Oct 7, 2011

PERAN GURU DALAM MENANGANI MASALAH KENAKALAN REMAJA
Oleh: Jajang Sulaeman, S.Pd.


A.    Pengertian Remaja
Seringkali  dengan  gampang  orang  mendefinisikan  remaja sebagai  periode  transisi  antara  masa  anak-anak  kemasa  dewasa,  atau disebut  juga  usia  belasan.  Hurlock  (1999:  206)  menyatakan  bahwa “Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa”.
Remaja merupakan  peralihan  antara masa  kehidupan  anak  dan masa kehidupan orang dewasa. Bila ditinjau dari segi  tubuhnya, mereka terlihat  sudah  dewasa  tetapi  jika  mereka  diperlakukan  sebagai  orang dewasa ternyata belum dapat menunjukkan sikap dewasa. 
Hurlock  (1999 : 206) menjelaskan bahwa :
Istilah  adolescence  atau  remaja  berasal  dari  kata  latin adolescere  (kata  bendanya  adolescentia  yang  berarti  remaja  primitive) yang  berarti  tumbuh  atau  tumbuh  menjadi  dewasa.  Anak  dianggap sudah  dewasa  bila  sudah  mampu  mengadakan  reproduksi.  Istilah adolescence seperti yang digunakan saat  ini mempunyai arti yang lebih luas,  mencakup  kematangan  mental,  sosial  dan  fisik.

Dalam  ilmu  kedokteran  dan  ilmu-ilmu  yang  terkait  (seperti Biologi  dan  Ilmu  Faal)  remaja  dikenal  sebagai  suatu  tahap perkembangan  fisik  di  mana  alat-alat  kelamin    manusia  mencapai kematangannya  (Sarlito,  2002:6).  Dalam  pengertian  ini  remaja   20 dipandang  dari  sudut  fisik  dimana  individu  disebut  remaja  apabila individu tersebut secara fisik telah mampu untuk melakukan reproduksi.
Selain  itu  juga,  Sugeng  Haryadi (1995:  11-12)  mengatakan bahwa  “Remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak dan masa kehidupan  dewasa  dan  remaja  sering  menunjukkan  kegelisahan, pertentangan,  dan  keinginan  mencoba  segala  sesuatu.”  Dalam  hal  ini remaja  dikatakan  sebagai  individu  yang  masih  belum  jelas  identitas dirinya  atau  juga  disebut  dengan  individu  yang  masih  mencari  jati dirinya.  Misalnya  saja  remaja  mempunyai  rasa  keingin  tahuan  yang tinggi, jarang sekali remaja yang memgang prisip atas dirinya.
Pada  tahun  1974, WHO memberi  definisi  tentang  remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria yang biologik, psikologik, dan sosial ekonomi, sehingga secara  lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut  :
1)      Individu  berkembang  dari  saat  pertama  kali  ia menunjukkan  tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2)      Individu  mengalami  perkembangan  psikologik  dan  pola  identifikasi  dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3)      Terjadi  peralihan  dari  ketergantungan  sosial-ekonomi  yang  penuh  pada keadaan yang relative lebih mandiri .
                  (Muangman (1980) yang dikutip oleh  Sarlito, 2002: 9).
Mendefinisikan  remaja  untuk  masyarakat  Indonesia menggunakan  batasan  usia  11-24  tahun  dan  belum  menikah.  Untuk definisi  remaja  di  Indonesia  diartikan  dengan  pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut  :
1)      Usia  11  tahun  adalah  usia  di mana  pada  umumnya  tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik).
2)      Di  banyak masyarakat  Indonesia,  usia  11  tahun  sudah  dianggap usia  akil  balig,  baik  menurut  adat  maupun  agama,  sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak.
3)      Mulai  ada  tanda-tanda  menyempurnakan  perkembangan  jiwa seperti  tercapainya  identitas  diri,  tercapainya  fase  genital  dari perkembangan  psikoseksual  dan  tercapainya  puncak perkembangan kognitif maupun moral.
4)      Orang-orang  yang  sampai  batas  usia  24  tahun  belum  dapat memnuhi  persyaratan  kedewasaan  secara  rasional  maupun psikologik, masih dapat digolongkan remaja.
Sedangkan rentang usia remaja yang digunakan oleh para ahli seperti dikemukakan oleh Deswita (2006 : 192) bahwa :
Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12 – 15 tahun = masa remaja awal, 15 – 18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun = masa remaja akhir.  Tetapi Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10 – 12 tahun, masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja pertengahan 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21 tahun.

Remaja sebetulnya  tidak mempunyai  tempat yang  jelas. Remaja tidak  termasuk kedalam golongan anak-anak,  tetapi  juga  tidak  termasuk golongan  dewasa.  Remaja  berada  di  antara  masa  kanak-kanak  dan dewasa. Biasanya masa  remaja dianggap  telah mulai ketika anak secara seksual menjadi matang, dan kemudian berakhir pada  saat  ia mencapai usia yang secara hukum  disebut usia dewasa yaitu ± 24 tahun.
Berdasarkan  pemaparan  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa remaja  adalah  individu  yang  berusia  belasan  tahun  (12-21  tahun)  yang tergolong  dalam  masa  transisi  antara  masa  anak-anak  menuju  masa dewasa.  Dalam  masa  transisi  inilah  remaja  cenderung  untuk  ingin disebut  sebagai orang yang  sudah dewasa. Agar  terkesan  sebagai orang yang sudah dewasa  remaja cenderung melakukan kebiasaan yang sering dilakukan  oleh orang dewasa,  salah  satu  contohnya  adalah  bagi  remaja laki-laki dengan merokok.

B.     Karakteristik Masa Remaja

Masa remaja mempunyai ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya. Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1992 : 24), antara lain :
1.      Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
2.      Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.
3.      Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan.
4.      Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.
5.      Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua menjadi takut.
6.      Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiridan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita.
7.      Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.

Disimpulkan adanya perubahan fisik maupun psikis pada diri remaja, kecenderungan remaja akan mengalami masalah dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal ini diharapkan agar remaja dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik-baik dan penuh tanggung jawab.
Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan remaja yang mencakup perubahan transisi biologis, transisi kognitif, dan transisi sosial dapat dikemukakan sebagai berikut :
  1. Transisi Biologis
Menurut Santrock (2003 : 91) perubahan fisik yang terjadi pada remaja terlihat nampak pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya tinggi dan berat badan serta kematangan sosial. Diantara perubahan fisik itu, yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 52).
Selanjutnya, Menurut Muss (dalam Sunarto & Agung Hartono, 2002: 79) menguraikan bahwa perubahan fisik yang terjadi pada anak perempuan yaitu; perertumbuhan tulang-tulang, badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan menjadi panjang, tumbuh payudara.Tumbuh bulu yang halus berwarna gelap di kemaluan, mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimum setiap tahunnya, bulu kemaluan menjadi kriting, menstruasi atau haid, tumbuh bulu-bulu ketiak.
Sedangkan pada anak laki-laki peubahan yang terjadi  antara lain; pertumbuhan tulang-tulang, testis (buah pelir) membesar, tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, ejakulasi (keluarnya air mani), bulu kemaluan menjadi keriting, pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimum setiap tahunnya, tumbuh rambut-rambut halus diwajaah (kumis, jenggot), tumbuh bulu ketiak, akhir perubahan suara, rambut-rambut diwajah bertambah tebal dan gelap, dan tumbuh bulu dada.
Pada dasarnya perubahan fisik remaja disebabkan oleh kelenjar pituitary dan kelenjar hypothalamus. Kedua kelenjar itu masing-masing menyebabkan terjadinya pertumbuhan ukuran tubuh dan merangsang aktifitas serta pertumbuhan alat kelamin utama dan kedua pada remaja (Sunarto & Agung Hartono, 2002: 94
2.      Transisi Kognitif
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002: 15) pemikiran operasional formal berlangsung antara usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal lebih abstrak, idealis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Piaget menekankan bahwa bahwa remaja terdorong untuk memahami dunianya karena tindakan yang dilakukannya penyesuaian diri biologis. Secara lebih lebih nyata mereka mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Mereka bukan hanya mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman akan tetapi juga menyesuaikan cara berfikir mereka untuk menyertakan gagasan baru karena informasi tambahan membuat pemahaman lebih mendalam.
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2003: 110) secara lebih nyata pemikiran opersional formal bersifat lebih abstrak, idealistis dan logis. Remaja berpikir lebih abstrak dibandingkan dengan anak-anak misalnya dapat menyelesaikan persamaan aljabar abstrak. Remaja juga lebih idealistis dalam berpikir seperti memikirkan karakteristik ideal dari diri sendiri, orang lain dan dunia. Remaja berfikir secara logis yang mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan.
Dalam perkembangan kognitif, remaja tidak terlepas dari lingkungan sosial. Hal ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif remaja

3.      Transisi Sosial
Santrock (2003: 24) mengungkapkan bahwa pada transisi sosial remaja mengalami perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Membantah orang tua, serangan agresif terhadap teman sebaya, perkembangan sikap asertif, kebahagiaan remaja dalam peristiwa tertentu serta peran gender dalam masyarakat merefleksikan peran proses sosial-emosional dalam perkembangan remaja.
John Flavell (dalam Santrock, 2003: 125) juga menyebutkan bahwa kemampuan remaja untuk memantau kognisi sosial mereka secara efektif merupakan petunjuk penting mengenai adanya kematangan dan kompetensi sosial mereka.
Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertama-tama masing sangat terbatas dengan orang tuanya dalam kehidupan keluarga, khususnya dengan ibu dan berkembang semakin meluas dengan anggota keluarga lain, teman bermain dan teman sejenis maupun lain jenis (dalam Rita Eka Izzaty dkk, (2008: 139).
Berikut ini akan dijelaskan mengenai hubungan remaja dengan teman sebaya dan orang tua:


a.       Hubungan dengan Teman Sebaya
Menurut Santrock (2003: 219) teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Jean Piaget dan Harry Stack Sullivan (dalam Santrock, 2003: 220) mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja mulai belajar mengenai pola hubungan yang timbal balik dan setara dengan melalui interaksi dengan teman sebaya. Mereka juga belajar untuk mengamati dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan untuk memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktifitas teman sebaya yang sedang berlangsung. Sullivan beranggapan bahwa teman memainkan peran yang penting dalam membentuk kesejahteraan dan perkembangan anak dan remaja. Mengenai kesejahteraan, dia menyatakan bahwa semua orang memiliki sejumlah kebutuhan sosial dasar, juga termasuk kebutuhan kasih saying (ikatan yang aman), teman yang menyenangkan, penerimaan oleh lingkungan sosial, keakraban, dan hubungan seksual.
Ada beberapa beberapa strategi yang tepat untuk mencari teman menurut Santrock (2003: 206) yaitu :
1)   Menciptakan interaksi sosial yang baik dari mulai menanyakan nama, usia, dan aktivitas favorit.
2)   Bersikap menyenangkan, baik dan penuh perhatian.
3)   Tingkah laku yang prososial seperti jujur, murah hati dan mau bekerja sama.
4)   Menghargai diri sendiri dan orang lain.
5)   Menyediakan dukungan sosial seperti memberikan pertolongan, nasihat, duduk berdekatan, berada dalam kelompok yang sama dan menguatkan satu sama lain dengan memberikan pujian.

Ada beberapa dampak apabila terjadi penolakan pada teman sebaya. Menurut Hurlock (2000: 307) dampak negatif dari penolakan tersebut adalah :
1)      Akan merasa kesepian karena kebutuhan social mereka tidak terpenuhi.
2)      Anak merasa tidak bahagia dan tidak aman.
3)      Anak mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan, yang dapat menimbulkan penyimpangan kepribadian.
4)      Kurang mmemiliki pengalaman belajar yang dibutuhkan untuk menjalani proses sosialisasi.
5)      Akan merasa sangat sedih karena tidak memperoleh kegembiraan yang dimiliki teman sebaya mereka.
6)      Sering mencoba memaksakan diri untuk memasuki kelompok dan ini akan meningkatkan penolakan kelompok terhadap mereka semakin memperkecil peluang mereka untuk mempelajari berbagai keterampilan sosial.
7)      Akan hidup dalam ketidakpastian tentang reaksi social terhadap mereka, dan ini akan menyebabkan mereka cemas, takut, dan sangat peka.
8)      Sering melakukan penyesuaian diri secara berlebihan, dengan harapan akan meningkatkan penerimaan sosial mereka.

Sementara itu, Hurlock (2000: 298) menyebutkan bahwa ada beberapa manfaat yang diperoleh jika seorang anak dapat diterima dengan baik. Manfaat tersebut yaitu:
1)      Merasa senang dan aman.
2)      Mengembangkan konsep diri menyenangkan karena orang lain mengakui mereka.
3)      Memiliki kesempatan untuk mempelajari berbagai pola prilaku yang diterima secara sosial dan keterampilan sosial yang membantu kesinambungan mereka dalam situasi sosial.
4)      Secara mental bebas untuk mengalihkan perhatian meraka ke luar dan untuk menaruh minat pada orang atau sesuatu di luar diri mereka.
5)      Menyesuaikan diri terhadap harapan kelompok dan tidak mencemooh tradisi sosial.

b.      Hubungan dengan Orang Tua
Menurut Steinberg (dalam Santrock, 2002: 42) mengemukakan bahwa masa remaja awal adalah suatu periode ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui tingkat masa anak-anak. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif yang meliputi peningkatan idealism dan penalaran logis, perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan kebijaksanaan pada orang tua, dan harapan-harapan yang dilanggar oleh pihak rang tua dan remaja.
Collins (dalam Santrock, 2002: 42) menyimpulkan bahwa banyak orang tua melihat remaja mereka berubah dari seorang anak yang selalu menjadi seseorang yang tidak mau menurut, melawan, dan menantang standar-standar orang tua. Bila ini terjadi, orang tua cenderung berusaha mengendalikan dengan keras dan member lebih banyak tekanan kepada remaja agar mentaati standar-standar orang tua.
Dari uraian tersebut, ada baiknya jika kita dapat mengurangi konflik yang terjadi dengan orang tua dan remaja. Berikut ada beberapa strategi yang diberikan oleh Santrock, (2002: 24) yaitu : 1) menetapkan aturan-aturan dasar bagi pemecahan konflik. 2) Mencoba mencapai suatu pemahaman timbale balik. 3) Mencoba melakukan corah pendapat (brainstorming). 4) Mencoba bersepakat tentang satu atau lebih pemecahan masalah. 5) Menulis kesepakatan. 6) Menetapkan waktu bagi suatu tindak lanjut untuk melihat kemajuan yang telah dicapai.
Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti menyimpulkan bahwa proses perkembangan remaja meliputi masa transisi biologis yaitu pertumbuhan dan perkembangan fisik. Transisi kognitif yaitu perkembangan kognitif remaja pada lingkungan sosial dan juga proses sosioemosional dan yang terakhir adalah masa transisi sosial yang meliputi hubungan dengan orang tua, guru, teman sebaya, serta masyarakat sekitar.

C.    Pengertian Kenakalan Remaja

Istilah kenakalan remaja dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah Juvenile Delinquency. Dalam hal ini Kartini Kartono (2002 : 6) memberikan pengertian bahwa :
Juvenile Delinquency ialah perilaku jahat/ dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda ; merupakan gejala sakit  (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku menyimpang.

Juvenile berasal dari bahasa Latin “juvenilis”, artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja. Sedangkan Delinquent berasal dari kata Latin “delinquere ” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, peneror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain. Delinquent  itu selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan, dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah umur 22 tahun.
Sudarsono (2004:1) menjelaskan pengertian kenakalan remaja dari sudut etimologis bahwa :
Juvenile delinquency berarti kejahatan anak, akan tetapi  pengertian ini menimbulkan konotasi yang cenderung negatif, bahkan negatif sama  sekali. Atas pertimbangan yang lebih demokrat dan mengingat kepentingan subyek, maka beberapa ilmuwan memberanikan diri mengartikan juvenile delinquency menjadi kenakalan anak. Dalam konsepsi ini telah terjadi pergeseran aktivitas secara kualitatif, dan pergeseran subyek pun dalam perkembangannya terjadi pula. Dalam perkembangannya itu,  juvenile delinquency berarti kenakalan remaja.

Pengertian kenakalan remaja  menurut Singgih (dalam Sugeng Hariyadi, 2003 : 158) bahwa “Kenakalan remaja adalah perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan oleh seorang remaja baik secara sendirian maupun berkelompok yang bersifat melanggar ketentuan-ketentuan hukum, moral, dan sosial yang berlaku di lingkungan masyarakatnya”.
“Pengertian kenakalan remaja yang dimaksud disini adalah perilaku yang
menyimpang dari atau melanggar hukum” (Sarwono,2003:207).
Kenakalan remaja menurut B.Simanjuntak (dalam Sudarsono, 2004 : 10), bahwa “Apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat di mana ia hidup atau suatu  perbuatan yang anti sosial di mana di dalamnya terkandung unsur-unsur normatif".
Dari beberapa pendapat di atas tentang pengertian kenakalan remaja, penulis dapat menyimpulkan bahwa kenakalan remaja dapat dikategorikan berdasarkan sifatnya, yaitu :
1.      Kenakalan remaja yang bersifat a-moral dan anti-sosial, yang tidak diatur secara tertulis dan eksplisit dalam undang-undang, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum atau tindakan kriminal.
2.      Kenakalan remaja yang bersifat melanggar hukum dan mengarah pada tindakan kriminal.

D.    Ciri-Ciri Kenakalan Remaja

Anak-anak delinkuen mempunyai karakteristik umum yang berbeda dengan anak-anak non delinkuen, antara lain :
1.      Struktur Intelektualnya
Pada intelegensi mereka tidak berbeda dengan intelegensi anak-anak yang normal, namun jelas terdapat fungsi-fungsi kognitif yang berbeda. Biasanya anak-anak delinkuen ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai untuk keterampilan verbal (Wechsler,1939). Mereka kurang toleran terhadap hal-hal yang ambisius.  Pada galibnya mereka kurang mampu memperhatikan tingkah laku orang lain;  bahkan tidak menghargai pribadi lain, dan menganggap orang lain sebagai “gambar cermin” dari diri sendiri.
 2.      Perbedaan Fisik dan Psikis
Anak-anak delinkuen lebih “idiot secara moral”, dan memiliki perbedaan karakteristik yang secara jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan dengan anak-anak normal (Lombroso,1899). Bentuk tubuh mereka lebih “mesomophs” yaitu relatif  berotot, kekar, kuat (60%), dan pada umumnya bersifat lebih agresif.
3.      Perbedaan Ciri Karakteristik Individual
Menurut Kartini Kartono (2002 : 17-19) Anak-anak delinkuen mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, yang penulis rangkum sebagai berikut :
a.    Hampir semua anak muda jenis ini cuma berorientasi pada “masa sekarang”, bersenang-senang hari ini. Mereka  tidak mau mempersiapkan bekal hidup bagi hari esok. Mereka tidak mampu membuat rencana bagi hari depan. 
b.   Kebanyakan dari mereka itu terganggu secara emosional. 
c.       Mereka kurang tersosialisasi dalam  masyarakat normal, sehingga tidak
mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab
secara sosial.
d.      Mereka suka menceburkan diri dalam kegiatan “tanpa pikir” yang merangsang rasa kejantanan, walaupun  mereka menyadari besarnya resiko dan bahaya yang terkandung di dalamnya.
e.       Hati nurani tidak ada atau berkurang fungsinya.
f.       Mereka kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri, sebab mereka memang tidak pernah dituntun atau dididik untuk melakukan hal tersebut. Tanpa pengekangan diri itu mereka menjadi liar, ganas, tidak bisa dikuasai oleh orang dewasa. Muncullah kemudian kebiasaan jahat yang mendarah daging, dan kemudian menjadi stigma.
Ciri-ciri pokok dari kenakalan remaja menurut Sugeng Hariyadi (2003:159) sebagai berikut:
1)   Dalam pengertian kenakalan, harus terlihat adanya perbuatan atau tingkah laku yang bersifat pelanggaran hukum yang berlaku dan pelanggaran nilai-nilai moral.
2)      Kenakalan tersebut mempunyai tujuan yang a-sosial yakni dengan perbuatan atau tingkah laku tersebut ia bertentangan dengan nilai atau norma sosial yang ada di lingkungan hidupnya
3)      Kenakalan remaja merupakan kenakalan yang dilakukan oleh mereka yang berumur antara 13-17 tahun. Mengingat di Indonesia pengertian dewasa selain ditentukan oleh status pernikahan, maka dapat ditambahkan bahwa kenakalan remaja adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh mereka yang berumur antara 13-17 tahun dan belum menikah
4)      Kenakalan remaja dapat dilakukan oleh seorang remaja saja, atau dapat juga dilakukan bersama-sama suatu kelompok remaja

Selain itu, untuk menilai kenakalan remaja, hendaknya perlu diperhatikan faktor kesengajaan atau kesadaran dari individu yang bersangkutan. Selama anak atau remaja itu tidak tahu, tidak sadar, dan tidak sengaja melanggar hukum dan tidak tahu pula akan konsekuensinya maka ia tidak dapat digolongkan sebagai nakal.
 
E.     Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja

Kartini Kartono (2002:21-23), mengemukakan wujud perilaku  delinquent sebagai berikut :
1.      Kebut-kebutan di jalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa sendiri serta orang lain.  
2.      Perilaku ugal-ugalan, berandalan, urakan, yang mengacaukan ketentraman sekitar. Tindakan ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan menteror lingkungan.
3.      Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban.
4.      Membolos sekolah lalu bergelandangan  sepanjang jalan, atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindakan a-susila.
5.      Kriminalitas anak, remaja dan adolesens lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, maling, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, menggarong, melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya, mencekik,  meracun, tindakan kekerasan, dan pelanggaran lainnya.
6.      Berpesta pora sambil mabuk-mabukkan, melakukan hubungan seks bebas yang mengganggu lingkungan.
7.      Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial.
8.      Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika (obat bius,  drugs) yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan.
9.      Tindakan-tindakan immoral seksual secara terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling, tanpa rasa malu dengan cara yang kasar.
10.  Homoseksualitas, erotisme anal dan oral, dan gangguan seksual lain pada anak remaja disertai tindakan-tindakan sadistis. 
11.  Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan, sehingga mengakibatkan ekses kriminalitas.
12.  Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen, dan pembunuhan bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin.

No comments:

Post a Comment