PERAN GURU DALAM MENANGANI MASALAH KENAKALAN REMAJA
Oleh: Jajang Sulaeman, S.Pd.
A.
Pengertian
Remaja
Seringkali dengan
gampang orang mendefinisikan remaja sebagai periode
transisi antara masa
anak-anak kemasa dewasa,
atau disebut juga usia
belasan. Hurlock (1999:
206) menyatakan bahwa “Secara psikologis masa remaja adalah
usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa”.
Remaja
merupakan peralihan antara masa
kehidupan anak dan masa kehidupan orang dewasa. Bila
ditinjau dari segi tubuhnya, mereka
terlihat sudah dewasa
tetapi jika mereka
diperlakukan sebagai orang dewasa ternyata belum dapat menunjukkan
sikap dewasa.
Hurlock (1999 : 206) menjelaskan bahwa :
Istilah adolescence
atau remaja berasal
dari kata latin adolescere (kata
bendanya adolescentia yang
berarti remaja primitive) yang berarti
tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa. Anak
dianggap sudah dewasa bila
sudah mampu mengadakan
reproduksi. Istilah adolescence
seperti yang digunakan saat ini
mempunyai arti yang lebih luas,
mencakup kematangan mental,
sosial dan fisik.
Selain itu
juga, Sugeng Haryadi (1995: 11-12)
mengatakan bahwa “Remaja
merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak dan masa kehidupan dewasa
dan remaja sering
menunjukkan kegelisahan,
pertentangan, dan keinginan
mencoba segala sesuatu.”
Dalam hal ini remaja
dikatakan sebagai individu
yang masih belum
jelas identitas dirinya atau
juga disebut dengan
individu yang masih
mencari jati dirinya. Misalnya
saja remaja mempunyai
rasa keingin tahuan
yang tinggi, jarang sekali remaja yang memgang prisip atas dirinya.
Pada tahun
1974, WHO memberi definisi tentang
remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut
dikemukakan 3 kriteria yang biologik, psikologik, dan sosial ekonomi, sehingga
secara lengkap definisi tersebut
berbunyi sebagai berikut :
1)
Individu
berkembang dari saat
pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat
ia mencapai kematangan seksual.
2)
Individu
mengalami perkembangan psikologik
dan pola identifikasi
dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3)
Terjadi
peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang
penuh pada keadaan yang relative
lebih mandiri .
(Muangman
(1980) yang dikutip oleh Sarlito, 2002:
9).
Mendefinisikan remaja
untuk masyarakat Indonesia menggunakan batasan
usia 11-24 tahun
dan belum menikah.
Untuk definisi remaja di
Indonesia diartikan dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1) Usia 11
tahun adalah usia
di mana pada umumnya
tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik).
2) Di banyak masyarakat Indonesia,
usia 11 tahun
sudah dianggap usia akil
balig, baik menurut
adat maupun agama,
sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak.
3) Mulai ada
tanda-tanda menyempurnakan perkembangan
jiwa seperti tercapainya identitas
diri, tercapainya fase
genital dari perkembangan psikoseksual
dan tercapainya puncak perkembangan kognitif maupun moral.
4) Orang-orang
yang
sampai batas usia
24 tahun belum
dapat memnuhi persyaratan kedewasaan
secara rasional maupun psikologik, masih dapat digolongkan
remaja.
Sedangkan
rentang usia remaja yang digunakan oleh para ahli seperti dikemukakan oleh
Deswita (2006 : 192) bahwa :
Batasan usia remaja yang umum
digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia
remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12 – 15 tahun = masa remaja
awal, 15 – 18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun = masa remaja
akhir. Tetapi Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja menjadi
empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10 – 12 tahun, masa remaja awal 12 – 15
tahun, masa remaja pertengahan 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21 tahun.
Remaja
sebetulnya tidak mempunyai tempat yang
jelas. Remaja tidak termasuk
kedalam golongan anak-anak, tetapi juga
tidak termasuk golongan dewasa.
Remaja berada di
antara masa kanak-kanak
dan dewasa. Biasanya masa remaja
dianggap telah mulai ketika anak secara
seksual menjadi matang, dan kemudian berakhir pada saat
ia mencapai usia yang secara hukum
disebut usia dewasa yaitu ± 24 tahun.
Berdasarkan pemaparan
di atas dapat
disimpulkan bahwa remaja adalah
individu yang berusia
belasan tahun (12-21
tahun) yang tergolong dalam
masa transisi antara
masa anak-anak menuju
masa dewasa. Dalam masa
transisi inilah remaja
cenderung untuk ingin disebut
sebagai orang yang sudah dewasa.
Agar terkesan sebagai orang yang sudah dewasa remaja cenderung melakukan kebiasaan yang
sering dilakukan oleh orang dewasa, salah
satu contohnya adalah
bagi remaja laki-laki dengan
merokok.
B.
Karakteristik
Masa Remaja
Masa remaja
mempunyai ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya. Ciri-ciri
remaja menurut Hurlock (1992 : 24), antara lain :
1.
Masa
remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa
remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan
mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
2.
Masa
remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak
lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas,
keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan
menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.
3.
Masa
remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh,
minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang
dianut, serta keinginan akan kebebasan.
4.
Masa
remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha
untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.
5.
Masa
remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit
diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak
orang tua menjadi takut.
6.
Masa
remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan
dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiridan orang lain
sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam
cita-cita.
7.
Masa
remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan didalam
usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam memberikan kesan
bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman
keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka
menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.
Disimpulkan
adanya perubahan fisik maupun psikis pada diri remaja, kecenderungan remaja
akan mengalami masalah dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal ini
diharapkan agar remaja dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik-baik dan
penuh tanggung jawab.
Karakteristik
pertumbuhan dan perkembangan remaja yang mencakup perubahan transisi biologis,
transisi kognitif, dan transisi sosial dapat dikemukakan sebagai berikut :
- Transisi Biologis
Menurut
Santrock (2003 : 91) perubahan fisik yang terjadi pada remaja terlihat nampak
pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya tinggi dan berat badan serta
kematangan sosial. Diantara perubahan fisik itu, yang terbesar pengaruhnya pada
perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin
panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi
(ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda
seksual sekunder yang tumbuh (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 52).
Selanjutnya,
Menurut Muss (dalam Sunarto & Agung Hartono, 2002: 79) menguraikan bahwa
perubahan fisik yang terjadi pada anak perempuan yaitu; perertumbuhan
tulang-tulang, badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan menjadi panjang,
tumbuh payudara.Tumbuh bulu yang halus berwarna gelap di kemaluan, mencapai
pertumbuhan ketinggian badan yang maksimum setiap tahunnya, bulu kemaluan
menjadi kriting, menstruasi atau haid, tumbuh bulu-bulu ketiak.
Sedangkan
pada anak laki-laki peubahan yang terjadi antara lain; pertumbuhan
tulang-tulang, testis (buah pelir) membesar, tumbuh bulu kemaluan yang halus,
lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, ejakulasi (keluarnya air
mani), bulu kemaluan menjadi keriting, pertumbuhan tinggi badan mencapai
tingkat maksimum setiap tahunnya, tumbuh rambut-rambut halus diwajaah (kumis,
jenggot), tumbuh bulu ketiak, akhir perubahan suara, rambut-rambut diwajah
bertambah tebal dan gelap, dan tumbuh bulu dada.
Pada
dasarnya perubahan fisik remaja disebabkan oleh kelenjar pituitary dan
kelenjar hypothalamus. Kedua kelenjar itu masing-masing menyebabkan
terjadinya pertumbuhan ukuran tubuh dan merangsang aktifitas serta pertumbuhan
alat kelamin utama dan kedua pada remaja (Sunarto & Agung Hartono, 2002: 94
2.
Transisi
Kognitif
Menurut
Piaget (dalam Santrock, 2002: 15) pemikiran operasional formal berlangsung
antara usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal lebih abstrak,
idealis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Piaget menekankan
bahwa bahwa remaja terdorong untuk memahami dunianya karena tindakan yang
dilakukannya penyesuaian diri biologis. Secara lebih lebih nyata mereka
mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Mereka bukan hanya mengorganisasikan
pengamatan dan pengalaman akan tetapi juga menyesuaikan cara berfikir mereka
untuk menyertakan gagasan baru karena informasi tambahan membuat pemahaman
lebih mendalam.
Menurut
Piaget (dalam Santrock, 2003: 110) secara lebih nyata pemikiran opersional
formal bersifat lebih abstrak, idealistis dan logis. Remaja berpikir lebih
abstrak dibandingkan dengan anak-anak misalnya dapat menyelesaikan persamaan
aljabar abstrak. Remaja juga lebih idealistis dalam berpikir seperti memikirkan
karakteristik ideal dari diri sendiri, orang lain dan dunia. Remaja berfikir
secara logis yang mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun berbagai rencana
untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang
terpikirkan.
Dalam
perkembangan kognitif, remaja tidak terlepas dari lingkungan sosial. Hal ini
menekankan pentingnya interaksi sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif
remaja
3.
Transisi
Sosial
Santrock
(2003: 24) mengungkapkan bahwa pada transisi sosial remaja mengalami perubahan
dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam emosi, dalam
kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Membantah
orang tua, serangan agresif terhadap teman sebaya, perkembangan sikap asertif,
kebahagiaan remaja dalam peristiwa tertentu serta peran gender dalam masyarakat
merefleksikan peran proses sosial-emosional dalam perkembangan remaja.
John
Flavell (dalam Santrock, 2003: 125) juga menyebutkan bahwa kemampuan remaja
untuk memantau kognisi sosial mereka secara efektif merupakan petunjuk penting
mengenai adanya kematangan dan kompetensi sosial mereka.
Perkembangan
sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan
selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertama-tama masing sangat
terbatas dengan orang tuanya dalam kehidupan keluarga, khususnya dengan ibu dan
berkembang semakin meluas dengan anggota keluarga lain, teman bermain dan teman
sejenis maupun lain jenis (dalam Rita Eka Izzaty dkk, (2008: 139).
Berikut
ini akan dijelaskan mengenai hubungan remaja dengan teman sebaya dan orang tua:
a. Hubungan dengan Teman Sebaya
Menurut
Santrock (2003: 219) teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja
dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Jean Piaget dan Harry
Stack Sullivan (dalam Santrock, 2003: 220) mengemukakan bahwa anak-anak dan
remaja mulai belajar mengenai pola hubungan yang timbal balik dan setara dengan
melalui interaksi dengan teman sebaya. Mereka juga belajar untuk mengamati
dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan untuk memudahkan
proses penyatuan dirinya ke dalam aktifitas teman sebaya yang sedang
berlangsung. Sullivan beranggapan bahwa teman memainkan peran yang penting
dalam membentuk kesejahteraan dan perkembangan anak dan remaja. Mengenai kesejahteraan,
dia menyatakan bahwa semua orang memiliki sejumlah kebutuhan sosial dasar, juga
termasuk kebutuhan kasih saying (ikatan yang aman), teman yang menyenangkan,
penerimaan oleh lingkungan sosial, keakraban, dan hubungan seksual.
Ada
beberapa beberapa strategi yang tepat untuk mencari teman menurut Santrock
(2003: 206) yaitu :
1)
Menciptakan interaksi sosial yang
baik dari mulai menanyakan nama, usia, dan aktivitas favorit.
2)
Bersikap menyenangkan, baik dan
penuh perhatian.
3)
Tingkah laku yang prososial seperti jujur,
murah hati dan mau bekerja sama.
4)
Menghargai diri sendiri dan orang
lain.
5)
Menyediakan dukungan sosial seperti
memberikan pertolongan, nasihat, duduk berdekatan, berada dalam kelompok yang
sama dan menguatkan satu sama lain dengan memberikan pujian.
Ada
beberapa dampak apabila terjadi penolakan pada teman sebaya. Menurut Hurlock
(2000: 307) dampak negatif dari penolakan tersebut adalah :
1)
Akan merasa kesepian karena
kebutuhan social mereka tidak terpenuhi.
2)
Anak merasa tidak bahagia dan tidak
aman.
3)
Anak mengembangkan konsep diri yang
tidak menyenangkan, yang dapat menimbulkan penyimpangan kepribadian.
4)
Kurang mmemiliki pengalaman belajar
yang dibutuhkan untuk menjalani proses sosialisasi.
5)
Akan merasa sangat sedih karena
tidak memperoleh kegembiraan yang dimiliki teman sebaya mereka.
6)
Sering mencoba memaksakan diri untuk
memasuki kelompok dan ini akan meningkatkan penolakan kelompok terhadap mereka
semakin memperkecil peluang mereka untuk mempelajari berbagai keterampilan
sosial.
7)
Akan hidup dalam ketidakpastian
tentang reaksi social terhadap mereka, dan ini akan menyebabkan mereka cemas,
takut, dan sangat peka.
8)
Sering melakukan penyesuaian diri
secara berlebihan, dengan harapan akan meningkatkan penerimaan sosial mereka.
Sementara
itu, Hurlock (2000: 298) menyebutkan bahwa ada beberapa manfaat yang diperoleh
jika seorang anak dapat diterima dengan baik. Manfaat tersebut yaitu:
1)
Merasa senang dan aman.
2)
Mengembangkan konsep diri
menyenangkan karena orang lain mengakui mereka.
3)
Memiliki kesempatan untuk mempelajari
berbagai pola prilaku yang diterima secara sosial dan keterampilan sosial yang
membantu kesinambungan mereka dalam situasi sosial.
4)
Secara mental bebas untuk
mengalihkan perhatian meraka ke luar dan untuk menaruh minat pada orang atau
sesuatu di luar diri mereka.
5)
Menyesuaikan diri terhadap harapan
kelompok dan tidak mencemooh tradisi sosial.
b. Hubungan dengan Orang Tua
Menurut
Steinberg (dalam Santrock, 2002: 42) mengemukakan bahwa masa remaja awal adalah
suatu periode ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui tingkat masa
anak-anak. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif yang meliputi peningkatan
idealism dan penalaran logis, perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian dan
identitas, perubahan kebijaksanaan pada orang tua, dan harapan-harapan yang
dilanggar oleh pihak rang tua dan remaja.
Collins
(dalam Santrock, 2002: 42) menyimpulkan bahwa banyak orang tua melihat remaja
mereka berubah dari seorang anak yang selalu menjadi seseorang yang tidak mau
menurut, melawan, dan menantang standar-standar orang tua. Bila ini terjadi,
orang tua cenderung berusaha mengendalikan dengan keras dan member lebih banyak
tekanan kepada remaja agar mentaati standar-standar orang tua.
Dari uraian
tersebut, ada baiknya jika kita dapat mengurangi konflik yang terjadi dengan
orang tua dan remaja. Berikut ada beberapa strategi yang diberikan oleh
Santrock, (2002: 24) yaitu : 1) menetapkan aturan-aturan dasar bagi pemecahan
konflik. 2) Mencoba mencapai suatu pemahaman timbale balik. 3) Mencoba
melakukan corah pendapat (brainstorming). 4) Mencoba bersepakat tentang satu
atau lebih pemecahan masalah. 5) Menulis kesepakatan. 6) Menetapkan waktu bagi
suatu tindak lanjut untuk melihat kemajuan yang telah dicapai.
Berdasarkan
uraian tersebut maka peneliti menyimpulkan bahwa proses perkembangan remaja
meliputi masa transisi biologis yaitu pertumbuhan dan perkembangan fisik.
Transisi kognitif yaitu perkembangan kognitif remaja pada lingkungan sosial dan
juga proses sosioemosional dan yang terakhir adalah masa transisi sosial yang
meliputi hubungan dengan orang tua, guru, teman sebaya, serta masyarakat
sekitar.
C.
Pengertian
Kenakalan Remaja
Istilah
kenakalan remaja dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah Juvenile
Delinquency. Dalam hal ini Kartini Kartono (2002 : 6) memberikan pengertian
bahwa :
Juvenile Delinquency ialah perilaku
jahat/ dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda ; merupakan gejala
sakit (patologis) secara sosial pada
anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial,
sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku menyimpang.
Juvenile berasal
dari bahasa Latin “juvenilis”, artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik
pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja. Sedangkan Delinquent
berasal dari kata Latin “delinquere ” yang berarti terabaikan, mengabaikan,
yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar
aturan, pembuat ribut, pengacau, peneror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana,
dursila, dan lain-lain. Delinquent itu
selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan, dan keganasan yang
dilakukan oleh anak-anak muda di bawah umur 22 tahun.
Sudarsono
(2004:1) menjelaskan pengertian kenakalan remaja dari sudut etimologis bahwa :
Juvenile delinquency berarti kejahatan
anak, akan tetapi pengertian ini
menimbulkan konotasi yang cenderung negatif, bahkan negatif sama sekali. Atas pertimbangan yang lebih demokrat
dan mengingat kepentingan subyek, maka beberapa ilmuwan memberanikan diri
mengartikan juvenile delinquency menjadi kenakalan anak. Dalam konsepsi ini
telah terjadi pergeseran aktivitas secara kualitatif, dan pergeseran subyek pun
dalam perkembangannya terjadi pula. Dalam perkembangannya itu, juvenile delinquency berarti kenakalan
remaja.
Pengertian
kenakalan remaja menurut Singgih (dalam
Sugeng Hariyadi, 2003 : 158) bahwa “Kenakalan remaja adalah perbuatan atau
tingkah laku yang dilakukan oleh seorang remaja baik secara sendirian maupun
berkelompok yang bersifat melanggar ketentuan-ketentuan hukum, moral, dan
sosial yang berlaku di lingkungan masyarakatnya”.
“Pengertian
kenakalan remaja yang dimaksud disini adalah perilaku yang
menyimpang dari atau melanggar
hukum” (Sarwono,2003:207).
Kenakalan remaja
menurut B.Simanjuntak (dalam Sudarsono, 2004 : 10), bahwa “Apabila perbuatan-perbuatan
tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat di mana ia
hidup atau suatu perbuatan yang anti
sosial di mana di dalamnya terkandung unsur-unsur normatif".
Dari beberapa
pendapat di atas tentang pengertian kenakalan remaja, penulis dapat
menyimpulkan bahwa kenakalan remaja dapat dikategorikan berdasarkan sifatnya,
yaitu :
1.
Kenakalan remaja yang bersifat a-moral
dan anti-sosial, yang tidak diatur secara tertulis dan eksplisit dalam
undang-undang, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum
atau tindakan kriminal.
2.
Kenakalan remaja yang bersifat melanggar
hukum dan mengarah pada tindakan kriminal.
D.
Ciri-Ciri
Kenakalan Remaja
Anak-anak
delinkuen mempunyai karakteristik umum yang berbeda dengan anak-anak non
delinkuen, antara lain :
1.
Struktur Intelektualnya
Pada
intelegensi mereka tidak berbeda dengan intelegensi anak-anak yang normal,
namun jelas terdapat fungsi-fungsi kognitif yang berbeda. Biasanya anak-anak
delinkuen ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi
daripada nilai untuk keterampilan verbal (Wechsler,1939). Mereka kurang toleran
terhadap hal-hal yang ambisius. Pada
galibnya mereka kurang mampu memperhatikan tingkah laku orang lain; bahkan tidak menghargai pribadi lain, dan
menganggap orang lain sebagai “gambar cermin” dari diri sendiri.
Anak-anak
delinkuen lebih “idiot secara moral”, dan memiliki perbedaan karakteristik yang
secara jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan dengan anak-anak normal
(Lombroso,1899). Bentuk tubuh mereka lebih “mesomophs” yaitu relatif berotot, kekar, kuat (60%), dan pada umumnya
bersifat lebih agresif.
3.
Perbedaan Ciri Karakteristik Individual
Menurut
Kartini Kartono (2002 : 17-19) Anak-anak delinkuen mempunyai sifat kepribadian
khusus yang menyimpang, yang penulis rangkum sebagai berikut :
a. Hampir
semua anak muda jenis ini cuma berorientasi pada “masa sekarang”,
bersenang-senang hari ini. Mereka tidak
mau mempersiapkan bekal hidup bagi hari esok. Mereka tidak mampu membuat
rencana bagi hari depan.
b. Kebanyakan
dari mereka itu terganggu secara emosional.
c. Mereka
kurang tersosialisasi dalam masyarakat
normal, sehingga tidak
mampu mengenal
norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab
secara sosial.
d. Mereka
suka menceburkan diri dalam kegiatan “tanpa pikir” yang merangsang rasa
kejantanan, walaupun mereka menyadari
besarnya resiko dan bahaya yang terkandung di dalamnya.
e. Hati
nurani tidak ada atau berkurang fungsinya.
f. Mereka
kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri, sebab mereka memang tidak
pernah dituntun atau dididik untuk melakukan hal tersebut. Tanpa pengekangan
diri itu mereka menjadi liar, ganas, tidak bisa dikuasai oleh orang dewasa.
Muncullah kemudian kebiasaan jahat yang mendarah daging, dan kemudian menjadi
stigma.
Ciri-ciri pokok
dari kenakalan remaja menurut Sugeng Hariyadi (2003:159) sebagai berikut:
1)
Dalam
pengertian kenakalan, harus terlihat adanya perbuatan atau tingkah laku yang
bersifat pelanggaran hukum yang berlaku dan pelanggaran nilai-nilai moral.
2)
Kenakalan
tersebut mempunyai tujuan yang a-sosial yakni dengan perbuatan atau tingkah
laku tersebut ia bertentangan dengan nilai atau norma sosial yang ada di
lingkungan hidupnya
3)
Kenakalan
remaja merupakan kenakalan yang dilakukan oleh mereka yang berumur antara 13-17
tahun. Mengingat di Indonesia pengertian dewasa selain ditentukan oleh status
pernikahan, maka dapat ditambahkan bahwa kenakalan remaja adalah perbuatan atau
tindakan yang dilakukan oleh mereka yang berumur antara 13-17 tahun dan belum
menikah
4)
Kenakalan
remaja dapat dilakukan oleh seorang remaja saja, atau dapat juga dilakukan
bersama-sama suatu kelompok remaja
Selain itu,
untuk menilai kenakalan remaja, hendaknya perlu diperhatikan faktor kesengajaan
atau kesadaran dari individu yang bersangkutan. Selama anak atau remaja itu
tidak tahu, tidak sadar, dan tidak sengaja melanggar hukum dan tidak tahu pula
akan konsekuensinya maka ia tidak dapat digolongkan sebagai nakal.
E.
Bentuk-Bentuk
Kenakalan Remaja
Kartini Kartono
(2002:21-23), mengemukakan wujud perilaku
delinquent sebagai berikut :
1.
Kebut-kebutan
di jalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa sendiri
serta orang lain.
2.
Perilaku
ugal-ugalan, berandalan, urakan, yang mengacaukan ketentraman sekitar. Tindakan
ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak terkendali
serta kesukaan menteror lingkungan.
3.
Perkelahian
antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran), sehingga
kadang-kadang membawa korban.
4.
Membolos
sekolah lalu bergelandangan sepanjang
jalan, atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen
bermacam-macam kedurjanaan dan tindakan a-susila.
5.
Kriminalitas
anak, remaja dan adolesens lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi,
memeras, maling, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok,
menggarong, melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya,
mencekik, meracun, tindakan kekerasan,
dan pelanggaran lainnya.
6.
Berpesta
pora sambil mabuk-mabukkan, melakukan hubungan seks bebas yang mengganggu
lingkungan.
7.
Perkosaan,
agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial.
8.
Kecanduan
dan ketagihan bahan narkotika (obat bius,
drugs) yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan.
9.
Tindakan-tindakan
immoral seksual secara terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling, tanpa rasa
malu dengan cara yang kasar.
10.
Homoseksualitas,
erotisme anal dan oral, dan gangguan seksual lain pada anak remaja disertai
tindakan-tindakan sadistis.
11.
Perjudian
dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan, sehingga mengakibatkan ekses
kriminalitas.
12.
Komersialisasi
seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen, dan pembunuhan bayi oleh
ibu-ibu yang tidak kawin.
No comments:
Post a Comment