STRATEGI PEMBELAJARAN NILAI
Oleh: Jajang Sulaeman, S.Pd.
A.
Makna
Strategi Pembelajaran
1.
Pengertian
Pembelajaran
Perubahan
wawasan tentang hahekat belajar dan mengajar mendorong pula terjadinya
perubahan penggunaan istilah yang
berkait dengan terminologi mengajar.
Mengajar-Pengajaran dalam kurikulum 1975, dan 1984 digunakan istilah
instruksional. Kata instruksional itu
sendiri diambil dari istilah instruction yang diartikan belajar-mengajar.
Istilah belajar-mengajar itu sendiri dimaknai sebagai proses interaktif antara
guru dan siswa, yang berbeda dengan istilah mengajar yang konotasinya hanya
guru yang aktif. Kata instruksional
selanjutnya dalam kurikulum 1994, tidak lagi digunakan dan diganti
menjadi pembelajaran.
Perubahan
makna tentang hakekat belajar-mengajar, dilatari oleh perubahan peranan guru
dalam proses pembelajaran. Dalam menjalankan perannya di samping menyampaikan
informasi, tugas guru di kelas adalah juga mendiagnosis kesulitan belajar
siswa, menyeleksi material belajar, mensupervisi kegiatan belajar, menstimulasi
interaksi belajar siswa, memberikan bimbingan belajar,menggunakan multi media,
strategi dan metode. Peranan guru juga menunjukkan film, mengajak diskusi,
mengajukan pertanyaan, mediator debat, menyelenggarakan field trip, simulasi
dan berbagai peranan lainnya (Simpson; Anderson , 1981-60).
Berbagai
peran yang dimainkan guru tersebut bahwa pembelajaran pada dasarnya adalah
berkenaan dengan hal membelajarkan anak. Dalam pada itu, peranan guru tidak
lain adalah memfasilitasi terjadinya belajar pada diri anak. Perlu
digarisbawahi bahwa perubahan-perubahan perilaku siswa sebagai indikator hasil
belajarnya, adalah akibat keaktifan yang dilakukan anak sendiri dalam
interaksinya dengan lingkungan belajarnya.
Guru dalam berbagai perannya hanyalah sebagai fasilitator yang mengarahkan dan memfasilitasi terjadinya aktivitas belajar. Oleh karena itu, maka istilah instruksional, yang bermakna proses interaktif guru-siswa, digantikan dengan istilah pembelajaran, dengan makna sebagai proses penciptaan lingkungan yang merangsang terjadinya proses belajar pada diri anak.
Perubahan penggunaan istilah pembelajaran juga
di latari oleh asumsi-asumsi pandangan modern tentang belajar. Misalnya belajar menurut Gagne (1975),
merupakan aktivitas mental-intelektual yang
bersifat internal. Aktivitas belajar aktualisasinya adalah proses
beroperasinya mental-intelektual anak. Indikator adanya proses beroperasinya
mental-intelektual tersebut dapat di lacak dari hasil operasi-operasi mental-intelektual tersebut.
Hasil-hasil operasi itu, dalam hal ini diaktualisasikan anak dalam bentuk
perubahan perilaku. Perubahan perilaku yang dimaksud berupa kemampuan-kemampuan
kognitif seperti kemampuan mengingat,
memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis dan menilai.
Selain
itu, perubahan perilaku itu, juga diwujudkan anak berupa kemampuan-kemampuan
afektif seperti penghayatan sikap, motivasi, kesediaan anak, penghargaan
terhadap sesuatu dan sejenisnya. Di samping juga perubahan perilaku anak
tersebut termanifestasikan dalam wujud perubahan keterampilan fisik anak yang
berupa kemampuan mengkordinasikan sistem otot-ototnya untuk melakukan
gerakan-gerakan keterampilan tertentu.
Beroperasinya
mental-intelektual anak tersebut di atas, dapat terjadi manakala
ada obyek eksternal di
lingkungan sekitar yang
menstimulasinya. Obyek eksternal yang
dimaksud dapat berwujud data,
fakta, peristiwa, problema,
perintah, tugas, penjelasan, dan sejenisnya.
Ini
berarti reaksi mental-intelektual tersebut tidak dapat terjadi tanpa obyek
eksternal yang merangsangnya. Jikalau reaksi mental-intelektual itu tidak
terjadi, maka gilirannya belajar itupun tidak terjadi.
Terjadinya belajar (reaksi mental-intelektual) pada diri
anak, memerlukan obyek eksternal yang berupa peristiwa ataupun sistem
lingkungan, yaitu serangkaian kondisioning
yang dapat merangsang terjadinya belajar pada diri anak. Aktivitas guru
yang berupa kegiatan penciptaan
peristiwa atau sistem lingkungan, yang dimaksudkan agar
mental-intelektual anak terdorong dan
terangsang untuk melakukan aktivitas
belajar disebut pembelajaran. Dalam kaitan ini Gagne (1975) mendefinisikan
pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang diciptakan
dan dirancang untuk mendorong,
menggiatkan dan mendukung belajar siswa
(Hanafi dan Manan, 1988:14). Sedangkan Raka Joni (1980:1) menyebutkan,
pembelajaran adalah penciptaan sistem
lingkungan yang memungkinkan terjadinya belajar.
Penciptaan sistem lingkungan berarti menyediakan seperangkat peristiwa-kondisi lingkungan yang dapat merangsang anak untuk melakukan
aktivitas belajar.
Berkenaan
dengan perubahan-perubahan pemaknaan yang berujung digantinya beberapa istilah
yang bertalian dengan proses belajar-mengajar, sesungguhnya, Smith, B.O dalam
Dunkin, M.J (1987) menjelaskan bahwa
secara etimologi, sebenarnya kata learn (belajar) dan teach (mengajar)
mempunyai makna yang sama. Kata learn berasal dari kata bahasa Inggris kuno
learned yang bermakna to learn atau to
teach. Misalnya dalam struktur kalimat bahasa inggris, ‘I will learn you
typewriting’.
Kajian-kajian
lain menyebutkan pula kata teaching yang dalam bahasa Indonesia diartikan
mengajar berasal dari kata teach. Kata ini berasal dari bahasa Inggris kuno
teacon yang diambil dari teutonic kuno kata teik artinya to show yang artinya
menyajikan/ menunjukkan. Kata teach dalam bahasa Inggris berkenaan dengan kata
token yang artinya tanda atau simbol.
Berkenaan
dengan dua akar kata bahasa Inggris tersebut, mengajar di artikan ‘menyajikan
atau menunjukkan seseuatu kepada seseorang melalui tanda atau simbol’ (Karhami,
Karim, A tanpa tahun). Sementara itu,
penggunaan kata pembelajaran yang diterjemahkan dari kata Instruction berasal
dari kata Instruct yang maknanya menurut kamus adalah mengajar/ melatih/memerintah. Instructional
artinya bersifat pelajaran. Berdasarkan kajian akar bahasa, kata teaching and
instruction tidak mempunyai arti yang berbeda. Keduanya berarti
menyajikan/menunjukkan sesuatu kepada seseorang melalui simbol, atau
melatih/memerintah yang bersifat pelajaran kepada seseorang.
2.
Pengertian
Strategi Pembelajaran
Bertolak
dari makna pembelajaran tersebut di atas, maka strategi pembelajaran pada
dasarnya berkenaan dengan hal pemilihan dan pengoperasian system lingkungan
yang efektif dan efisien untuk pencapaian tujuan pembelajaran dengan
mempertimbangkan variable-variabel dan komponen-komponen yang tersedia dalam
pembelajaran.
Strategi
itu sendiri sesungguhnya pungutan dari kosa kata militer. Kata strategi
berhubungan erat dengan pengetahuan tentang perang. Dalam bahasa Yunani,
strategi berasal dari kata stratos yang artinya pasukan dan agein yang artinya memimpin-membimbing. Strategi berarti
kegiatan memimpin pasukan. Jendral Karl Von Clausewitz (1780-1831) menegaskan
bahwa Strategi adalah pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk
kepentingan perang.
Demikian
pula Antonie Henri Jomini (1779-1869) menyatakan bahwa strategi adalah seni
menyelenggarakan perang di atas peta dan meliputi seluruh kawasan operasi.
Sementara Liddle Hart menyebutkan bahwa strategi adalah seni mendistribusikan
dan menggunakan sarana-sarana militer untuk mencapai tujuan-tujuan politik .
Bertolak
dari pengertian-pengertian ini, strategi memiliki dua hal, (1) perencanaan
tindakan secara sistematis dan, (2) implementasi perencanaan dalam tindakan di
lapangan. (Al Hakim S. dkk.; 2002:80). Dan ujung dari penggunaan strategi
adalah memenangkan pertempuran.
Berangkat
dari konsep strategi tersebut diatas, maka strategi pembelajaran sesungguhnya
dapat definisikan sebagai pengetahuan
tentang perencanaan dan penyelenggaraan pembelajaran. Dapat juga dikatakan
bahwa strategi pembelajaran adalah seni untuk merencanakan dan menyelenggarakan
pembelajaran yang meliputi seluruh
komponen yang terkait dengan kegiatan pembelajaran.
Berikut ini
disajikan beberapa pengertian
strategi pembelajaran yang berbeda-beda tersebut.
Menurut Hilda Taba, proses pembelajaran
merupakan aktivitas yang kompleks. Proses pembelajaran mencakup
banyak variabel, yaitu variabel tujuan, guru, siswa, proses belajar,
dan susunan pembelajaran. Untuk
mengembangkan strategi pembelajaran,
variabel-variabel penting tersebut di atas, perlu
dipertimbangkan. Oleh karena itu, Strategi pembelajaran menurut Hilda
Taba adalah pola dan urutan tingkah laku
guru untuk menampung semua variabel-variabel pembelajaran secara sadar dan sistematis,
(Suprihadi, 1993: 93).
Strategi pembelajaran merupakan bagian dari
keseluruhan komponen pembelajaran. Strategi pembelajaran berhubungan dengan cara-cara yang dipilih guru untuk
pencapaian tujuan pembelajaran.
Cara-cara itu, mencakup sifat, ruang lingkup dan
urutan kegiatan yang berwujud pengalaman belajar bagi
siswa. Oleh sebab itu, Hilda Taba menyatakan pula strategi pembelajaran
adalah cara-cara yang dipilih guru dalam proses pembelajaran yang dapat memberikan
kemudahan atau fasilitas bagi
siswa menuju tercapainya tujuan
pembelajaran (Suprihadi, 1993:94)
Dick dan
Carrey dalam membuat
pengertian strategi tidak
membatasi hanya prosedur
pembelajaran. Strategi pembelajaran mencakup materi atau paket
pembelajaran. Menurut Dick dan Carrey
strategi pembelajaran adalah semua
komponen materi dan prosedur
pembelajaran yang digunakan untuk
membantu siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran tertentu (Suprihadi, 1993:94).
Gropper
sesuai dengan pendapat Elly mengatakan,
Strategi adalah rencana untuk
pencapaian tujuan pembelajaran.
Strategi pembelajaran, terdiri
atas metode dan teknik, tetapi, strategi lebih luas dari metode dan teknik pembelajaran
(Suprihadi,1993:94).
Davies
(1987:121) menyatakan, Strategi pembelajaran meliputi garis-garis besar metode pembelajaran. Hal tersebut
antara lain meliputi strategi
perkuliahan atau ceramah, strategi tutorial, strategi dari studi kasus. Dengan
perkataan lain, strategi adalah garis-garis besar yang menggambarkan cara
mengerjakan dan mengolah tugas-tugas
pembelajaran.
Pendapat
yang hampir sama dikemukakan oleh Syamsudin (1983:66) dengan menyatakan bahwa
strategi pembelajaran adalah suatu garis besar haluan
bertindak untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang ditetapkan.
Raka
Joni (1980:1) menyatakan istilah strategi banyak dipakai dalam banyak konteks dengan makna
yang berbeda-beda. Dalam konteks
pembelajaran, strategi pembelajaran adalah
pola umum perbuatan guru-murid di
dalam perwujudan peristiwa pembelajaran.
Memperhatikan beberapa
pengertian strategi yang dikemukakan oleh beberapa ahli pembelajaran di atas, dapat
dicermati bahwa strategi pembelajaran pada dasarnya bukan
perencanaan pembelajaran. Perencanaan
pembelajaran substansinya meliputi semua variabel atau komponen program pembelajaran,
termasuk di dalamnya variabel strategi pembelajaran itu sendiri. Strategi
pembelajaran, sebagai salah satu komponen program pembelajaran, berfungsi untuk
mewujudkan aktualisasi proses pembelajaran.
Strategi
pembelajaran perwujudannya berupa ketetapan guru tentang tindakan strategis
untuk mewujudkan proses pembelajaran. Dalam pada itu, dari segi waktu
penetapannya, strategi pembelajaran ditetapkan ketika guru merancang disain
perencanaan pembelajaran. Oleh karena sifatnya yang kondisional-transaksional,
keputusan strategi pembelajaran dapat terjadi ditetapkan bersamaan ketika
proses pembelajaran itu sendiri sedang berlangsung. Hal ini dilakukan untuk
membuat penyesuaian-penyesuaian dengan realitas yang ada ketika proses
pembelajaran sedang berlangsung.
Strategi pembelajaran aktualisasinya terwujud sebagai seperangkat tindakan guru untuk
mewujudkan proses pembelajaran yang memudahkan siswa untuk mencapai tujuan
belajarnya. Cakupan tindakan tersebut
substansial yang meliputi variabel : (1) setting (latar) pembelajaran, (2)
pengelolaan dan pengorganisasian bahan ajar, (3) pengalokasian
waktu, (4) pengaturan pola
aktivitas pembelajaran, (5) metode,
teknik, dan prosedur
pembelajaran, (6) pengaturan dalam
pemanfaatan media pembelajaran, (7) penerapan
prinsip-prinsip pembelajaran, (8) penerapan pendekatan pola aktivitas
pembelajaran, (9) pengembangan dan pengaturan iklim pembelajaran.
Strategi
pembelajaran perwujudannya bersifat
sistemik karena antar variabel terangkai sebagai pola
pembelajaran yang utuh, terpadu,
rasional, sistematis dan strategis.
Keutuhan dan keterpaduan variabel
strategi pembelajaran, ditengarai oleh
adanya sinkronitas antar variabel tersebut, sehingga mewujudkan
kerelevansian antar variabel, yang gilirannya mampu memudahkan dan
mengefektifkan optimalisasi tercapainya tujuan belajar. Rasional dalam arti
bahwa hubungan setiap variabel yang
mendukung perwujudan pembelajaran tersebut, memiliki alasan yang dapat
diterima karena antar aspek bersifat
kontributif-komplementatif- implikatif.
Aktualisasi
pembelajaran di katakan strategis, manakala setiap jenis dan atau pola aktivitas pembelajaran beserta seluruh
variabel yang terkait dapat dilacak
rasionalitasnya, kadar keefektifan dan
keefisiensiannya untuk pencapaian tujuan pembelajaran. Nilai strategis suatu
strategi pembelajaran dapat juga diuji atas dasar kesesuaiannya dengan
karakteristik variabel-variabel penentu
pembelajaran, seperti : (1) sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, (2) sesuai dengan
karakteristik bahan pembelajaran, (3) karakeristik guru, (4)
karateristik siswa, (5) karakteristik sarana dan prasarana yang tersedia. Dan ujung dari
semua itu adalah keakuratan strategi tersebut dalam memfasilitasi keoptimalan
pencapaian tujuan belajar oleh setiap anak.
B.
Makna
Nilai
Menurut Driyarkara,
nilai merupakan hakikat suatu hal yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh
manusia. Sementara itu, menurut Bertens, nilai adalah suatu yang menarik bagi
kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai
dan diinginkan. Singkatnya, nilai adalah sesuatu yang baik.
Dalam pandangan
Sinurat, nilai dan perasaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
keduanya saling mengandaikan. Perasaan adalah aktivitas psikis tempat manusia
menghayati nilai. Hal ini bermakna bahwa sesuatu itu bernilai bagi seseorang
jika menimbulkan perasaan positif dan sebaliknya. Senada dengan Sinurat, Hans
Jonas, filsuf Jerman-Amerika menyatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang
senantiasa kita ‘iya’-kan atau kita setujui.
Pengalaman dan
penghayatan nilai itu melibatkan hati, hati nurani serta budi. Hati menangkap
nilai dengan merasakannya dan budi menangkap nilai dengan memahami dan
menyadarinya.
Nilai itu selalu
dihadapi oleh manusia dalam hidup kesehariannya. Setiap kali mereka hendak
melakukan sutau pekerjaan, maka harus menentukan pilihan di antara sekian
banyak kemungkinan dan harus memilih. Di sinilah nilai akan menjalankan
fungsinya. Nilai menjadi ukuran untuk menghukum atau memilih tindakan atau
tujuan tertentu. Nilai tidak terletak pada barang atau peristiwa, tetapi manusia
memasukkan nilai ke dalamnya sehingga barang atau peristiwa itu mengandung
nilai. Oleh karena itu, subjeklah yang tahu dan menghargai nilai itu. Tanpa
adanya hubungan subjek atau objek itu maka nilai tidak akan ada. Suatu benda
akan ada, sekalipun manusia tidak ada. Akan tetapi, benda itu tidak bernilai,
manakala manusia tidak ada. Nilai menjadi tidak bernilai jika manusia tidak
ada.
Menurut Hoffmeister,
nilai adalah implikasi hubungan yang diadakan oleh manusia yang sedang memberi
nilai antara satu benda dengan satu ukuran. Nilai merupakan realitas abstrak.
Nilai kita rasakan dalam diri kita masing-masing sebagai daya pendorong atau
prinsip-prinsip yang menjadi penting dalam kehidupan, sampai pada suatu
tingkat, di mana sementara orang lebih siap untuk mengorbankan hidup mereka
dari pada mengorbankan nilai.
Sumber nilai bukanlah
budi (pikiran), tetapi hati (perasaan). Persoalan nilai ini berlawanan dengan
persoalan ilmu. Ilmu terlibat dalam fakta, sedangkan nilai terlibat dengan cita
dan idea. Salah atau benarnya suatu teori ilmu pengetahuan dapat dipikirkan.
Indah-jeleknya suatu benda atau barang, atau baik buruknya suatu peristiwa
dapat dirasakan, tetapi perasaan itu sendiri tidak ada ukurannya karena
tergantung kepada masing-masing orang yang merasakannya. Jadi, nilai itu sangat
subjektif sekali.
Dalam pandangan Harun
Nasution, nilai dimaknai sebagai nilai rohani (etika relegius) yang berupa
kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong
menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar,
pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji,
disiplin, mencintai ilmu, dan berpikiran lurus.
C.
Struktur
Nilai
Secara aksiologis,
nilai dapat dibagi menjadi nilai mutlak dan nilai relatif, nilai intrinsik
(dasar), dan nilai instrumental. Nilai mutlak bersifat abadi, tidak mengalami
perubahan dan tidak tergantung pada kondisi dan situasi tertentu. Nilai relatif
tergantung pada situasi dan kondisi oleh karenanya selalu berubah. Nilai
intrinsik ada dengan sendirinya dan tidak menjadi prasarat bagi nilai yang
lain, misalnya adalah kebahagiaan, tetapi ukurannya tergantung pada
masing-masing orang. Nilai instrumental berupa amal saleh dengan indikator
amanah, kejujuran, kesabaran, keadilan, kemanusiaan, etos kerja, dan disiplin
yang dalam praktik kehidupan paling banyak dihadapi oleh manusia.
Sedangkan menurut
Gordon M. Hart, dalam disposisi jiwa seseorang terdapat tingkatan lapisan yang
terkait dengan nilai; pertama, tingkah laku; kedua, sikap; ketiga, nilai; dan
keempat, kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu. Di sini nilai (yang
terletak di bawah keyakinan) berada dalam dunia rohaniah/batiniah, spiritual,
tidak berwujud, dan tidak empirik, tetapi sangat kuat pengaruh dan peranannya
dalam setiap perbuatan dan penampilan seseorang.
Dari sini dapat
diketahui bahwa nilai menjadi standar tingkah laku yang bersifat tetap dan
abadi. Dalam pandangan Atmadi, jenis nilai itu beragam, jika dilihat dari sifat
maupun manfaatnya. Jika dilihat dari sisi manfaat nilai dapat dibedakan menjadi
universal dan partikular, intrinsik dan ekstrinsik. Dilihat dari manfaatnya ada
nilai final dan instrumental. Uang bernilai instrumental dan Allah bernilai
final.
Max Scheller,
sebagaimana dikutip Purwo Hadiwardoyo membagi nilai dalam empat tingkatan
sebagai berikut.
- Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai keenakan yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
- Nilai-nilai hidup: dalam tingkat ini terdapat nilai yang penting bagi orang yang hidup, semisal kesehatan dan kesejahteraan umum.
- Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungannya, semisal keindahan, kebenaran, dan lain-lain.
- Nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapat modalitas nilai dari yang suci. Nilai-nilai semacam ini terdiri dari nilai pribadi, terutama Allah sebagai Pribadi Tertinggi.
D.
Beberapa
Problematika Nilai
Ada beberapa faktor
yang dapat menjadi hambatan dalam pelaksanaan internalisasi nilai-nilai kepada
peserta didik, antara lain :
- Kultur masyarakat Indonesia dengan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah, ditambah dengan multietnis dan budaya yang merupakan kondisi rentan terhadap berbagai pengaruh budaya luar yang masuk lewat kontak langsung maupun tayangan televisi. Pengaruh ini sangat dahsyat dan kuat dalam membentuk opini, pola pikir, dan pola hidup masyarakat yang cenderung konsumtif, pragmatis, dan hedonis. Hal ini sangat bertolak belakang dengan semangat nilai-nilai ideal.
- Sistem pemerintahan (politik) yang dianut oleh negara berkembang pada umumnya adalah pemerintahan otoriter yang menempatkan pemerintah sangat leluasa dalam menentukan kebijakan. Dalam situasi seperti ini lembaga pendidikan menjadi sangat subordinatif dan tidak dapat mengelola kegiatan pembelajaran secara independen dan ideal. Lembaga akan lebih banyak melaksanakan program pendidikan versi pemerintah yang sarat dengan kepentingan politis-ekonomi dan mempertahankan status quo.
- Lembaga pendidikan itu sendiri tidak memiliki cukup konsep dan instrumen tentang pembelajaran nilai yang benar-benar dapat diandalkan untuk membina peserta didik. Lembaga pendidikan lebih bersifat administratif-formalistik yang secara rutin menyampaikan materi pelajaran, evaluasi dan kemudian meluluskan peserta didik agar nantinya dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
- Kondisi peserta didik (in-put) yang secara kuantitatif relatif banyak tetapi berkualitas rendah. Proses transformasi nilai akan sangat sulit jika dilaksanakan dalam suatu kelas yang jumlahnya banyak (gemuk), apalagi berkualitas rendah sebab pembelajaran nilai sangat membutuhkan keaktifan peserta dan monitoring yang intensif dari guru.
- Karakter nilai itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat abstrak sehingga menyulitkan pendidik dalam melakukan transformasi maupun evaluasi. Hal demikian tidak terjadi dalam ilmu eksakta. Instrumen yang valid untuk evaluasi nilai sangat sulit, kalaupun bisa memerlukan waktu dan dana yang cukup banyak. Ukuran keberhasilan yang sulit dipastikan akan menjadi kendala tersendiri dalam melakukan tindak lanjut.
- Kebiasaan hati yang penuh dengan kebencian dan kedengkian serta tertutup. Dalam kondisi ini pendidikan hanya mampu menyampaikan informasi rasional, tetapi gagal dalam menanamkan nilai-nilai.
- Kultur dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang cenderung suka meredam perasaan, emosi, tidak spontan, dan tidak transparan.
- Kebiasaan dalam kegiatan pembelajaran yang menggunakan semangat monolog/pidato dan instruktif serta kurang menggunakan model sharing (berbagi) dan dialog.
E.
Strategi
Pembelajaran Nilai
Nilai-nilai itu
bukanlah ciptaan manusia, melainkan datang dari Sang Pencipta sebagai Nilai
Tertinggi (Summum Bonum) dan menjadi sumber segala nilai. Manusia memiliki
tugas untuk memahami, menyadari, merasakan, menemukan, dan mewujudkan dalam
kenyataan.
Proses pemahaman dan
penemuan nilai ini tidak dapat dilakukan hanya dengan budi-pikiran saja,
melainkan perlu mewujudkannya dalam pengalaman nyata. Ketika seseorang ingin
menghayati nilai ‘cinta kasih’, tidak cukup hanya dengan berpikir, memahami,
dan menyetujui di kepala saja, melainkan perlu mewujudkannya dalam pengalaman
nyata ‘mencintai’ dan ‘dicintai’.
Pendidikan nilai
merupakan upaya pembentukan sikap dan
tingkah laku seseorang, hal ini seperti dikemukakan oleh Smith dan Spranger,
bahwa nilai-nilai mewarnai sikap dan
tindakan individu karena ia harus senantiasa untuk dimiliki.
Senada dengan Smith dan
Spranger, menurut Max Scheler, manusia perlu terus-menerus berusaha mencapai
nilai-nilai yang lebih tinggi tingkatannya. Berkait dengan tingkatan nilai itu,
Hadiwardoyo menyatakan bahwa perlu ada pedoman untuk menentukan tinggi
rendahnya nilai; semakin tahan lama, semakin tinggi, semakin tidak tergantung
pada nilai-nilai lain, semakin membahagiakan, dan semakin tidak tergantung pada
kenyataan tertentu.
Proses internalisasi
nilai membutuhkan kemahiran dalam menangkap nilai lewat pengalaman nyata, di
antaranya perlu keterbukaan hati-budi, keheningan, ketenangan, dan disposisi
batin yang mendukung; terbuka, percaya, jujur, rendah hati, bertanggung jawab,
berniat baik, setia, dan taat.
Pendidikan nilai
hendaknya bukan hanya sekadar tambahan (pelengkap), melainkan merupakan sesuatu
yang hakiki dalam seluruh proses pendidikan. Pendidikan nilai menjadi kian
penting ketika arus materialisme dan konsumerisme secara global terus mengikis
nilai-nilai luhur dari kehidupan manusia, tidak hanya yang tinggal di kota-kota
besar, bahkan sudah menyentuh desa-desa yang terpelosok sekalipun.
Terdapat beberapa
strategi alternatif (model) yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai
kepada peserta didik, antara lain sebagai berikut.
1.
Menurut Khairan
Penanaman
nilai-nilai dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa model di antaranya :
a. Model
pewarisan; adalah dengan menggunakan cara
indoktrinasi mekanistik, pemaksaan, latihan, dan pengulangan;
b. Model
pengembangan kesadaran nilai, artinya bahwa nilai itu akan ditemukan oleh anak
ketika mereka mengalaminya sendiri;
c. Model
pengembangan nilai etika swasta, anak didik tumbuh dan berkembang melalui
tahap-tahap perkembangan dalam suatu seri tahap-tahap yang secara kualitatif
berbeda satu sama lain.
2.
Menurut A.M. Saifudin
Internalisasi
nilai paling strategis dilakukan lewat universitas dan civitas akademika. Dalam
pandangannya, kejatuhan sains di dunia modern karena terlalu mengagungkan
potensi nalar tanpa memberikan sedikit pun untuk hal–hal yang bersifat
metanalar. Sementara realitas kehidupan yang ada membuktikan bahwa justru
realitas kehidupan yang digeluti sekarang ini banyak yang tidak rasional,
artinya banyak ditentukan oleh asumsi manusia dalam bentuk keyakinan. Oleh
karena itu, ia mengusulkan adanya fakultas baru yang peduli terhadap nilai,
yaitu sebagai berikut.
a. Fakultas
Zikir
Dalam epistemologi al-Qur’an, fakultas
zikir bergerak dalam dunia intuitif yang dikonotasikan dengan akidah atau iman.
Daya pancar fakultas zikir ini mampu menangkap sinyal-sinyal rohani lewat alam
semesta sebagai instrumen prima untuk realitas mutlak sebagai ego terakhir.
Fakultas zikir berfungsi meloloskan manusia dari kepungan-kepungan materialisme
yang sangat dahsyat.
b. Fakultas
Pikir
Pikir dan zikir harus padu dalam
memotret setiap sosok kehidupan dari alpha sampai omega. Menurut Imam
al-Ghazali, kerancauan berpikir dari ahli pikir terjadi akibat kenyataan dan
angan-angan dicampuradukan dengan akal. Sebenarnya akal dapat mencapai hakikat,
tetapi harus dituntun oleh wahyu untuk membaca ilmu Allah yang terbentang luas
di alam semesta agar manusia dapat memahami makna ‘super energi’ di balik
energi yang digunakan untuk memutar roda kehidupan makhluk.
c. Fakultas
Amal
Amal merupakan refleksi dan perbuatan
kreatif dari zikir dan pikir yang jatuh pada titik pusat kesadaran emosional di
saat pikir dan zikir telah sampai di hati yang menimbulkan prosesal ‘amalu bi
an niyat.
3.
Menurut A. Atmadi dan Setyaningsih
Pendidikan
nilai akan lebih efektif jika dikembangkan lewat jalur non-formal karena
disposisi peserta didik terbangun dengan baik. Disposisi ini sangat ditentukan
oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang menentukan
disposisi antara lain; niat, motivasi, dan arah konsentrasi perhatian murid.
Sementara itu, faktor eksternalnya adalah sikap badan atau posisi duduk, tata
ruang, dan dinamika hubungan antarsubjek yang terlibat.
Suasana
kelas yang formal, klasikal dan tempat duduk yang terpaku pada kursi meja yang
diatur berlajur-lajur paralel dan arah pandang (komunikasi) yang searah ke
depan saja, kiranya hanya cocok untuk mengajarkan ilmu pengetahuan kognitif
lewat ceramah-ceramah. Setting suasana kelas tersebut kurang mendukung
keberhasilan pendidikan nilai. Pendidikan nilai membutuhkan setting eksternal
yang mendukung terbentuknya disposisi internal yang diharapkan sehingga hati
dengan bebas membuka dan nilai-nilai mudah masuk ke dalamnya.
Di
antara setting eksternal yang mendukung
efektivitas pendidikan nilai adalah sebagai berikut :
a. Sikap
posisi duduk yang rileks dan bebas bergerak, misalnya duduk lesehan atau duduk
dikursi dengan posisi duduk melingkar.
b. Suasana
santai, informal, dan luwes.
c. Acara-acara
dinamis dan interaktif.
d. Arah
konsentrasi perhatian terfokus, tetapi tidak kaku dan tegang.
e. Setting
tempat luas, terbuka, alami, dan segar.
f. Ada
refreshment (minum, snack, dan makanan).
Hal di atas akan berpengaruh terhadap
disposisi internal. Akan tetapi, disposisi internal sendiri harus ditumbuhkan
untuk :
a. niat
yang bulat untuk mengikuti acara-acara yang diselenggarakan;
b. arah-konsentrasi
perhatian yang terpusat;
c. minat
yang muncul secara bebas dari dalam (merasa butuh); dan
d. keterbukaan
untuk berkembang.
Proses conditioning dalam pendidikan nilai
dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa model antara lain :
a. Model
pemecahan masalah (problem solving); mengajak murid untuk berdiskusi memecahkan
suatu masalah konkret;
b. Model
berpikir reflektif (reflective thinking); mengajak murid secara pribadi atau
berkelompok untuk membuat catatan
refleksi atau perenungan (tanggapan) atas suatu tulisan, peristiwa, kasus,
gambar, foto, dsb;
c. Model
membangun sikap bertanggung jawab (responsibility-building); murid diserahi
tugas atau pekerjaan yang konkret dan diminta untuk membuat laporan
sejujur-jujurnya;
d. Model
piknik (picnic); mengadakan kunjungan ke suatu tempat diluar kelas untuk
refershing dan mengenal suasana lingkungan;
e. Camping
study; murid diajak untuk melakukan camping;
f. Model
pesta; muri diundang ke rumah guru untuk berpesta, meskipun sederhana dan kecil
kecilan.
4.
Menurut Kamrani
Pembelajaran
nilai dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain sebagai berikut :
a. Strategi
Tradisional; dengan menjelaskan
nash-nya, pesannya kemudian dijelaskan konsekuensi bagi yang
melaksanakan maupun yang meninggalkannya.
b. Strategi
Klarifikasi Nilai; dengan memilih, menghargai, dan melaksanakan nilai dalam
kehidupan sehari-hari.
c. Strategi
Teladan; dengan memberi contoh kepada peserta didik tentang nilai-nilai yang
dianut dan menjelaskannya.
d. Strategi
Transinternal; dengan cara menyimak cerita yang mengandung nilai, menanggapi
suatu perilaku dalam cerita tersebut, mendudukan nilai yang tertinggi dari
nilai yang ada dalam cerita dan internalisasi (memberi makna) nilai.
5.
Menurut Dougles Superka
Dalam
mengajarkan nilai terdapat beberapa strategi yang dipilih berdasarkan materi
bahan ajar dan tujuan yang dikenal dengan strategi Value Clarivication
Technique (VCT), antara lain sebagai berikut.
a. Pendekatan
evokasi/ekspresi spontan (evolution approach) yang memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mengemukakan tanggapan, perasaan,
penilaian, dan pandangannya terhadap suatu hal yang disampaikan oleh pendidik,
khususnya nilai –nilai tertentu. Pandangan yang disampaikan tersebut boleh
bersifat emosional, positif, bahkan negatif sekalipun.
b. Pendekatan
sugesti terarah (inculcation approach), di mana peserta didik secara halus digiring
untuk mengarah pada suatu kesimpulan dan menerima nilai tertentu.
c. Pendekatan
kesadaran (awareness), dengan mengadakan suatu kegiatan di mana peserta didik
diberi kesempatan untuk mengamati dan dituntun untuk mengklarifikasi dirinya
atau orang lain.
d. Mencari
kejelasan moral (moral reasoning), di mana pendidik melontarkan suatu dilema
kepada peserta didik, mereka diajak terlibat dalam dilema itu dan kemudian diminta untuk
melakukan klarifikasi dirinya, serta meningkatkan nilai tersebut melalui dialog.
e. Pendekatan
analisis nilai (approach of value analitis) dengan mengajak peserta didik
melakukan analisis nilai yang ada dalam suatu media, mulai dari analisis
seadanya seperti reportase dan kemudian melakukan kajian mendalam.
f. Pengungkapan
nilai (value clarification), dengan cara membina kesadaran emosional nilai
peserta didik melalui cara klarifiaksi, kajian kritis rasional, dan menguji
kebenaran, kebaikan, keadilan, kelayakan, serta ketepatan.
g. Pendekatan
kesepakatan (commitment approach), yakni dengan minta peserta ketika awal masuk
sudah harus menyepakati sikap dan pola pikir
yang berdasarkan nilai-nilai tertentu. Pendekatan ini diterapkan dalam
pengajaran nilai untuk melatih peserta didik disiplin dalam pola berpikir dan
berbuat, serta membina integritas sosial peserta didik.
h. Mengintegrasikan
diri (approach union), yakni peserta didik diintegrasikan dalam kehidupan riil
atau simulasi yang dirancang oleh pendidik. Peserta didik disuruh mengalami
atau merasakan secara langsung hal ihwal yang diharapkan.
Dalam
penerapan berbagai strategi di atas, sebenarnya dibutuhkan adanya prasyarat
yang mendukung, antara lain sebagai berikut.
a. Keterampilan
mengidentifikasi nilai, sikap atau moral, mengklarifikasi diri, dan mengambil
keputusan atau kesimpulan.
b. Adanya
keterbukaan (diri dan pikiran) atau kesediaan (keramahan dan objektivikasi)
para peserta didik dan pendidik.
c. Hati,
pikiran, emosi, kemauan, keseluruhan diri, dan minat peserta didik harus
terpanggil dan terlibat dalam apa yang sedang berlangsung di kelas; bagaikan
nonton wayang atau film yang begitu bergairah hanyut dalam lakon.
d. Pendidik
harus memiliki, menyadari, dan selalu patuh akan target-target nilai dari pokok
pelajarannya.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Atmadi dan Setyaningsih (Ed.). 2000. Transformasi Pendidikan Memasuki Millenium
Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
A.
Hanafi. 1976. Pengantar Filsafat Islam.
Jakarta: Bulan Bintang.
A.
Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam
Etika A Sampai Z. Yogyakarta: Kanisius.
A.M.
Saifudin, dkk. 1987. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung:
Mizan.
Abdurrahmansyah.
2004. Wacana Pendidikan Islam: Khazanah Filosofis dan Implementasi Kurikulum,
Metodologi,
dan Tantangan Pendidikan Moralitas.
Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
Achmadi.
2005. Ideologi Pendidikan Islam:
Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bertens
K. 1994. Etika. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Buseri,
Kamrani. 2003. Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah: Pemikiran Teoritis Praktis
Kontemporer. Yogyakarta: UII Press.
Damami,
Muh. 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa.
Yogyakarta: LESFI.
Gazalba,
Sidi. 1981. Sistematika Filsafat: Dunia Filsafat, Teori Pengetahuan, dan
Teori Nilai. Jakarta: Bulan Bintang.
H.
De Vos. 1987. Pengantar Filsafat. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Hadiwardoyo,
A. Purwo. 1985. Nilai-nilai Kemanusiaan dan Hikmat bagi Pendidikan. Yogyakarta:
IKIP
Irwandar.
2003. Dekonstruksi Pemikiran Islam: Idealitas Nilai dan Realitas Empirik.
Yogyakarta: Media Ar-Ruz.
Keraf,
Sony dan Mikhael Dua. 2001. Ilmu
Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: Kanisius.
Mustansyir,
Rizal dan Musnal Munir. 2001. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution,
Harun. 1996. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.
Rosyadi,
Khaeron. 2004. Pendidikan Profetik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rukiyanto,
Agus. 1993. Ajaran Nilai Max Scheller
dalam Tim Redaksi Tri Diyarkara: Diskursus
Kemasyarakatan
dan Kemanusiaan. Jakarta: Gramedia.
Sanjaya,
Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media.
Soedjatmoko.
1996. Etika Pembebasan. Jakarta: LP3ES.
Soemargono,
Soejono. 1992. Pengantar Filsafat.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudarsono.
1993. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Sukamadinata,
Nana Saodih. 1997. Pengembanagn Kurikulum: Teori dan Praktik. Bandung: Rosdakarya.
Suseno
FM dan Reksosusilo. 1983. Etika Jawa dalam Tantangan. Yogyakarta: Kanisius.
Tafsir,
Ahmad. 1992. Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Tales – James. Bandung:
Rosdakarya.
Takeshita,
Masataka. 2005. Manusia Sempurna Menurut Konsep Ibnu ‘Arabi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wijaya,
Cuk Ananta. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
No comments:
Post a Comment