PEMBAHASAN KISI-KISI
UKG ONLINE 2015 PKN SMP/MTS
KOMPETENSI UTAMA : PROFESIONAL
Kompetensi Inti Guru
2. Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu.
Kompetensi Guru Mata Pelajaran
2.1. Memahami kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu.
Indokator Esensial
2.1.23. Menerapkan norma dan kebiasaan antar derah di Indonesia.
Norma dan Kebiasaan Antar Daerah di Indonesia
A. Norma dan Kebiasaan Antar Daerah di Indonesia
Keberagaman
norma dan adat (kebiasaan) di nusantara merupakan anugerah yang tak
terhingga sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Norma dan kebiasaan dalam
suatu masyarakat tumbuh didasarkan oleh jiwa masyarakat itu sendiri.
Dalam pelaksaannya kita akan menemukan berbagai perbedaan adat dan
kebiasaan antar daerah. Adat Istiadat adalah sebuah ungkapan yang
artinya segala aturan, ketentuan, tindakan, yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat secara turun- temurun.
Tiap daerah memiliki corak dan budaya masing-masing yang menjadi ciri
khas masyarakat tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai bentuk
kegiatan sehari-hari, misalnya upacara ritual, pakaian adat, bentuk
rumah, kesenian, bahasa, dan tradisi lainnya. Contohnya adalah pemakaman
daerah Toraja, mayat tidak dikubur dalam tanah tetapi diletakkan dalam
goa. Di daerah Bali, mayat dibakar (ngaben).
Kebudayaan daerah
adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat suatu
daerah. Pada umumnya, kebudayaan daerah merupakan budaya asli dan telah
lama ada serta diwariskan turun-temurun kepada generasi berikutnya.
Kebudayaan kita sekarang ini sebenarnya merupakan hasil pertumbuhan dan
perkembangan kebudayaan masa lampau.
Contoh Adat Istiadat :
Berikut disajikan bebeapa contoh adat istiadat yang masih dilaksanakan dan dilestarikan di beberapa daerah di Indonesia.
Berikut disajikan bebeapa contoh adat istiadat yang masih dilaksanakan dan dilestarikan di beberapa daerah di Indonesia.
1. Suku Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan, Indonesia. Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku
Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah
ini dengan sebutan To Riaja, artinya “Orang yang berdiam di negeri atas
atau pegunungan”, sedangkan orang Luwu menyebutnya To Riajang, artinya
orang yang berdiam di sebelah barat. Ada juga versi lain kata Toraya. To
= Tau (orang), Raya = Maraya (besar), artinya orang orang besar,
bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata
Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal
kemudian dengan Tana Toraja.
Di wilayah Tana Toraja juga digelar “Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’ollo”, arti harfiahnya, “Negeri yang bulat seperti bulan dan
matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Tana Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara
pemakaman yang biasa disebut “Rambu Tuka”. Di Tana Toraja mayat tidak di
kubur melainkan diletakan di “Tongkonan“ untuk beberapa waktu. Jangka
waktu peletakan ini bisa lebih dari 10 tahun sampai keluarganya memiliki
cukup uang untuk melaksanakan upacara yang pantas bagi si mayat.
Setelah upacara, mayatnya dibawa ke peristirahatan terakhir di dalam Goa
atau dinding gunung.
Tengkorak-tengkorak
itu menunjukkan pada kita bahwa, mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya
diletakkan di batuan, atau dibawahnya, atau di
dalam lubang. Biasanya, musim festival pemakaman dimulai ketika padi
terakhir telah dipanen, sekitar akhir Juni atau Juli, paling lambat
September.
Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat
menyerupai hewan (Erong). Adat masyarakat Toraja antara lain, menyimpan
jenazah pada tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa’tane).
Rante adalah tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan
100 buah “batu”, dalam Bahasa Toraja disebut Simbuang Batu. Sebanyak
102 bilah batu yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran
besar, 24 buah sedang, dan 54 buah kecil. Ukuran batu ini mempunyai
nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan
situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu. Simbuang Batu
hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan
upacaranya diadakan dalam tingkat “Rapasan Sapurandanan” (kerbau yang
dipotong sekurang- kurangnya 24 ekor).
2. Ngaben - Pembakaran Jenazah di Bali
Ngaben adalah upacara
pembakaran mayat, khususnya oleh mereka yang beragama Hindu. Agama Hindu
merupakan agama mayoritas di Pulau Bali. Di dalam “Panca Yadnya”,
upacara ini termasuk dalam “Pitra Yadnya”, yaitu upacara yang ditujukan
untuk roh lelulur.
Makna upacara Ngaben pada intinya adalah,
untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat
asalnya. Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, dan
Idep. Setelah meninggal Bayu, Sabda, dan Idep itu dikembalikan ke
Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan
oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud
rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Upacara ini biasanya
dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada
suatu keyakinan bahwa, kita tidak boleh menangisi orang yang telah
meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju
tempatnya.
Hari pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari
hari baik yang biasanya ditentukan oleh Pedanda. Beberapa hari sebelum
upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan
membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas
warna warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini adalah, tempat
meletakkan mayat.
Kemudian “Bade” diusung beramai-ramai ke tempat
upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, dan diikuti seluruh keluarga
dan masyarakat. Di depan “Bade” terdapat kain putih panjang yang
bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di
setiap pertigaan atau perempatan, dan “Bade” akan diputar sebanyak 3
kali. Upacara Ngaben diawali dengan upacara-upacara dan doa mantra dari
Ida Pedanda, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi abu yang kemudian
dibuang ke laut atau sungai yang dianggap suci.
3. Suku Dayak
Sejak abad ke 17, Suku Dayak di Kalimantan mengenal tradisi penandaan
tubuh melalui tindik di daun telinga. Tak sembarangan orang bisa
menindik diri hanya pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan
tindik di kuping, sedangkan kaum wanita Dayak menggunakan anting-anting
pemberat untuk memperbesar kuping/daun telinga, menurut kepercayaan
mereka, semakin besar pelebaran lubang daun telinga semakin cantik, dan
semakin tinggi status sosialnya di masyarakat.
Kegiatan-kegiatan
adat budaya ini selalu dikaitkan dengan kejadian penting dalam
kehidupan seseorang atau masyarakat. Berbagai kegiatan adat budaya ini
juga mengambil bentuk kegiatan-kegiatan seni yang berkaitan dengan
proses inisiasi perorangan seperti kelahiran, perkawinan dan kematian
ataupun acara-acara ritus serupa selalu ada unsur musik, tari, sastra,
dan seni rupa. Kegiatan-kegiatan adat budaya ini disebut Pesta Budaya.
Manifestasi dari aktivitas kehidupan budaya masyarakat merupakan
miniatur yang mencerminkan kehidupan sosial yang luhur, gambaran wajah
apresiasi keseniannya, gambaran identitas budaya setempat.
Kegiatan adat budaya ini dilakukan secara turun temurun dari zaman nenek
moyang dan masih terus berlangsung sampai saat ini, sehingga seni
menjadi perekam dan penyambung sejarah. Jadi, dapat disimpulkan yang
disebut dengan kebudayaan adalah pikiran, karya, teknologi dan rangkaian
tindakan suatu kelompok masyarakat.
4. Kampung Adat Naga – Jawa Barat
Dalam
kehidupan masyarakat di desa Adat Naga, agama Islam merupakan
satu-satunya agama yang dianut dan dijadikan sebagai pedoman hidup oleh
mereka. Oleh karena itu, tak mengherankan kalau nuansa Islami begitu
kental mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat di desa tersebut.
Keselarasan dan keharmonisan hubungan antarwarga masyarakat terjalin
dengan baik, sehingga mereka terjaga dari hal-hal yang dapat mengganggu
kedamaian hidup mereka.
Untuk
menjaga kelangsungan hidup, masyarakat Kampung Naga memiliki sumber
mata pencaharian yang cukup beragam. Namun demikian, sebagian besar dari
mereka lebih banyak yang menggantungkan hidupnya pada bidang pertanian
tanah sawah dan perladangan tanah kering, baik yang statusnya sebagai
petani pemilik, petani penggarap, maupun buruh tani.
Kampung
Naga merupakan sebuah potret kehidupan yang khas dalam menjalankan roda
kehidupan sehari-hari. Masyarakat Kampung Naga yang begitu kukuh
memegang falsafah hidup yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dari
generasi yang satu ke generasi berikutnya.
Masyarakat
Kampung Naga mewujudkan nilai budaya melalui berbagai aspek kehidupan
seperti dalam sistem religi, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem
teknologi, dan sistem kemasyarakatan yang semuanya terangkum ke dalam
sistem budaya masyarakat Kampung Naga.
Masyarakat
Kampung Naga juga mempercayai bahwa benda-benda pusaka peninggalan
mempunyai kekuatan magis. Benda-benda pusaka itu disimpan di tempat suci
atau Bumi Ageung yang merupakan bangunan pertama yang didirikan di
Kampung adat Naga. Selanjutnya, dari masa ke masa bangunan tersebut
dirawat serta diurus oleh seorang wanita tua yang masih dekat garis
keturunannya.
Kehidupan
di kampung naga, memang terlihat agak eksklusif dibanding dengan
masyarakat sekelilingnya. Mereka masih melakukan tradisi kehidupan yang
sederhana sesuai dengan pedoman hidupnya. Seperti rumah tidak
menggunakan listrik dan jumlah rumah tidak boleh lebih dari 118 rumah
dan rumah tidak boleh ditembok dan sebagainya.
5. Suku Bugis – Sulawesi Selatan
Suku Bugis atau to Ugi
adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia.
Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam
perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh
Nusantara. Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata
pencaharian orang-orang Bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang.
Sebagian orang Bugis lebih suka merantau adalah pedagang dan berusaha (massompe)
di negeri orang lain. Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang
mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).
Umumnya
orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi
banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang
yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan
komunitasnya.
Penamaan “ugi”
merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang
terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana
Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading
juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo,
dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton (Sumber :
id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).
Peradaban
awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan
tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya
sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘ galigo
dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang
berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan
harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘.
Tokoh-tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo (Anak Sawerigading dan We‘ Cudai). Tokoh-tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara
itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunan-keturunannya,
serta nasihat-nasihat bijaksebagai penuntun orang-orang bugis dalam
mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang
mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang
berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau
di negeri orang.
Konsep ade‘
(adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang
Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama
yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak
sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat
tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat
istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain.Selain
konsep ade secara umum yang terdapat di dalam konsep pang‘ade‘reng,
terdapat pula bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam
kehidupan
bermasyarakat), wari (norma yang mengatur stratií—’kasi masyarakat), dan sara‘ (syariat Islam).
bermasyarakat), wari (norma yang mengatur stratií—’kasi masyarakat), dan sara‘ (syariat Islam).
B. Arti Penting Keberagaman Konteks Norma dan Kebiasaan Antardaerah di Indonesia
1. Arti Penting bagi Diri Sendiri
Dalam
pergaulan dengan manusia lainnya, tiap-tiap manusia mempunyai keinginan
atau kepentingan sendiri sendiri, ada manusia yang mempunyai
kepentingan yang sama dan ada pula yang mempunyai kepentingan berbeda
bahkan ada pula kepentingan yang bertentangan satu sama lainnya.
Pertentangan antara kepentingan manusia itu dapat menimbulkan kekacauan
di dalam masyarakat apabila dalam masyarakat tidak ada tata tertib atau
norma yang mengaturnya.
Rasa tenang dalam hati akan tercipta apabila kita sebagai pribadi mampu melaksanakan norma dengan baik. Seperti apabila kita selalu jujur dalam kehidupan sehari-hari, maka hati kita akan terasa tenang.
Pada dasarnya hati manusia akan selalu menyuruh untuk berbuat baik dan menyalahkan perbuatan salah. Pemahaman ini oleh para ahli disebut juga dengan ruang ketuhanan (Godspot) atau DNA Spiritualitas. Godspot ada pada diri manusia, yaitu menjelma menjadi suara hati yang akan menyuruh pada kebenaran dan merasa bersalah apabila melanggar suatu aturan.
2. Arti Penting bagi Masyarakat
Dalam
kehidupan bermasyarakat, norma memiliki arti yang sangat penting. Norma
mengatur kehidupan masyarakat agar menjadi tertib dan damai. Keinginan
setiap orang dalam masyarakat pasti berbeda. Adanya berbagai keinginan
dan lebih jauhnya kepentingan dalam masyarakat ini menyebabkan dalam
masyarakat mudah terjadinya pertentangan.
Agar
pemenuhan kebutuhan setiap manusia itu berjalan secara teratur, tidak
terjadi benturan-benturan antara kepentingan manusia yang satu dengan
kepentingan sesama, diperlukan pengaturan petunjuk hidup, aturan atau
patokan yang biasa disebut norma.
Sebagai
kaidah atau aturan yang berisi perintah dan larangan yang ditetapkan
berdasarkan kesepakatan bersama norma dapat mengatur perilaku manusia di
dalam masyarakat guna mencapai ketertiban dan kedamaian. Dengan
mentaati norma, maka tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara menjadi tertib, aman, rukun, dan damai. Suasana masyarakat
yang taat terhadap norma yang berlaku dapat membentuk suatu kehidupan
masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
C. Menghargai Norma dan Kebiasaan Antar Daerah di Indonesia
Perhatikan
teman di sekolahmu, apakah ada siswa yang memiliki sifat dan kebiasaan
yang sama. Kamu mungkin akan menemukan siswa yang pendiam, ada yang
senang bercanda dan berbagai kelakuan lainnya. Disisi yang lain kamu
juga mungkin menemukan siswa yang seringkali berkata keras. Itulah salah
satu bentuk keberagaman yang ada di sekolah.
Keberagaman kebiasaan yang terdapat di lingkungan sekolah hendaknya dapat disikapi dengan positif sebagai kekayaan kelas. Pada saat ini terutama di perkotaan, masyarakat dan sekolah terbentuk serta hidup dalam perbedaan budaya. Oleh karenanya kita dituntut untuk berpikir, bersikap, dan berperilaku sebagai manusia yang menghargai, menghormati, dan mampu bergaul dengan sesamanya.
Kebiasaan boleh berbeda, namun kita tetap saling menghormati perbedaan tersebut. Pepatah; dimana bumi dipijak disana langit dijunjung tepatlah kiranya menggambarkan sikap perilaku kita dalam pergaulan disekolah.
Di
rumah masing-masing tentunya kalian memiliki kebiasaan dan perilaku
yang berbeda. Diantara kalian mungkin saja merupakan anak satu-satunya
atau anak tunggal dalam keluarga. Anak tunggal mungkin saja berbeda
sikap dan kebiasaannya dalam kehidupan keluarga dibandingkan dengan
keluarga yang anaknya lebih dari satu.
Perbedaan
sikap dan perilaku dirumah dan dimasyarakat masing-masing ketika berada
di sekolah harus disesuaikan dengan tata aturan yang berlaku disekolah.
Bagi siswa yang diperlakukan istimewa di rumahnya, ketika berada di
sekolah semuanya memiliki kedudukan dan diperlakukan secara sama.
Diantara siswa pun harus saling menghargai, bekerjasama dan tolong
menolong tanpa membedakan satu diantara yang lainnya.
2. Menghargai Keberagaman Norma dan Kebiasaan dalam Lingkungan Pergaulan
Dalam lingkungan pergaulan, menghargai perbedaan norma dan kebiasaan dapat dilakukan dengan hal-hal berikut :
a.
Keterbukaan, untuk memahami keberagaman maka kita harus bersikap
terbuka terhadap perbedaan norma, sikap, perilaku, dan kebiasaan dan
yang harus disadari adalah bahwa semua orang itu berbeda.
b. Memahami lebih jauh hal-hal yang ada dalam lingkungan pergaulan.
c.
Mendukung sikap dan perilaku baik dari teman yang berbeda budaya.
Seperti contoh, kepada teman yang suka berkata dengan lemah lembut kita
tidak harus mempermainkannya. Lebih baik kita berkata sopan kepadanya.
d. Sikap positif seperti tidak suka mengeluh akan membuat orang lain nyaman bergaul dengan kita.
e. Percaya diri dengan tidak menganggap rendah orang lain sangat diperlukan dalam pergaulan.
f. Kebersamaan dalam pergaulan yaitu melibatkan dan tidak memilah-milah teman karena adanya berbagai perbedaan.
g.
Memahami tatacara pergaulan terutama dalam masyarakat yang budayanya
beragam. Seperti contoh dalam pergaulan masyarakat tertentu kita tidak
boleh memotong pembicaraan orang karena dianggap tidak sopan.
h.
Tidak memonopoli atau menguasai teman. Tindakan memonopoli teman
seperti memaksakan hobinya kepada orang lain akan menyebabkan pecahnya
kebersamaan.
i.
Berteman dengan memperlihatkan ekspresi dan penghargaan. Seperti
tersenyum dan memuji teman merupakan perbuatan yang akan memelihara
kebersamaan.
3. Menghargai Keberagaman Norma dan Kebiasaan dalam Lingkungan Masyarakat
Keberagaman
norma dan kebiasaan akan semakin mudah ditemukan dalam lingkungan
masyarakat terutama dalam masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan
seringkali dibentuk oleh masyarakat pendatang. Masyarakat pendatang,
membawa norma dan kebiasaan dari daerah asal yang tentunya berbeda.
Dalam
pergaulan masyarakat perkotaan berbagai perbedaan yang dimiliki tiap
orang dapat menyebabkan konflik. Konflik dapat terjadi apabila
hilangnya tenggangrasa dan saling menghargai antara satu orang dengan
orang lain atau antar masyarakat. Semua orang didalam masyarakat
memiliki kedudukan dan kewajiban yang sama. Tidak ada orang yang lebih
tinggi dibandingkan dengan yang lainnya.
Perbedaan
kebiasaan diantara masyarakat sepatutnya disikapi secara bijak oleh
masyarakat itu sendiri agar tercipta kehidupan masyarakat yang damai dan
tentram. Bentuk perilaku menghargai norma dan kebiasaan yang beragam
dimasyarakat dapat dilakukan dengan cara berikut :
a. Sikap menghormati norma dan kebiasaan yang berbeda
b. Menjunjung tinggi sikap toleransi dan kebersamaan
c. Sikap tenggang rasa, dan
d. Menjaga kerukunan antar masyarakat.
Download
No comments:
Post a Comment