TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)
Oleh: Jajang Sulaeman, S.Pd.
A.
Pengertian
Tata Pemerintahan yang Baik
Secara singkat dapat dipahami bahwa selain komponen fisik tentang
batasan wilayah dan pengakuan kedaulatan sebagai persyaratan sebuah negara,
dalam sebuah negara terdapat dua
komponen inti yang terikat erat, “rakyat” dan “pemerintah”, Pemerintah
dalam arti paling dasar diterjemahkan sebagai sekumpulan orang yang memiliki
mandat yang absah dari rakyat untuk menjalankan wewenang-wewenangnya dalam
urusan-urusan pemerintahan. Di sini ada hubungan “kontrak sosial” antara rakyat
sebagai pemberi mandat dan pemerintah sebagai pelaksana mandat.
Jika diadakan pendekatan dari segi bahasa terhadap kata
“pemerintah” atau “pemerintahan”, kedua kata tersebut berasal dari suku kata
“perintah” yang berarti sesuatu yang harus dilaksanakan. Beberapa hal yang
terkandung dalam dari makna “perintah” adalah sebagai berikut:
1.
Adanya
“keharusan” menunjukkan kewajiban untuk melaksanakan apa yang
diperintahkan;
2.
Adanya
dua pihak, yaitu yang memberi dan yang menerima perintah;
3.
Adanya
hubungan fungsional antara yang memberi dan yang menerima perintah;
4.
Adanya
wewenang atau kekuasaan untuk memberi perintah.
Kata “pemerintah” atau “pemerintahan” dalam bahasa Inggris
dipergunakan kata “government”. Kata ini berasal dari suku kata “to govern”
yang artinya perintah atau memerintahkan. Istilah “to govern” berbeda dengan
“to command” atau “to order” meskipun memiliki arti dasar “perintah”.
“Memerintah” diartikan sebagai menguasai atau mengurus negara atau
daerah sebagai bagian dari negara. Dengan demikian, kata “pemerintah” berarti
kekuasaan untuk memerintah suatu negara. “Pemerintah” menunjuk kepada kesatuan
aparatur atau badan (lembaga), diartikan juga sebagai “negara atau negeri” dan ditafsirkan pula sebagai “pengelola atau
pengurus”. Sedangkan “pemerintahan” menunjuk kepada perbuatan atau cara atau
urusan memerintah, misalnya pemerintahan yang adil, pemerintahan demokratis,
pemerintahan diktator, dan sebagainya.
Membandingkan hubungan pemerintah dengan rakyat dalam segi
kuantitas, jumlah rakyat akan jauh lebih banyak daripada pemerintah. Karena
jumlah pemerintah yang sedikit dibandingkan banyaknya jumlah rakyat,
diciptakanlah tata cara untuk membentuk pemerintah yang dianggap cocok pada suatu negara. Kedua komponen inti
itu, baik rakyat maupun pemerintah, masing-masing memperluas komponennya.
Komponen rakyat dengan berbagai latar belakang memperluas dirinya
dalam karakteristik paham, ideologis, agama, pekerjaan, profesi, geografis
tempat tinggal, dan sebagainya. Begitu juga dengan komponen pemerintah
memperluas peran dan fungsinya ke berbagai kelembagaan, seperti kelembagaan
konstitutif, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dan berbagai pelebaran
kelembagaan lainnya. Perluasan peran dan
fungsi dari rangkaian komponen itu menjadi cikal bakal komponen dasar good
governance.
Proses pemahaman umum mengenai
governance atau good governance
mulai mengemuka di Indonesia sejak tahun 1990-an dan mulai semakin bergulir
pada tahun 1996, seiring dengan interaksi pemerintah Indonesia dengan negara
luar beserta lembaga-lembaga bantuannya yang menyoroti kondisi objektif
perkembangan ekonomi dan politik Indonesia.
Governance merupakan tata pemerintahan. Good governance adalah tata pemerintahan yang
baik, sebaliknya bad governance adalah tata pemerintahan yang buruk.
Secara umum istilah
government lebih mudah dipahami sebagai “pemerintah” yaitu lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai
tanggung jawab untuk mengurusi negara dan menjalankan kehendak rakyat.
Kecenderungannya lebih tertuju kepada lembaga eksekutif/kepresidenan (executive heavy). Diskusi yang terkait
dengan government lebih mengarah pada bagaimana meminimalkan peran negara dan
mempromosikan peran sektor swasta. Dengan lain perkataan semangatnya adalah limitation of the state’s roles . Terdapat
pula diskusi mengenai reformasi aparatur negara ( civil service reform) namun
hal ini tidak lebih dari bagian agenda ekonomi untuk penyesuaian struktural
(structural adjustment) (Satish Chandra Mishra, 2000).
Lain hal dengan governance, istilah ini lebih kompleks (complicated)
karena menyangkut beberapa persyaratan yang terkandung dalam terminologinya
(peristilahan). Ada tiga komponen yang terlibat dalam governance, yaitu pemerintah, dunia usaha
(swasta, commercial society) dan
masyarakat pada umumnya (termasuk partai politik). Hubungan ketiganya harus
dalam posisi sejajar dan saling kontrol
(checks and balances), untuk menghindari penguasaan atau “eksploitasi”
oleh satu komponen terhadap komponen lainnya. Bila salah satu komponen lebih
tinggi dari yang lain, maka akan terjadi dominasi kekuasaan atas dua komponen
lainnya.
Good governance tidak dilihat seperti dalam pilihan menu. Sebagai
contoh dalam rangka reformasi “economic governance” menu programnya antara
lain, pengawasan bank, kebijaksanaan deregulasi, hukum dan pengadilan tentang
kepailitan, pelaksanaan kontrak, dan sebagainya. Contoh lainnya dalam reformasi
politik, menu programnya antara lain,
pelayanan sipil, reformasi parlemen, penguatan institusi masyarakat sipil,
desentralisasi daerah, reformasi lembaga pengadilan/kehakiman. Good governance harus dilihat secara
menyeluruh tidak diterjemahkan secara sederhana dalam berbagai kertas kerja dan
program (Satish Chandra Mishra, 2000).
Istilah governance, good
governance, dan good public governance menjadi populer dalam
kurun tahun 1996-1997 karena banyak diperkenalkan oleh lembaga pemberi bantuan
luar negeri (foreign donor agencies)
baik yang bersifat multilateral maupun
bilateral (World Bank, 1994).
Istilah tersebut sering dikaitkan dengan kebijaksanaan pemberian
bantuan (aid policies), dalam arti (good) governance atau government dijadikan salah satu aspek yang
perlu dipertimbangkan dalam pemberian
bantuan baik berupa pinjaman (loan) maupun hibah (grant). Walaupun beberapa lembaga donor
internasional cenderung menggunakan terminologi yang berbeda mengenai aparatur
pemerintahan, namun yang dimaksud adalah sama.
Seperti telah terurai di atas,
governance terdiri atas tiga pilar (komponen) yaitu public governance merujuk pada lembaga
pemerintahan, corporate governance
merujuk pada pihak swasta/dunia usaha, dan civil society (masyarakat madani).
Untuk mewujudkan good governance, upaya
pembaharuan pada salah satu pilar mesti dibarengi dengan pembaharuan pada
pilar-pilar yang lain.
B.
Karakteristik
Tata Pemerintahan yang Baik
Good governance tidak mudah untuk didefinisikan secara seragam
sebab istilah ini memiliki banyak sumbangan makna yang bervariasi selain dari
luasnya substansi bahasan. Dari sumbangan referensi mengenai good governance,
keberagaman makna tersebut pada hakekatnya memiliki kesatuan tujuan yang utuh
yakni pencapaian kondisi pemerintahan dapat terselenggara secara seimbang
dengan kerja sama semua komponen pelaku (individu, masyarakat madani,
lembaga-lembaga masyarakat, dan pihak masyarakat). Semua pelaku harus saling
tahu apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya, dan adanya ruang dialog agar para
pelaku saling memahami perbedaan-perbedaan di antara mereka. Melalui proses
tersebut diharapkan akan tumbuh konsensus dan sinergi di dalam masyarakat.
Dari telusuran keberagaman wacana good governance, terdapat
sekumpulan nilai-nilai yang diperlukan untuk diterapkan di Indonesia sebagai
nilai-nilai yang sebenarnya telah tertanam hidup di akar budaya masyarakat
Indonesia, hanya saja istilah dan kemasannya yang berbeda.
Terdapat empat belas karakteristik yang dapat terhimpun dari
telusuran wacana good governance, yaitu:
1.
Berwawasan
ke depan (visi strategis);
2.
Terbuka
(transparan);
3.
Cepat
tanggap (responsif);
4.
Bertanggung
jawab/bertanggung gugat (akuntabel);
5.
Profesional
dan kompeten;
6.
Efisien
dan efektif;
7.
Desentralistis;
8.
Demokratis;
9.
Mendorong
partisipasi masyarakat;
10.
Mendorong
kemitraan dengan swasta dan masyarakat;
11.
Menjunjung
supremasi hukum;
12.
Berkomitmen
pada pengurangan kesenjangan;
13.
Berkomitmen
pada tuntutan pasar;
14.
Berkomitmen
pada lingkungan hidup
Keempat belas karakteristik nilai good governance tersebut dapat
dijelaskan secara ilustrasi deskriptif sebagai berikut:
1.
Tata
pemerintahan yang berwawasan ke depan (visi strategis)
Semua kegiatan pemerintahan berupa pelayanan publik dan pembangunan
di berbagai bidang seharusnya didasarkan
pada visi dan misi tertentu disertai strategi implementasi yang jelas. Lembaga-lembaga
pemerintahan pusat dan daerah perlu memiliki rencana strategis (Renstra) sesuai
dengan bidang tugas masing-masing sebagai pegangan dan arah pemerintahan di
masa mendatang. Dengan demikian Program Pembangunan Nasional (Propenas),
Program Pembangunan Daerah, Rencana Strategis Departemen/Lembaga/Dinas
merupakan wujud dari prinsip tata pemerintahan yang berdasarkan visi strategis.
2.
Tata
pemerintahan yang bersifat terbuka (transparan)
Semua urusan tata pemerintahan berupa kebijakan-kebijakan publik
baik yang berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus
diketahui publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan kebijakan publik harus
dapat diakses oleh publik dan harus diumumkan agar mendapat tanggapan publik.
Demikian pula informasi tentang kegiatan pelaksanaan kebijakan tersebut dan
hasil-hasilnya harus terbuka dan dapat diakses publik. Dalam konteks ini,
aparat pemerintahan seharusnya bersedia secara terbuka dan jujur memberikan
informasi yang dibutuhkan publik. Upaya pembentukan masyarakat transparansi,
forum komunikasi langsung dengan eksekutif dan dengan legislatif, wadah komunikasi
dan informasi lintas pelaku baik melalui media cetak maupun elektronik,
merupakan contoh wujud nyata dari prinsip tata pemerintahan yang bersifat
transparan.
3.
Tata
pemerintahan yang cepat tanggap (responsif)
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat atau sekelompok masyarakat
tertentu menghadapi berbagai masalah dan krisis sebagai akibat dari perubahan
situasi dan kondisi. Dalam situasi seperti ini, aparat pemerintahan tidak boleh
masa bodoh tetapi harus cepat tanggap dengan mengambil prakarsa untuk memecahkan
masalah-masalah tersebut. Aparat juga harus mengakomodasi aspirasi masyarakat
sekaligus menindaklanjutinya dalam bentuk peraturan/kebijakan, kegiatan, proyek
atau program yang diusulkan. Wujud nyata dari prinsip tata pemerintahan yang
responsif antara lain adalah penyediaan pusat pelayanan bagi keluhan
masyarakat, pusat pelayanan masyarakat dalam hal -hal yang bersifat kritis dan
gawat (crisis center), kotak saran, surat pembaca dan tanggapannya, dan
berbagai bentuk tanggapan eksekutif dan legislatif dalam forum-forum pertemuan
publik.
4.
Tata
pemerintahan yang bertanggung jawab/ bertanggung gugat (akuntabel)
Penerapan prinsip akuntabilitas atau bertanggung jawab/bertanggung
gugat dalam penyelenggaraan pemerintahan diawali pada saat penyusunan program
pelayanan publik dan pembangunan (program accountability), pembiayaannya
(fiscal accountability), pelaksanaan, pemantauan dan penilaiannya (process
accountability) sehingga program tersebut dapat memberikan hasil atau dampak
seoptimal mungkin sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ditetapkan (outcome accountability). Para penyelenggara
pemerintahan menerapkan prinsip akuntabilitas dalam hubungannya dengan
masyarakat/publik (outwards accountability), dengan aparat bawahan yang ada di
dalam instansi pemerintahan itu sendiri
(downwards accountabi lity), dan kepada atasan mereka (upwards
accountability). Berdasarkan substansinya, prinsip bertanggung
jawab/bertanggung gugat mencakup akuntabilitas administratif seperti penggunaan
sistim dan prosedur tertentu (administrative accountability), akuntabilitas
hukum (legal accountability),
akuntabilitas politik antara eksekutif kepada legislatif (political
accountability), akuntabilitas profesional seperti penggunaan metode dan teknik
tertentu (professional accountability), dan akuntabilitas moral (ethical
accountability). Apabila semua yang dikatakan di atas dapat terpenuhi, maka
akan tumbuh kepercayaan kepada aparat dan keandalan lembaga pemerintahan yang
ada.
5.
Tata
pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas dan kompetensi
Di dalam pemberian pelayanan publik dan pembangunan dibutuhkan
aparat pemerintahan yang memiliki kualifikasi kemampuan tertentu, dengan
profesionalisme yang sesuai. Oleh karenanya, dibutuhkan upaya untuk menempatkan
aparat secara tepat, dengan memperhatikan kecocokan antara tuntutan pekerjaan
dengan kualifikasi kemampuan dan profesionalisme. Tingkat kemampuan dan
profesionalisme aparat pemerintahan yang ada perlu selalu dinilai kembali, dan
berdasarkan penilaian tersebut dilakukan peningkatan kualitas sumber daya
manusia sesuai tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab melalui pendidikan,
pelatihan, lokakarya, dan sebagainya.
Wujud nyata dari prinsip kompetensi dan profesionalisme dapat
dilihat dari upaya penilaian kebutuhan dan evaluasi yang dilakukan terhadap
tingkat kemampuan dan profesionalisme sumber daya manusia yang ada, dan dari
upaya perbaikan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia.
6.
Tata
pemerintahan yang menggunakan struktur dan sumber daya secara efisien dan efektif.
Agar dapat meningkatkan kinerja tata pemerintahan dibutuhkan
dukungan struktur yang tepat. Oleh karena itu, pemerintahan baik pusat maupun
daerah dari waktu ke waktu harus selalu menilai dukungan struktur yang ada,
melakukan perubahan struktural sesuai dengan tuntutan perubahan seperti
menyusun kembali struktur kelembagaan secara keseluruhan dan menyusun jabatan
dan fungsi yang lebih tepat. Di samping itu, pemerintahan yang ada juga harus
selalu berupaya mencapai hasil yang optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber
daya lainnya yang tersedia secara efisien. Dalam konteks ini, harus ada upaya
untuk selalu menilai tingkat efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya
yang tersedia.
7.
Tata
pemerintahan yang terdesentralisasi
Upaya mendelegasikan kewenangan pusat kepada daerah untuk dapat mengurusi rumah
tangganya telah dilakukan di seluruh Indonesia. Namun demikian, pendelegasian
kewenangan tersebut harus juga dilakukan di daerah seperti pendelegasian
wewenang oleh bupati kepada dinas-dinas atau badan/lembaga teknis yang ada di
bawahnya, agar mereka memiliki keleluasaan yang cukup untuk memberikan
pelayanan publik dan menyukseskan pembangunan di daerah.
Wujud nyata dari prinsip tata pemerintahan yang terdesentralisasi
adalah pemberian kewenangan yang luas disertai sumberdaya pendukung kepada
lembaga dan aparat yang ada di bawahnya untuk mengambil keputusan dan
memecahkan masalah yang dihadapi.
8.
Tata
pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada konsensus
Perumusan kebijakan tentang
pelayanan publik dan pembangunan di pusat dan daerah dilakukan melalui
mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Dalam konteks
ini wakil-wakil rakyat di DPR/D diberi akses untuk secara aktif menyuarakan
kepentingan masyarakat, dan menindaklanjuti aspirasi mereka sampai terwujud
secara nyata. Keputusan-keputusan yang diambil, baik oleh lembaga eksekutif
maupun legislatif, dan keputusan antara kedua lembaga tersebut harus didasarkan
pada konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil benar-benar merupakan
keputusan bersama.
9.
Tata
pemerintahan yang mendorong partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan agar penyelenggara
pemerintahan dapat mengenal lebih dekat siapa masyarakat dan warganya
berikut cara pikir dan kebiasaan
hidupnya, masalah yang dihadapinya, cara atau jalan keluar yang disarankannya,
apa yang dapat disumbangkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, dan
sebagainya. Kehadiran, keikutsertaan warga masyarakat dalam forum pertemuan
publik, dan keaktifan mereka dalam menyumbangkan pikiran dan saran-saran
menunjukkan bahwa urusan pemerintahan juga menjadi urusan mereka dan bukan
semata urusan birokrat sebagaimana terjadi selama ini.
Meskipun demikian, harus diakui bahwa tidaklah mudah
mengikutsertakan semua lapisan masyarakat dalam suatu forum sekaligus. Jalan
keluar yang diusulkan adalah memberi akses kepada wakil-wakil dari berbagai
lapisan masyarakat untuk berpartisipasi untuk menyuarakan kepentingan kelompok
yang diwakilinya dan mengajukan usul serta pikiran dalam forum-forum pertemuan
publik seperti musyawarah pembangunan tingkat desa dan konsultasi regional
pembangunan.
Wujud nyata dari prinsip ini adalah pembentukan forum-forum atau
mekanisme pengambilan kebijakan publik yang memberi akses yang lebih besar
kepada masyarakat untuk berpartisipasi, dan pemberian fasilitas berupa pelatihan
atau lokakarya kepada wakil-wakil kelompok masyarakat agar mampu merumuskan
masalah yang dihadapi kelompoknya dan mampu menemukan cara pengungkapan yang
tepat dalam forum-forum atau saluran publik yang ada.
Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik, pembangunan
masyarakat madani dan khususnya dalam
rangka otonomi daerah, peranan swasta dan masyarakat sangatlah penting. Karena
itu, masyarakat dan sektor swasta harus diberdayakan lewat pembentukan kerjasama
atau kemitraan antara pemerintah dengan swasta, pemerintah dengan masyarakat,
dan antara swasta dengan masyarakat. Kemitraan ini harus didasarkan kepada
kebutuhan yang riil (demand driven).
Sektor swasta seringkali sulit tumbuh karena mengalami hambatan birokratis
seperti sulitnya memperoleh berbagai bentuk ijin dan kemudahan-kemudahan
lainnya. Hambatan birokratis seperti ini harus segera diakhiri dengan
pembentukkan pelayanan satu atap, pelayanan terpadu, dan sebagainya. Dengan
demikian, wujud nyata dari prinsip ini adalah pembentukan kemitraan dan
perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat dan sektor swasta.
11.
Tata
pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum
Dalam pemberian pelayanan publik dan pelaksanaan pembangunan
seringkali terjadi pelanggaran hukum, seperti yang paling populer saat ini
yaitu terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, dalam bentuk korupsi, kolusi dan
nepotisme, serta pelanggaran HAM. Dalam konteks ini, siapa saja yang
melanggarnya harus diproses dan ditindak secara hukum atau sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Wujud nyata dari prinsip sup remasi
hukum antara lain mencakup upaya pembentukan peraturan perundangan,
pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum, penuntasan kasus KKN dan
pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum.
Kesenjangan ekonomi yang
sekaligus menunjukkan adanya kesenjangan tingkat kesejahteraan merupakan isu
penting saat ini. Kesenjangan ekonomi yang meliputi kesenjangan antara pusat
dan daerah, antardaerah, antargolongan pendapatan, merupakan salah satu penyebab
lambatnya proses pemulihan ekonomi dewasa ini. Karena daerah-daerah dihuni oleh
penduduk dari etnis bahkan juga agama yang berbeda, kesenjangan menjadi isu
yang sangat rawan terhadap disintegrasi bangsa. Kesenjangan lain yang penting
untuk diperhatikan adalah kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, dimana
perempuan seringkali mendapatkan perlakuan yang berbeda/diskriminatif dalam
kehidupan bermasyarakat. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengurangi
berbagai kesenjangan ini, merupakan wujud nyata dari prinsip tata pemerintahan
yang memiliki komitmen pada pengurangan kesenjangan.
13.
Tata
pemerintahan yang memiliki komitmen pada pasar
Pengalaman telah membuktikan bahwa campur tangan pemerintah dalam
kegiatan ekonomi seringkali berlebihan sehingga akhirnya membebani anggaran
belanja dan bahkan merusak pasar. Bantuan pemerintah untuk mengembangkan
perekonomian masyarakat seringkali tidak diikuti oleh pembangunan atau pemantapan mekanisme pasar. Dalam
jangka panjang bantuan tersebut menimbulkan distorsi dalam perekonomian serta
meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat tertentu dari kegiatan ekonomi yang
berbasis pada mekanisme pasar. Upaya pengaitan kegiatan ekonomi masyarakat
dengan pasar baik di dalam daerah maupun
antardaerah merupakan contoh wujud nyata penerapan prinsip tata pemerintahan
yang memiliki komitmen pada pasar.
14.
Tata
pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan hidup
Masalah lingkungan dewasa ini telah berkembang menjadi isu yang
sangat penting baik pada tataran nasional maupun internasional. Hal ini berakar
pada kenyataan bahwa daya dukung lingkungan semakin lama semakin menurun akibat
pemanfaatan yang tidak terkendali. Lahan-lahan kritis semakin bertambah akibat
pertumbuhan penduduk, penebangan hutan secara liar, pembakaran hutan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pada akhirnya, hal tersebut
mendatangkan ancaman banjir, tanah longsor dan mengeringnya sumber air bagi
penduduk.
Sementara di kota, pembangunan yang berorientasi pada industri
menimbulkan masalah polusi udara, air, dan suara bagi penduduk kota, termasuk
pelanggaran pihak tertentu untuk membangun pada daerah-daerah resapan air dan
jalur hijau yang telah dilarang. Kewajiban penyusunan analisis mengenai dampak
lingkungan secara konsisten, program reboisasi, penegakan hukum lingkungan
secara konsekuen, pengaktifan lembaga- lembaga pengendali dampak lingkungan
merupakan contoh perwujudan tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto, (2006), Mewujudkan Good Governance Melalui
Pelayanan Publik, Yogyakarta; Ghajah
Mada University Pres.
Faisal Akbar, (2003), Dimensi
Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, Medan; Pustaka Bangsa
Press.
L.P. Sinambela, (1992), Ilmu
dan Budaya, Perkembangan Ilmu Administrasi Negara.
No comments:
Post a Comment