apabila RUU disetujui bersama DPR dan Presiden, selanjutnya disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) adalah peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh Presiden karena keadaan genting dan memaksa. Dengan kata lain, diterbitkannya Perppu bila keadaan dipandang darurat dan perlu payung hukum untuk melaksanakan suatu kebijakan pemerintah. Perppu diatur dalam UUD 1945 pasal 22 ayat 1, 2, dan 3,yang memuat ketentuan sebagai berikut :
  1. Presiden berhak mengeluarkan Perppu dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
  2. Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam masa persidangan berikutnya.
  3. Apabila Perppu tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perppu harus dicabut. Sedangkan apabila Perppu mendapat persetujuan DPR maka Perppu ditetapkan menjadi undang-undang.
Contoh Perppu antara lain Perpepu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perpepu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Coba kamu pelajari adakah Perppu lainnya yang telah dijadikan undang-undang.

2.4. Peraturan Pemerintah (PP)

Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundangan-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk melaksanakan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 5 ayat (2). Peraturan pemerintah ditetapkan oleh Presiden sebagai pelaksana kepala Pemerintahan. Contoh dari Peraturan Pemerintah adalah PP No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan untuk melaksanakan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tahapan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagai berikut :
  1. Tahap perencanaan rancangan Peraturan Pemerintah (PP) disiapkan oleh kementerian dan/atau lembaga pemerintah bukan kementerian sesuai dengan bidang tugasnya.
  2. Tahap penyusunan rancangan PP, dengan membentuk panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah bukan kementerian.
  3. Tahap penetapan dan pengundangan, PP ditetapkan Presiden (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945) kemudian diundangkan oleh Sekretaris Negara.

2.5. Peraturan Presiden (Perpres)

Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
Proses penyusunan Peraturan Presiden ditegaskan dalam pasal 55 UU Nomor 12 Tahun 2011, yaitu :
  1. Pembentukan panitia antar kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian oleh pengusul.
  2. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
  3. Pengesahan dan penetapan oleh Presiden.

2.6. Peraturan Daerah Provinsi

Peraturan Daerah (Perda Provinsi) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi dengan persetujuan bersama gubernur. Peraturan Daerah dibuat dengan untuk melaksanakan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Perda juga dibuat dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah. Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Pemerintah pusat dapat membatalkan Perda yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Proses penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011, bahwa Rancangan perda provinsi dapat diusulkan oleh DPRD Provinsi atau Gubernur.
Apabila rancangan diusulkan oleh DPRD Provinsi maka proses penyusunan adalah :
  1. DPRD Provinsi mengajukan rancangan perda kepada Gubernur secara tertulis.
  2. DPRD Provinsi bersama Gubernur membahas rancangan perda Provinsi.
  3. Apabila rancangan perda memperoleh persetujuan bersama, maka disahkan oleh Gubernur menjadi Perda Provinsi.
Apabila rancangan diusulkan oleh Gubernur maka proses penyusunan adalah :
  1. Gubernur mengajukan rancangan Perda kepada DPRD Provinsi secara tertulis.
  2. DPRD Provinsi bersama Gubernur membahas rancangan Perda Provinsi.
  3. Apabila rancangan Perda memperoleh persetujuan bersama, maka disahkan oleh Gubernur menjadi Perda Provinsi.

2.7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Perda dibentuk sesuai dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan, sehingga peraturan daerah dapat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya.
Proses penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011, bahwa Rancangan Perda kabupaten/kota dapat diusulkan oleh DPRD Kabupaten/Kota atau Bupati/Walikota Gubernur.
Apabila rancangan diusulkan oleh DPRD Kabupaten/Kota maka proses penyusunan adalah :
  1. DPRD Kabupaten/Kota mengajukan rancangan perda kepada Bupati/Walikota secara tertulis.
  2. DPRD Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota membahas rancangan perda Kabupaten/Kota.
  3. Apabila rancangan perda memperoleh persetujuan bersama, maka disahkan oleh Bupati/Walikota menjadi Perda Kabupaten/Kota.
Apabila rancangan diusulkan oleh Bupati/Walikota maka proses penyusunan adalah :
  1. Bupati/Walikota mengajukan rancangan perda kepada DPRD Kabupaten/Kota secara tertulis.
  2. DPRD Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota membahas rancangan perda Kabupaten/Kota.
  3. Apabila rancangan perda memperoleh persetujuan bersama, maka disahkan oleh Bupati/Walikota menjadi Perda Kabupaten/Kota.

3. Lembaga yang Berwenang dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Nasional

Sebagaimana telah ditegaskan pada pasal 1 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang. Jadi untuk setiap jenis peraturan perundang-undangan menunjukkan lembaga atau pejabat yang berwenang membuatnya. Untuk lebih jelasnya dapat kita cermati bagan berikut ini.

Peraturan
Perundang-Undangan
Lembaga/Pejabat
Yang Berwenang Membuat
Dasar Hukum
UUD 1945
MPR
Pasal 3 ayat (1) UUD 1945
Tap MPR
MPR

UU/PERPU
DPR dan Presiden
Pasal 20 UUD 1945

Peraturan Pemerintah
Presiden
Pasal 5 ayat (2) UUD 1945

Peraturan Presiden
Presiden

Peraturan Daerah
DPRD dan Kepala Daerah
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945







Materi PKn Kelas VIII Bab III-A

MATERI PKN KELAS VIII
BAB III PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL



A. Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Nasional

1. Pengertian Peraturan Perundang-Undangan Nasional

Coba kalian renungkan dan apa komentar kalian pada ilustrasi berikut ini. Mengapa pada halaman sebuah perkantoran ada tulisan dilarang parker ? Mengapa ada juga pemilik kendaraan yang memarkir kendaraannya di sana ? Mengapa petugas keamanan atau security kantor tersebut membiarkannya ? Apa seharusnya yang mesti dilakukan oleh petugas security tadi ?
Coba kalian bayangkan, bagaimana bila di jalan raya tidak ada rambu-rambu dan aturan lalu lintas ? Bagimana pula bila dalam permainan sepak bola tidak ada aturan permainan ? Intinya, bagaimana bila dalam suatu pergaulan manusia tidak ada aturan ?
Bagaimana seharusnya seseorang bersikap dan bertindak, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam ? Perbuatan apa saja yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ?
Agar dalam bersikap dan bertindak tidak saling merugikan di antara sesama manusia, maka perlu diciptakan seperangkat kaidah, norma atau aturan. Hal ini dikarenakan setiap orang mempunyai kepentingan dan keinginan yang berbeda. Agar kepentingan yang satu dengan yang lainnya tidak saling bertubrukan, maka perlu dibuat seperangkat aturan. Jadi yang disebut kaidah adalah seperangkat aturan yang mengatur kehidupan manusia dalam bergaul dengan manusia lainnya.
Coba kalian renungkan !
Adakah orang yang bisa hidup sendiri dan mampu memenuhi segala kebutuhannya tanpa bantuan orang lain ? Jawabannya sudah pasti tak akan ada seorang manusiapun, sekalipun dia memiliki pangkat atau jabatan yang tinggi dan harta kekayaan yang melimpah.
Coba kalian perhatikan ! Seorang ibu yang akan melahirkan, dia memerlukan dokter, bidan atau dukun beranak untuk membantu proses persalinan. Begitu juga ketika anaknya sudah lahir, dia pun memerlukan bantuan ibunya dan orang lain untuk mandi, untuk berpakaian dan untuk menete. Bahkan di dunia ada cerita yang sangat terkenal, yaitu cerita tentang Robinson Crusoe yang pada akhir cerita si pengarang memunculkan tokoh Friday sebagai temannya. Begitu juga cerita tentang Tarzan yang hidup di tengah hutan dan ditemani oleh berbagai binatang, yang pada akhirnya dimunculkan seorang wanita sebagai teman hidupnya yang akan melahirkan keturunannya. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa tiada seorang manusiapun yang mampu hidup tanpa bantuan dan pertolongan orang lain.
Dalam hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya yang terpenting adalah bagaimana reaksi yang ditimbulkan dari hubungan tersebut, dan inilah yang menyebabkan tindakan seseorang menjadi lebih luas. Misalnya dia seorang guru, dia memerlukan reaksi apakah yang berbentuk punishment (hukuman) atau reward (hadiah/penghargaan) yang kemudian menjadi dorongan untuk melakukan tindakan-tindakan selanjutnya.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa sejak dilahirkan manusia telah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok, yaitu :
  1. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya, yaitu masyarakat.
  2. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.
Jadi jelas, bahwa sejak dilahirkan dan secara kodrat, setiap manusia selalu ingin menyatu dengan manusia lain dan lingkungan sekitarnya dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat untuk saling berinteraksi dan memenuhi kebutuhan hidupnya satu sama lain.
Untuk dapat beradaptasi dengan kedua lingkungan tersebut, manusia dikaruniai akal pikiran dan perasaan sebagai pendorong dalam beraktivitas. Melalui akal pikiran dan perasaannya, manusia menghasilkan berbagai barang kebutuhan hidup. Misalnya untuk melindungi diri dari sengatan matahari, kucuran hujan dan menghindari serangan binatang buas, maka manusia membuat rumah. Kemudian untuk mempertahankan kehidupannya manusia juga mencari dan menciptakan aneka makanan dan sebagainya.
Sebagai bagian dari masyarakat, kita harus mampu melaksanakan berbagai kaidah hidup yang berlaku di lingkungan masyarakat. Dengan demikian kita ikut berpartisipasi dalam mewujudkan ketertiban masyarakat. Ketertiban dan masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bagaikan satu mata uang dengan dua sisinya. Mengapa ? Cicero kurang lebih 2000 tahun yang lalu menyatakan, “Ubi Societas ibi ius” artinya apabila ada masyarakat pasti ada kaidah (hukum). Kaidah yang berlaku dalam suatu masyarakat mencerminkan corak dan sifat masyarakat yang bersangkutan.
Dengan adanya kaidah atau norma membuat setiap anggota masyarakat menyadari apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Perbuatan-perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di masyarakat.
J.P. Glastra van Loan menyatakan, dalam menjalankan peranannya, hukum mempunyai fungsi :
  1. Menertibkan masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup.
  2. Menyelesaikan pertikaian.
  3. Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan, jika perlu dengan kekerasan.
  4. Mengubah tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka pengesuaian dengan kebutuhan masyarakat.
  5. Memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum dengan cara merealisasikan fungsi hukum sebagaimana disebutkan di atas.
Peraturan ada yang tertulis dan tidak tertulis. Peraturan tertulis, misalnya undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah, dan sebagainya. Peraturan tidak tertulis, seperti hukum adat, adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang dilaksanakan dalam praktek penyelenggaraan negara atau konvensi. Peraturan yang tertulis mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
  1. Keputusan yang dikeluarkan oleh yang berwenang.
  2. Isinya mengikat secara umum, tidak hanya mengikat orang tertentu.
  3. Bersifat abstrak (mengatur yang belum terjadi).
Ferry Edward dan Fockema Andreae menyatakan, bahwa perundang-undangan (legislation, wetgeving atau gezetgebung) mempunyai dua pengertian, yaitu :
  1. Perundang-undang merupakan proses pembentukan dan proses membentuk peraturan perundang-undangan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
  2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Untuk lebih jelasnya tentang makna peraturan perundang-undangan berikut kita pahami ketentuan menurut Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada bab I pasal 1 dijelaskan sebagai berikut :
  1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
  2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
  3. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
  5. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
  6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
  7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
  8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
  9. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
  10. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
  11. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
  12. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
  13. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
  14. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  15. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Fungsi Peraturan Perundang-Undangan Nasional

Suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang tidak akan ada artinya, apabila pada kenyataannya produk hukum tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena semua pihak perlu memahami fungsi peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum, sehingga akan terdorong untuk melaksanakannya dalam kehidupan nyata.
Dalam kondisi bangsa Indonesia yang tengah mengisi kemerdekaan dengan pembangunan diberbagai bidang, menurut Soerjono Soekanto peraturan perundang-undangan nasional pada hakikatnya mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu :
  1. Sebagai sarana untuk mengadakan pengendalian sosial (social control).
  2. Sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial (facilitation of human interaction).
  3. Sebagai sarana untuk mengadakan pembaharuan atau penataan (social engineering).
Sjachran Basah mengemukakan, bahwa telah banyak para ahli yang mengemukakan tentang fungsi hukum dalam kehidupan masyarakat yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut :
  1. Pemelihara ketertiban dan kepastian hukum.
  2. Pembagi hak dan kewajiban di antara anggota masyarakat.
  3. Distributor wewenang untuk mengambil keputusan dalam masalah publik.
  4. Pelerai perselisihan-perselisihan.
Selanjutnya Sjachran Basah juga mengemukakan tentang fungsi hukum dalam masyarakat terutama di Indonesia, yakni :
  1. Direktif, yaitu sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.
  2. Integratif, yaitu sebagai Pembina kesatuan bangsa.
  3. Stabilitatif, yaitu sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
  4. Perfektif, yaitu sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
  5. Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.

3. Landasan Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Nasional

Peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk di negara RI harus berdasarkan pada tiga landasan, yaitu :
3.1. Landasan Filosofis
Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan cita-cita moral dan cita hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila. Nilai-nilai yang bersumber pada pandangan filosofis Pancaila, yakni :
  1. Nilai-nilai religius bangsa Indonesia yang terangkum dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Nilai-nilai hak-hak asasi manusia dan penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan sebagaimana terdapat dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh dan kesatuan hukum nasional seperti yang terdapat dalam sila Persatuan Indonesia.
  4. Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat sebagaimana terdapat dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
  5. Nilai-nilai keadilan, baik individu maupun sosial seperti yang tercantum dalam sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3.2. Landasan Sosiologis
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan masyarakat.

3.3. Landasan Yuridis
Menurut Lembaga Administrasi Negara, landasan yiridis dalam pembuatan peraturan perundang-undangan memuat keharusan :
  1. Adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan.
  2. Adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan.
  3. Mengikuti cara-cara atau prosedur tertentu.
  4. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

4. Kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menurut UU No. 12 Tahun 2011

Tata urutan peraturan perundang-undangan sering dikemukakan dalam kaitannya dengan sumber-sumber hukum. Dalam kajian ilmu hukum, sumber hukum biasanya dibedakan atas sumber hukum materiil dan sumber hukum formal.
Sumber hukum materiil berhubungan dengan materi, isi atau apa yang diatur dalam hukum tersebut. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya, karena dari bentuknya tersebut hukum berlaku umum, diketahui dan ditaati. Dengan demikian, apabila materi hukum disusun dalam bentuk yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka secara formil materi tadi tidak dapat digolongkan sebagai hukum.
Di Indonesia, Pancasila merupakan sumber hukum materil, sumber tertib hukum dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Nilai-nilai Pancasila harus menjiwai segala produk hukum yang berlaku di Indonesia.
Atas landasan bahwa Pancaila adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kebatinan serta watak bangsa Indonesia, cita-cita mengenai kemerdekaan individu dan bangsa, cita-cita politik mengenai sifat bentuk dan tujuan negara, cita-cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan/keagamaan sebagai pengejawantahan budi nurani manusia, maka Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum itu dalam sejarah perjuangan nasional bangsa Indonesia telah melahirkan empat buah sumber hukum lain, yaitu : Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945, dan Surat Perintah 11 Maret 1966.
Adapun hubungan antara Pancasila dengan UUD 1945 yaitu bahwa Pancasila adalah jiwa, inti sumber dan landasan UUD 1945. Secara teknis dapat dikatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah garis besar cita-cita yang terkandung dalam Pancasila. Sedangkan Batang Tubuh UUD 1945 merupakan pokok-pokok dari nilai-nilai Pancasila yang disusun dalam pasal-pasal.
UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang mengikat, mengikat pemerintah, mengikat setiap lembaga negara dan lembaga masyarakat, serta mengikat setiap warga negara Indonesia. UUD 1945 ini berisi norma-norma dasar kenegaraan yang merupakan petunjuk hidup atau ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati.
Sebagai hukum dasar tertulis, UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang resmi. Artinya segala peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya harus bersumber pada UUD 1945. UUD 1945 berfungsi sebagai alat pengontrol, apakah peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUD 1945. Jadi UUD 1945 mempunyai kedudukan tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di negara Indonesia.

5. Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Nasional

Sejak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 ada beberapa peraturan yang menangani tata urutan perundang-undangan nasional, yaitu :
  1. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengatur Sumber Tertib Hukum RI.
  2. Di era reformasi MPR telah mengeluarkan Ketetapan No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
  3. Pada tahun 2004 dikeluarkan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
  4. Pada tahun 2011 dikeluarkan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Lahirnya UU No. 10 tahun 2004 tidak terlepas dari tuntutan reformasi di bidang hukum. MPR pada tahun 2003 telah mengeluarkan Ketetapan No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat (19) Ketetapan MPR No. I/MPR/2003, maka status dan kedudukan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 digolongkan pada Ketetapan MPRS yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut. Sedangkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 adalah tergolong Ketetapan MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang, sebagaimana dinyatakan pada pasal 4 ayat (4).
Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 adalah sebagai berikut :
  1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Ketetapan MPR
  3. Undang-Undang (UU)
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
  5. Peraturan Pemerintah (PP)
  6. Keputusan Presiden (Kepres)
  7. Peraturan Daerah (Perda)
Pada tahun 2004 lahir UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana pada pasal 7 ayat (1) dicantumkan mengenai Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian, maka Tap MPR No. III/MPR/2000 otomatis dinyatakan tidak berlaku.
Rumusan pasal 7 UU No. 10 tahun 2004 adalah sebagai berikut :
  1. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut :
    1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
    2) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perpu).
    3) Peraturan Pemerintah (PP).
    4) Peraturan Presiden (Perpres).
    5) Peraturan Daerah (Perda).
  2. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi :
    1) Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh DPRD Provinsi bersama dengan Gubernur.
    2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/Walikota.
    3) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
  3. Ketentuan mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur oleh Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
  4. Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
  5. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dengan lahirnya UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka UU No. 10 tahun 2004 otomatis dinyatakan tidak berlaku. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sesuai pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
  1. Undang-Undang Dasar 1945.
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
  4. Peraturan Pemerintah (PP)
  5. Peraturan Presiden (Perpres)
  6. Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi)
  7. Peraturan Daerah Kota/Kabupaten (Perda Kota/Kabupaten)
Untuk lebih memahami tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 cermati uraian berikut ini.

5.1. Undang-Undang Dasar 1945
UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis negara RI dan berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi. Berikut pendapat para ahli:
  1. L.J. van Apeldoorn menyatakan UUD adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi.
  2. E.C.S. Wade menyatakan, UUD adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.
  3. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa UUD memuat ketentuan-ketentuan mengenai organisasi negara, hak-hak asasi manusia, prosedur mengubah UUD dan memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.
Ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi negara RI merupakan :
  1. Bentuk konsekuensi dikumandangkannya kemerdekaan yang menandai berdirinya suatu negara baru.
  2. Wujud kemandirian suatu negara yang tertib dan teratur.
  3. Mengisi dan mempertahankan kemerdekaan.
UUD pada umumnya berisi hal-hal sebagai berikut :
  1. Organisasi negara, artinya mengatur lembaga-lembaga apa saja yang harus ada dalam suatu negara dengan pembagian kekuasaan masing-masing serta prosedur penyelesaian masalah yang timbul di antara lembaga tersebut.
  2. Hak-hak asasi manusia.
  3. Prosedur mengubah UUD.
  4. Memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD, seperti tidak muncul kembali seorang diktator atau pemerintahan kerajaan yang kejam.
  5. Memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi negara.
Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, menurut Miriam Budiardjo, UUD 1945 mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan undang-undang lainnya, dikarenakan :
  1. UUD dibentuk menurut suatu cara istimewa yang berbeda dengan pembentukan UU biasa.
  2. UUD dibuat secara istimewa, untuk itu dianggap sesuatu yang luhur.
  3. UUD adalah piagam yang menyatakan cita-cita bangsa Indonesia dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa.
  4. UUD memuat garis besar tentang dasar dan tujuan negara.

5.2. Ketetapan MPR

Ketika MPRS dan MPR masih berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara salah satu produk hukum MPR adalah Ketetapan MPR. Ketetapan MPR adalah putusan majelis yang memiliki kekuatan hukum mengikat ke dalam dan ke luar majelis. Mengikat ke dalam berarti mengikat kepada seluruh anggota majelis. Sedangkan mengikat ke luar berarti setiap warga negara, lembaga masyarakat dan lembaga negara terikat oleh Ketetapan MPR.
Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

5.3. Undang-Undang
Undang-undang merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk melaksanakan UUD 1945. Lembaga yang berwenang membuat UU adalah DPR bersama Presiden. Adapun kriteria agar suatu permasalahan diatur melalui UU antara lain :
  1. UU dibentuk atas perintah ketentuan UUD 1945.
  2. UU dibentuk atas perintah ketentuan UU terdahulu.
  3. UU dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah UU yang sudah ada.
  4. UU dibentuk karena berkaitan dengan hak asasi manusia.
  5. UU dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang banyak.
Adapun prosedur pembuatan undang-undang dalah sebagai berikut :
  1. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
  2. Setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
  3. RUU dapat berasal dari DPR, Presiden atau DPD.
DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan :
  1. Otonomi daerah
  2. Hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah.
  3. Pengelolaan sumber daya alam.
  4. Sumber daya ekonomi lainnya.
  5. Yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
5.4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Perpu dibentuk oleh Presiden tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR. Perpu dibuat dalam keadaan darurat atau mendesak, karena permasalahan yang muncul harus segera ditindaklanjuti. Setelah diberlakukan, Perpu tersebut harus diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan. Misalnya PERPU No. 2 tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.

5.5. Peraturan Pemerintah (PP)
Untuk melaksnakan suatu undang-undang dikeluarkan PP, dengan kriteria pembuatannya sebagai berikut :
  1. PP tidak dapat dibentuk tanpa ada UU induknya. Setiap pembentukan PP harus berdasarkan UU yang telah ada. Misalnya untuk melaksanakan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dibentuklah PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
  2. PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika UU induknya tidak mencantumkan sanksi pidana. Apa yang diatur dalam PP harus merupakan rincian atau penjabaran lebih lanjut dari UU induknya.
  3. PP tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan UU induknya. Isi atau materi PP hanya mengatur lebih rinci apa yang telah diatur dalam UU induknya.
  4. PP dapat dibentuk meskipun UU yang bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas, asal PP tersebut untuk melaksanakan UU.
Dibentuknya PP untuk melaksanakan UU yang telah dibentuk, sekalipun dalam UU tersebut tidak secara eksplisit mengharuskan dibentuknya suatu PP.

5.6. Peraturan Presiden (Perpres)
Perpres adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai atribut dari pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Perpres dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP, baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya. Misalnya Perpres No. 2 tahun 2004 tentang Pernyataan Perpanjangan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Sipil di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

5.7. Peraturan Daerah (Perda)
Perda adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten atau Kota untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah. Oleh karena itu dalam pembuatannya harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Materi Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyeleng-garaan otonomi daerah dan tugas bantuan.

6. Pentingnya Peraturan Perundang-Undangan bagi Warga Negara

Peraturan perundang-undangan sangat penting artinya bagi warga negara antara lain sebagai berikut :
  1. Menjamin kepastian hukum bagi warga negara. Dengan adanya peraturan perundang-undangan, maka akan ada kepastian hukum bagi warga negara untuk bertindak, karena mengetahui mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, serta ada pedoman yang jelas, sehingga tidak ragu-ragu dalam melakukan perbuatan.
  2. Memberikan rasa keadilan bagi warga negara. Peraturan perundang-undangan dibuat untuk menciptakan keadilan, karena dengan peraturan terdapat bukti-bukti tertulis untuk mengatur kehidupan manusia.
  3. Melindungi dan mengayomi hak-hak warga negara. Peraturan perundang-undangan berfungsi juga melindungi dan mengayomi hak-hak warga negara.