MATERI PKN KELAS VIII
BAB III PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL
1. Pengertian Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Istilah “korupsi” berasal dari bahasa Latin, “corruption” dari kata kerja “corrumpere” yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Transparancy Internatinal, memberikan pengertian korupsi sebagai berikut :
- Perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri.
- yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
- dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Bila kita perhatikan pengertian di atas, secara implisit korupsi terkait erat dengan kolusi dan nepotisme, sehingga kita kenal istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Dalam pasal 1 UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN dijelaskan sebagai berikut :
- Korupsi adalah penyelewenagan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
- Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.
- Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Seseorang melakukan korupsi dapat didorong oleh dua motif, yaitu :
- Karena kebutuhan (by need), yakni dia melakukan korupsi terdorong oleh kebutuhan hidupnya yang mendesak untuk dipenuhinya. Dalam hal ini, maka bentuk upaya secara preventif dapat dilakukan dengan cara memperhatikan pendapatan dan kesejahteraan hidup para penyelenggara negara atau pegawai negara.
- Karena sifat rakus/tamak, yakni seseorang melakukan korupsi dikarenakan hawa nafsunya yang tidak pernah puas dan sifat dirinya yang rakus. Inilah tindak pidana korupsi yang amat sangat berbahaya. Dalam hal ini secara preventif dalam dilakukan upaya pembinaan mental spiritual para penyelenggara negara dan pegawai negara.
Agar menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana korupsi perlu dirumuskan sedemikian rupa dalam undang-undang, sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara melawan hukum dari pengertian formil dan materil.
Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut pidana. Tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), maka meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.
UU Tipikor menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami dan anak, serta harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Selain itu UU Tipikor juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, dengan diberikan perlindungan hukum dan penghargaan.
Pengertian tindak pidana korupsi menurut pasal 2 ayat (1) UU No. 20 tahun 2001 adalah :
- Setiap orang yang secara melawan hukum,
- melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
- yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara,
- dipidana dengan :
- pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
- denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Selain itu pada pasal 3 dinyatakan, bahwa :
- Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
- menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,
- yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
- dipidana dengan :
- pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
- dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Kemudian dalam pasal 4 UU No. 20 tahun 2001 dinyatakan bahwa, “Pengembalian kerugian negara atau perekonomian tidak menghapuskan dipidananya pelaku pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan 3”. Sedangkan sanksi yang diberikan kepada pihak yang melakukan kejahatan kolusi dalam pasal 21 UU No. 28 tahun 1999 ditegaskan :
- Setiap penyelenggara negara atau anggota komisi pemeriksa
- yang melakukan kolusi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 angka 4
- dipidana dengan :
- pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
- denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
1. Coba kalian rumuskan pengertian korupsi dengan bahasa sendiri
2. Analisa apa saja unsur-unsur dari suatu tindak pidana korupsi.
Untuk kejahatan nepotisme, sanksi yang tercantum dalam pasal 22 UU No. 28 tahun 1999 dinyatakan bahwa :
- Setiap penyelenggara negara atau anggota komisi pemeriksa,
- Yang melakukan nepotisme sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 angka 4,
- Dipidana dengan :
- Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, dan
- Denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dalam skala nasional tindakan-tindakan yang dilakukan oleh berbagai profesi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, seperti :
- Menyuap hakim adalah korupsi. Mengacu pada pengertian korupsi di atas, maka suatu perbuatan dikategorikan korupsi apabila terdapat beberapa syarat, misalnya dalam pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 20 tahun 2001. Maka untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi harus memenuhi unsur-unsur : 1) Setiap orang, 2) Memberi atau menjanjikan sesuatu, 3) Kepada hakim, 4) Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
- Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan adalah korupsi. Pasal 11 UU No. 20 tahun 2001 menyatakan bahwa untuk menyimpulkan apakah seorang pegawai negeri melakukan suatu perbuatan korupsi harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara, 2) Menerima hadiah atau janji, 3) Diketahuinya,4) Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
- Menyuap advokat adalah korupsi. Suatu perbuatan dapat dikategorikan korupsi apabila terdapat beberapa syarat, misalnya dalam pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 20 tahun 2001 yang berasal dari pasal 210 ayat (1) KUHP yang dirujuk dalam pasal 1 ayat (1) huruf e UU No. 3 tahun 1971, dan pasal 6 UU No. 31 tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 tahun 2001. Maka untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi harus memenuhi unsur-unsur : 1) Setiap orang, 2) Memberi atau menjanjikan sesuatu, 3) Kepada advokat yang menghadiri siding pengadilan, 4) Dengan maksud untuk memperngaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Tindak pidana korupsi mengakibatkan dampak negatif yang sangat besar terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena :
- Menghabiskan keuangan negara.
- Menimbulkan ketidak-adilan dalam hal pendapatan dan kekayaan.
- Menimbulkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemimpin negara.
- Menciptakan rasa frustasi, kekesalan, kemarahan dan dendam pada kalangan rakyat yang tidak memperoleh pendapatan secara adil.
- Menciptakan aksi pertentangan, permusuhan, kerusuhan dan tindak pengrusakan (anarkhis) terhadap penyelenggara negara dan fasilitas negara.
- Menjadikan negara memiliki banyak hutang luar negeri untuk menutupi kekurangan anggaran.
- Hanya akan memperkaya diri sendiri dan keluarga si pelaku korupsi dan kroninya.
- Menghambat pelaksanaan program pembangunan bangsa dan negara.
3. Kasus Korupsi di Berbagai Bidang dan Proses Hukumnya
Dewasa ini kasus-kasus korupsi yang terjadi di negara Indonesia semakin menarik untuk dibicarakan. Korupsi bukan hanya terjadi di lingkungan pejabat eksekutif (pemerintah), tetapi juga di lembaga legislatif dan yudikatif. Bahkan lebih memprihatinkan lagi secara umum tindak korupsi telah menjadi budaya yang menyeluruh di masyarakat dalam segala gatra dan bidang kehidupan. Korupsi merupakan penyakit masyarakat yang sangat membahayakan, karena dapat mengecam kelancaran pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Berikut ini adalah contoh kasus-kasus korupsi di Indonesia dalam berbagai bidang, diantaranya :
- Kasus korupsi pembobolan Bank Indonesia.
- Kasus korupsi PT. Jamsostek
- Kasus korupsi di Bulog
- Kasus korupsi penyelewengan APBD yang melibatkan beberapa anggota DPRD dan Kepala Daerah.
- Dugaan korupsi di lingkungan PLN.
- Dugaan korupsi di PT. Pertamina
- Kasus korupsi penyelewengan dana reboisasi hutan.
- Kasus penyimpangan dana Pemilu yang dilakukan oleh Pejabat KPU.
- Kumpulkan guntingan berita kasus korupsi minimal 5 kasus yang terjadi di berbagai bidang, baik di tingkat pusat maupun di daerah.
- Berikan gambaran singkat mengenai kasus-kasus korupsi tersebut.
- Berikan analisa mengenai proses hukum terhadap kasus-kasus korupsi tersebut.
Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang serta kian merebaknya kasus-kasus korupsi yang terbongkar, maka aspirasi dan tuntutan masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat. Oleh karena itu, upaya pencegahan (preventif) dan pemberantasan (represif) harus terus ditingkatkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Pada pasal 1 ayat (3) UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan : Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah rangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berikut ini adalah upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas korupsi di Indonesia, antara lain :
- Membentuk instrumen (aturan hukum dan lembaga) yang berkenaan dengan masalah korupsi.
- Meningkatkan fungsi Badan Pengawas Keuangan yang dibantu oleh lembaga pengawas lainnya.
- Meningkatkan pengawasan penggunaan anggaran di berbagai departeman.
- Menciptakan sistem dan aturan yang tidak member peluang untuk terjadinya korupsi.
- Penegakan hukum secara tegas, khususnya UU Tipikor.
- Meningkatkan pendapatan/kesejahteraan para pegawai negeri dan penyelenggara negara, khususnya para penegak hukum.
- emfasilitasi dan memberikan jaminan hukum terhadap warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi.
No comments:
Post a Comment