MATERI PKN KELAS VIII
BAB II KONSTITUSI DI INDONESIA
A. Konstitusi yang Pernah Digunakan di Indonesia
Seorang pemikir Romawi kuno yang bernama Cicero (106 – 43 SM) menyatakan, “Ubi societas ibi ius”, yang berarti dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Ungkapan ini menunjukkan bahwa dalam setiap kehidupan kelompok masyarakat dimanapun senantiasa terdapat aturan yang mengikat warganya guna menjamin keamanan dan ketertiban dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Lebih-lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan kehidupan kelompok manusia yang sedemikian banyak dan sedemikian kompleks permasalahannya, maka sangat diperlukan adanya aturan-aturan yang menjamin keamanan dan ketertiban, yang harus ditaati oleh seluruh warga negaranya. Aturan tertinggi dalam suatu Negara adalah Konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD).
Secara umum, Negara bisa dibagi dua yaitu Negara konstitusional dan Negara absolut. Negara konstitusional adalah Negara yang berdasarkan pada konstitusi atau UUD yang biasanya memuat hal-hal pokok tentang berdirinya negara, bagaimana cara pengaturan Negara, serta apa hak dan kewajiban pemerintah dan warga negara. Sedangkan Negara Absolut adalah negara yang tidak berdasarkan
konstitusi tetapi berdasarkan pada kekuasaan mutlak dari penguasa, sehingga dalam prakteknya mengarah pada system pemerintahan yang dictator (sewenang-wenang) dan membuat rakyatnya tertindas. Namun demikian dewasa ini negara absolut sudah hamper tidak ada, setiap negara telah memiliki konstitusi atau UUD.
1. Istilah Konstitusi
Sebagai aturan/hukum dasar dalam negara, maka konstitusi (UUD) mempunyai kedudukan tertinggi dalam peraturan perundang-undangan suatu negara.
5. Fungsi Konstitusi
8. Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Konstitusi berasal dari bahasa Perancis “Constituere” artinya menetapkan atau membentuk. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “Constitution” dan dalam bahasa Belanda digunakan istilah “Constitutie” disamping kata “Grondwet”.
Dalam istilah sehari-hari istilah “Konstitusi” sering disamakan dengan “Undang-Undang Dasar” yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Grondwet”, “Grond” artinya Dasar dan “Wet” artinya “Undang-Undang”. Namun dalam praktiknya pengertian Konstitusi lebih luas dari UUD, karena Konstitusi mencakup keseluruhan peraturan, baik yang tertulis (UUD) maupun yang tidak tertulis (Convention, Konvensi). Jadi UUD hanya bagian dari Konstitusi, dan menurut beberapa ahli bahwa istilah Konstitusi lebih tepat diartikan sebagai hukum dasar.
Salah satu penguat bahwa UUD merupakan bagian dari konstitusi disampaikan oleh Herman Heller dalam buku Verfassunglehre (Ajaran Konstitusi). Heller membagi konstitusi itu dalam tiga tingkat yaitu:
- Konstitusi sebagai pengertian sosial politik. Pada tingkat ini konstitusi baru mencerminkan keadaan sosial politik. Keadaan yang ada dalam masyarakat belum merupakan pengertian hukum.
- Konstitusi sebagai pengertian hukum. Pada tingkat ini keputusan-keputusan yang ada dalam masyarakat tersebut dijadikan rumusan normatif yang harus ditaati. Pada tingkat ini konstitusi tidak selalu tertulis, tetapi ada juga yang tertulis dalam arti terkodifikasi.
- Konstitusi sebagai suatu peraturan hukum, yakni peraturan hukum yang tertulis.
Dengan demikian dari pengertian Heller itu akan tampak bahwa UUD merupakan salah satu bagian dari konstitusi.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ferdinand Lasalle yang membagi konstitusi dalam dua golongan, yaitu :
- Konstitusi dalam pengertian sosiologis dan politis, yaitu berupa faktor-faktor kekuatan yang nyata ada dalam masyarakat. Konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang nyata dalam negara, seperti : raja, parlemen, cabinet, pressure group, partai politik.
- Konstitusi dalam pengertian yuridis, yaitu yang ditulis dalam suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Sejumlah ahli menyampaikan beragam pengertian tentang konstitusi antara lain :
- KC Wheare (1975) mengartikan Konstitusi sebagai keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara, berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk dan mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
- ECS Wade & G Philips mengemukakan, Konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu Negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.
- James Bryce mengartikan, Konstitusi adalah sebagai kerangka negara yang diorganisasikan melalui hukum. Dalam hal ini hukum menetapkan:
1) Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen
2) Fungsi dari lembaga-lembaga tersebut
3) Hak-hak yang ditetapkan
- CF Strong mengartikan konstitusi sebagai sekumpulan asas-asas yang mengatur:
1) Kekuasaan pemerintahan
2) Hak-hak dari yang diperintah
3) Hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah
Dalam ketatanegaraan dikenal ada dua macam konstitusi (hukum dasar) yaitu :
- Hukum dasar tertulis yang disebut dengan Undang-Undang Dasar (UUD).
- Hukum dasar tidak tertulis yang disebut dengan konvensi (convention).
Hukum dasar tertulis (UUD) adalah piagam-piagam tertulis yang sengaja diadakan dan memuat segala apa yang dianggap fundamental (mendasar) bagi negara pada masa itu. Karena dibuat dengan sengaja, maka UUD ini lebih terang dan tegas dari hukum dasar yang
tidak tertulis. Selain itu, UUD lebih menjamin kepastian hukum dari pada konvensi. Oleh karena cara pembuatannya melalui suatu badan tertentu yang mnempunyai tingkat tertinggi dalam suatu negara, menyebabkan UUD relatif sulit untuk diadakan perubahan, sehingga UUD bersifat lebih kaku (rigid) dari pada konvensi. Negara-negara yang mempunyai UUD misalnya : Amerika Serikat (1787), Perancis (1791), Belanda (1814), Uni Soviet (1918), Indonesia (1945), dan lain-lain. Dewasa ini hampir semua negara mempunyai UUD. Bahkan India adalah salah satu negara yang memiliki UUD yang amat panjang, yakni mencapai 395 pasal.
Adapun konvensi adalah kebiasaan-kebiasaan yang timbul dan terpelihara dalam praktek ketatanegaraan. Meskipun tidak tertulis, konvensi mempunyai kekuatan hukum yang kuat dalam ketatanegaraan. Bahkan konvensi ini lebih bersifat fleksibel/soepel (tidak rigid/kaku), luwes dan mudah diubah, sehingga mudah menyesuaikan dengan keadaan. Konvensi ini berkedudukan sebagai pelengkap dari UUD, sehingga tidak boleh bertentangan dengan UUD. Bahkan di Indonesia, konvensi bisa dikukuhkan menjadi Ketatapan MPR.
Ada suatu pengecualian, yakni Inggris yang tidak mempunyai UUD, tapi pemerintahannya didasarkan pada konvensi, antara lain :
- Piagam Magna Charta, tahun 1215.
- Petition of Rights, tahun 1628.
- The Habeas Corpus Act, tahun 1679.
- Bill of Rights, tahun 1689.
- Piagam Westminter, tahun 1931.
Negara Indoneisa, selain memiliki UUD juga memiliki dan menerapkan konvensi dalam praktek ketatanegaraannya. Adapun contoh-contoh konvensi di Indonesia antara lain :
- Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (lihat pasal 2 ayat (3) UUD 1945).
- Pidato Kenegaraan Presiden di depan Sidang DPR setiap tanggal 16 Agustus.
- Pertanggung-jawaban Presiden di akhir masa jabatannya di depan Sidang MPR serta penilaiannya dari MPR atas pertanggung-jawaban tersebut.
- Prakarsa Presiden menyusun program pembangunan.
- Ratifikasi perjanjian-perjanjian oleh DPR.
Sebagai aturan/hukum dasar dalam negara, maka konstitusi (UUD) mempunyai kedudukan tertinggi dalam peraturan perundang-undangan suatu negara.
Hukum dasar tertinggi di Indonesia adalah UUD 1945. Dengan demikian semua jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia kedudukannya di bawah UUD 1945. UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang resmi, artinya segala peraturan yang lebih rendah tingkatannya harus bersumber pada UUD 1945. Dan karena itu pula, UUD 1945 berfungsi sebagai alat control bagi peraturan
perundang-undangan di bawahnya, apakah sesuai atau tidak dengan hakikat isi UUD 1945.
Sebagai hukum dasar, UUD 1945 bersifat mengikat, mengikat pemerintah, mengikat setiap lembaga negara dan lembaga masyarakat, serta mengikat setiap warga negara Indonesia.
5. Fungsi Konstitusi
Konstitusi yang memuat seperangkat ketentuan atau aturan dasar suatu negara tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting dalam suatu negara. Mengapa ? Sebab, konstitusi menjadi pegangan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan kata lain,
penyelenggaraan negara harus didasarkan pada konstitusi dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dengan adanya pembatasan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi, maka pemerintah tidak dapat dan tidak boleh menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang.
Menurut Karl Loewenstein, Konstitusi adalah suatu sarana dasar untuk mengawasi proses-proses kekuasaan. Oleh karena itu setiap konstitusi senantiasa memiliki dua tujuan, yaitu :
- Untuk pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik.
- Untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para penguasa serta menetapkan batas-batas kekuasaannya.
C.J. Frederich menyebutkan, konstitusi sebagai proses (tata cara) yang membatasi perilaku pemerintahan secara efektif. Dengan jalan membagi kekuasaan, konstitusionalisme menyelenggarakan sistem pemerintahan yang efektif atas tindakan-tindakan pemerintah. Jadi konstitusi mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat tetapi juga oleh pemerintah.
Menurut Joeniarto, secara umum konstitusi atau UUD mempunyai fungsi sebagai berikut :
- Ditinjau dari tujuannya, yakni untuk menjamin hak-hak anggota warga masyarakatnya, terutama warga negara dari tindakan sewenang-wenang penguasanya.
- Ditinjau dari penyelenggaraan pemerintahannya, yakni untuk dijadikan landasan struktural penyelenggaraan pemerintahan menurut suatu sistem ketatanegaraan yang pasti, yang pokok-pokoknya telah digambarkan dalam aturan-aturan konstitusi/UUD.
Konstitusi atau UUD berisi ketentuan yang mengatur hal-hal yang mendasar dalam bernegara, seperti tentang batas-batas kekuasaan penyelenggara pemerintahan negara, hak-hak dan kewajiban warga negara dan lain-lain. Berikut adalah isi muatan konstitusi atau UUD menurut para ahli :
- A.A.H. Struycken, UUD (grondwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisi : 1) Tingkat perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
- Sri Soemantri, Konstitusi berisi tiga hal pokok yaitu : 1) Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dan warga negara.
- Miriam Budiardjo, Setiap UUD memuat ketentuan-ketentuan mengenai : 1) Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
2) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3) Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
4) Suatu keinginan dengan mana perkembangan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
2) Susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental.
3) Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental.
2) Hak-hak asasi manusia.
3) Prosedur mengubah UUD.
4) Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.
Sejak tanggal 18 Agustus 1945 hingga sekarang (tahun 2008/2009) negara Indonesia pernah mempergunakan tiga macam konstitusi/UUD dengan periodesasinya sebagai berikut :
NO
|
PERIODE
|
KONSTITUSI/UUD
|
1
|
18 – 08 – 1945 s/d 27 – 12 - 1949
|
UUD 1945
|
2
|
27 – 12 – 1949 s/d 17 – 08 - 1950
|
Konstitusi RIS 1949
|
3
|
17 – 08 – 1950 s/d 05 – 07 - 1959
|
UUDS 1950
|
4
|
05 – 07 – 1959 s/d 19 – 10 - 1999
|
UUD 1945
|
5
|
19 – 10 – 1999 s/d Sekarang
|
UUD 1945 (Hasil Amandemen)
|
- Periode Pertama (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949) berlaku UUD 1945
- Periode Kedua (27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950) berlaku Konstitusi RIS 1949
- Periode Ketiga (17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959) berlaku UUDS 1950
- Periode Keempat (5 Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999) berlaku UUD 1945
- Periode Kelima (19 Oktober 1999 s/d Sekarang) berlaku UUD 1945 (Hasil Amandemen/Perubahan)
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, negara RI belum memiliki konstitusi/UUD. Namun sehari kemudian, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan siding pertama yang salah satu keputusannya adalah mengesahkan UUD yang
kemudian disebut UUD 1945. Pada saat itu UUD 1945 belum ditetapkan oleh MPR sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, sebab pada saat itu MPR belum terbentuk dan PPKI dianggap sebagai badan resmi yang mewakili seluruh bangsa Indonesia.
Naskah UUD yang disahkan oleh PPKI tersebut disertai penjelasannya yang dimuat dalam Berita Negara RI No. 7 tahun II 1946. UUD 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Batang Tubuh terdiri dari 16 bab yang terbagi dalam 37 pasal, serta 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan.
Bagaimana sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 pada saat itu ? Terutama mengenai bentuk negara, kedaulatan dan sistem pemerintahan dapat dikemukakan sebagai berikut :
Bentuk negara diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk republik". Sebagai negara kesatuan, maka di negara RI hanya ada satu kekuasaan pemerintahan negara, yakni di tangan Pemerintah Pusat. Di sini tidak ada pemerintah negara bagian sebagaimana yang berlaku di negara yang berbentuk negara serikat (federasi). Sebagai negara yang berbentuk republik, maka kepala negara dijabat oleh Presiden yang diangkat melalui suatu pemilihan, bukan berdasarkan keturunan seperti di kerajaan.
Kedaulatan negara diatur dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Atas dasar itu, maka kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sedangkan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara yang lain berada di bawah MPR.
Sistem pemerintahan negara diatur dalam pasal 4 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”. Pasal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan menganut sistem presidensial. Dalam sistem ini, Presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai pelaksana tugas pemerintahan adalah pembantu Presiden yang bertanggung-jawab kepada presiden, bukan kepada DPR.
Perlu diketahui lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi negara menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah :
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)2) Presiden
3) Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
4) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
6) Mahkamah Agung (MA)
Perjalanan negara baru Republik Indonesia tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan menjajah kembali Indonesia. Belanda berusaha memecah belah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negara-negara “boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam Negara RI.
Bahkan kemudian Belanda melancarkan agresi atau pendudukan terhadap ibu kota Jakarta, yang dikenal dengan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947 dan Agresi Militer II atas kota Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948, sehingga mengakibatkan timbulnya Perang Kemerdekaan pertama dan kedua.
Untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dengan RI, lalu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dengan menyelenggarakan
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada tanggal 23 Agustus – 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari RI, BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg, yaitu gabungan negara-negara boneka bentukan Belanda), dan Belanda serta sebuah Komisi PBB untuk Indonesia.
KMB tersebut menghasilkan tiga buah persetujuan pokok yaitu :
1) Didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat.
2) Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
3) Didirikan Uni antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
2) Menteri-menteri
3) Senat
4) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/Parlemen)
5) Mahkamah Agung (MA)
6) Dewan Pengawas Keuangan (DPK)
2) Menteri-menteri
3) DPR
4) MA
5) DPK
2) Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3) Pembentukan MPRS dan DPAS.
1) Didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat.
2) Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
3) Didirikan Uni antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara serikat mengharuskan adanya penggantian UUD. Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD/Konstitusi RIS, yang rancangannya dibuat oleh delegasi RI dan delegasi BFO pada KMB.
Setelah kedua belah pihak menyetujui rancangan tersebut, maka mulai tanggal 27 Desember 1949 diberlakukan suatu UUD yang diberi nama Konstitusi RIS. Konstitusi ini terdiri dari Mukadimah yang berisi 4 alinea, Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197
pasal, serta sebuah lampiran.
Mengenai bentuk negara dinyatakan dalam pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi, “RIS yang merdeka dan berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk federasi”. Dengan berubah menjadi negara serikat/federasi, maka di dalam RIS terdapat beberapa negara bagian, yang masing-masing memiliki kekuasaan pemerintahan di wilayah negara bagiannya. Negara-negara bagian itu adalah : negara RI, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatera Timur, dan Sumatera Selatan. Selain itu terdapat pula satuan-satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu : Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur.
Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD 1945 tetap berlaku tetapi hanya untuk negara bagian RI yang wilayahnya meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota di Yogyakarta.
Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa itu adalah sistem parlementer, sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat (1) dan (2)
Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa, “Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Artinya, Presiden tidak dapat dimintai
pertanggung-jawaban atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala negara, tetapi bukan kepala pemerintahan.
Kalau demikian, siapakah yang menjalankan dan yang bertanggung-jawab atas tugas pemerintahan ?
Pada ayat (2) ditegaskan bahwa, “Menteri-menteri bertanggung-jawab atas seluruh kebijakan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Dengan demikian, yang melaksanakan dan mempertanggung-jawabkan tugas-tugas pemerintahan adalah menteri-menteri. Dalam hal ini, kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri.
Lalu, kepada siapakah pemerintah bertanggung-jawab ? Dalam sistem pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung-jawab kepada parlemen (DPR).
Perlu diketahui bahwa lembaga-lembaga negara menurut Konstitusi RIS adalah sebagai berikut :
1) Presiden2) Menteri-menteri
3) Senat
4) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/Parlemen)
5) Mahkamah Agung (MA)
6) Dewan Pengawas Keuangan (DPK)
Pada awal Mei 1950 terjadi penggabungan negara-negara bagian dalam negara RIS, sehingga hanya tinggal tiga negara bagian yaitu Negara RI, Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur (NST).
Perkembangan berikutnya adalah munculnya kesepakatan antara RIS yang mewakili NIT dan NST dengan RI untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950. Untuk mengubah negara serikat menjadi negara kesatuan diperlukan UUD negara kesatuan, yakni dengan cara memasukkan isi UUD 1945 ditambah bagian-bagian yang baik dari Konstitusi RIS.
Pada tanggal 15 Agustus 1950 ditetapkanlah Undang-Undang Federal No. 7 tahun 1950 tentang Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, yang berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian sejak tanggal tersebut Konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS 1950, dan terbentuklah kembali NKRI. UUDS 1950 terdiri dari Mukadimah dan Batang Tubuh yang meliputi 6 bab dan 146 pasal.
Mengenai bentuk negara kesatuan tersebut terdapat dalam pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang berbunyi, “RI yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan, “Menteri-menteri bertanggung-jawab atas seluruh kebijakan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Hal ini berarti yang bertanggung jawab atas seluruh kebijakan pemerintahan adalah menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen atau DPR.
Adapun lembaga-lembaga menurut UUDS 1950 adalah :
1) Presiden dan Wakil Presiden2) Menteri-menteri
3) DPR
4) MA
5) DPK
Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara yang nampakm pada rumusan pasal 134 bahwa, “Konstituante (Lembaga Pembuat UUD) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD RI yang akan menggantikan UUDS ini”. Anggota Konstituante dipilih melalui pemilu bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di Bandung.
Sekalipun Konstituante telah bekerja kurang lebih selama dua setengah tahun, namun belum juga berhasil menyelesaikan sebuah UUD. Faktor penyebabnya adalah adanya pertentangan pendapat di antara partai-partai politik yang ada di Konstituante dan di DPR serta di badan-badan pemerintahan.
Pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke UUD 1945, yang pada dasarnya saran tersebut dapat diterima oleh para anggota Konstituante, tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda. Karena tidak
ada kata sepakat, akhirnya diadakanlah pemungutan suara. Namun setelah tiga kali pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran Presiden tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang hadir.
Atas dasar hal tersebut, demi untuk menyelamatkan bangsa dan negara, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden yang isinya adalah :
1) Menetapkan pembubaran Konstituante.2) Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3) Pembentukan MPRS dan DPAS.
Dengan DP 5 Juli 1959, maka UUD 1945 berlaku kembali sebagai landasan konstitusional dalam menyelenggarakan pemerintahan negara RI.
Praktik penyelenggaraan negara pada masa berlakunya UUD 1945 sejak 5 Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999 ternyata mengalami berbagai pergeseran, bahkan terjadinya beberapa penyimpangan. Oleh karena itu pelaksanaan UUD 1945 selama kurun waktu tersebut dapat dipilah menjadi dua periode yaitu Orde Lama (1959 – 1966) dan periode Orde Baru (1966 – 1999).
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya, UUD 1945 belum dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang Presiden (Soekarno) dan lemahnya control yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan Preiden.
Selain itu muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanan dan kehidupan ekonomi semakin memburuk. Puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G-30-S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan negara.
Mengingat keadaan semakin membahayakan, Ir. Soekarno selaku Presiden RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanan, ketertiban dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru (Soeharto).
Semboyan Orde Baru pada masa itu adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Apakah terwujud tekad tersebut ? Ternyata tidak. Dilihat dari prinsip demokrasi, prinsip negara hukum dan keadilan social ternyata masih terdapat banyak hal yang jauh dari harapan. Hampir sama dengan pada masa Orde Lama, sangat dominannya kekuasaan Presiden dan lemahnya control DPR.
Selain itu, kelemahan tersebut terletak pula pada UUD 1945 itu sendiri, yang sifatnya singkat dan luwes (fleksibel), sehingga memungkinkan munculnya berbagai penyimpangan. Tuntutan untuk merubah atau menyempurnakan UUD 1945 tidak memperoleh tanggapan, bahkan pemerintah Orde Baru bertekad untuk mempertahankan dan tidak merubah UUD 1945.
Pada tanggal 21 Mei 1998 merupakan momentum penting dalam ketatanegaraan RI, dimana Presiden Soeharto turun dan diganti oleh Wakil Presiden, Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie. Pergantian ini didasarkan pada pasal 8 UUD 1945 tentang keadaan presiden dan wakil presiden RI berhalangan.
Peristiwa tanggal 21 Mei 1998 menyiratkan adanya tiga hal penting yang berkaitan dengan ketatanegaraan RI, yaitu :
1) Terjadinya penggantian presiden.
2) Runtuhnya kekuasaan Orde Baru dan munculnye Orde Reformasi
3) Perlunya mengevaluasi mekanisme penyerahan kekuasaan dari presiden dan wakil presiden yang diatur oleh Tap. MPR No. VII/MPR/1973.
Runtuhnya Orde Baru dan lengsernya Presiden Soeharto merupakan keberhasilan gerakan reformasi yang dilakukan oleh mahasiswa yang didukung oleh tokoh-tokoh reformasi. Oleh karena itu pada tanggal 21 Mei 1998 disebut sebagai awal reformasi.
Seiring dengan tuntutan reformasi dan setelah lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru, maka sejak tahun 1999 dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Sampai saat ini UUD 1945 sudah mengalami empat tahap perubahan, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002.
UUD 1945 telah mengalami perubahan yang cukup mendasar, yang menyangkut kelembagaan negara, pemilihan umum, pembatasan kekuasaan presiden dan wakil presiden, memperkuat kedudukan DPR, pemerintah daerah, dan ketentuan-ketentuan yang rinci tentang HAM.
UUD 1945 hasil amandemen memang belum dapat dilaksanakan sepenuhnya, karena memang masa berlakunya belum lama dan masih dalam masa transisi. Namun setidaknya, setelah perubahan ada beberapa praktek kenegaraan yang melibatkan rakyat secara langsung, seperti dalam pemilihan Presiden, Wapres, Gubernur, Bupati dan Walikota. Hal ini tentu lebih mempertegas prinsip kedaulatan rakyat yang dianut negara kita.
Perlu diketahui bahwa setelah perubahan UUD 1945 terdapat lembaga-lembaga negara baru yang dibentuk serta ada pula yang dihapus seperti DPA. Adapun lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 setelah amandemen adalah :
1) Presiden dan Wakil Presiden
2) MPR
3) DPR
4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
5) BPK
6) MA
7) Mahkamah Konstitusi (MK)
8) Komisi Yudisial (KY)
1) Presiden dan Wakil Presiden
2) MPR
3) DPR
4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
5) BPK
6) MA
7) Mahkamah Konstitusi (MK)
8) Komisi Yudisial (KY)
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka, bahwa negara Indonesia pernah menggunakan tiga jenis konstitusi/UUD, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Untuk itu kita dapat membandingkan sistem ketatanegaraan Indonesia menurut ketiga jenis konstitusi/UUD tersebut.
No
|
Aspek/Bidang
|
UUD 1945
|
Konstitusi RIS
|
UUDS 1950
|
1
|
Bentuk Negara
|
Republik
|
Republik
|
Republik
|
2
|
Susunan Negara
|
Kesatuan
|
Serikat
|
Kesatuan
|
3
|
Sistem Pemerintahan
|
Presidensil
|
Parlementer
|
Parlementer
|
Penjelasan :
- Bentuk Negara Republik artinya negara itu dikepalai oleh Presiden, bukan raja atau nama lainnya.
- Susunan Negara :
- Kesatuan, yaitu dimana dalam negara hanya ada satu pemegang kekuasaan pemerintahan yakni Pemerintah Pusat yang berdaulat penuh ke dalam dan ke luar, memiliki satu UUD, tidak mengenal adanya negara bagian, tetapi dikenal adanya pembagian daerah atas beberapa provinsi.
- Serikat/Federasi, yaitu negara yang memiliki negara-negara bagian yang berdaulat ke dalam, sedangkan kedaulatan ke luar ada pada pemerintah federal. Menurut C.F. Strong, cirri-ciri negara federal ialah : 1) Adanya supremasi konstitusi dimana federal itu terwujud. 2) Adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dengan negara bagian. 3) Adanya satu lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan perselisihan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian.
- Sistem Pemerintahan :
- Presidensil, yakni sistem pemerintahan yang dipegang dan dikendalikan langsung oleh Presiden. Kabinet dibentuk oleh Presiden, menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
- Parlementer, yaitu sistem pemerintahan yang dipegang dan dikendalikan oleh Parlemen. Kabinet bertanggung-jawab kepada Parlemen (DPR), kedudukan cabinet ditentukan oleh Parlemen, dan cabinet (menteri-menteri) dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada Parlemen.