PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Oleh: Jajang Sulaeman, S.Pd.
1.
Pengertian
Pendidikan Anak Usia Dini
Istilah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) terbentuk
dari tiga kata atau istilah dasar, yakni pendidikan, anak dan usia dini. Oleh
karena itu sebelum berbicara tentang pengertian PAUD, sebaiknya kita memahami dulu tentang
pengertian pendidikan, anak dan anak usia dini.
Sehubungan
dengan pengertian atau definisi pendidikan telah banyak para ahli pendidikan memberikan batasan dengan rumusan yang beragam tergantung perspektif, orientasi, konsep
dasar atau landasan filosofisnya
masing-masing.
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia (1991 : 232) mengenai pengertian pendidikan
dijelaskan sebagai beirkut :
Pendidikan
berasal dari kata "didik", Lalu kata ini mendapat awalan kata "me"
sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara dan memberi
latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran,
tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Dalam Wikipedia (AsianBrain.Com,
2008) pendidikan diartikan sebagai berikut :
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat.
Sedangkan Drs. M. Ngalim Purwanto, MP (1998 : 11) memberikan definisi bahwa, “Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan”.
Oleh karena itu untuk kepentingan penelitian ini, kita
akan berpegang pada pengertian yang bersifat normatif yakni yang telah
dirumuskan dalam undang-undang.
Dalam UU Sisdikdas No. 20 tahun 2003 pasal 1 angka 1
dinyatakan bahwa :
Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Dari
uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan pada hakekatnya adalah
segala proses usaha yang dilakukan secara sadar dan disengaja oleh orang dewasa
untuk membimbing orang yang belum dewasa dengan mengembangkan segala potensinya
secara utuh menuju pada suatu taraf kedewasaan tertentu.
Subjek
atau sasaran pendidikan adalah manusia dengan kategori sesuai dengan program
pendidikan yang diselenggarakannya. Dalam konteks PAUD, maka sasaranya adalah
anak usia dini.
Menurut
John Locke (dalam Gunarsa,
1986), “Anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap
rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan”. Sobur (1988)
mengartikan anak sebagai “Orang yang mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan
minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasan”.
Haditono
(Damayanti, 1992), berpendapat bahwa :
Anak
merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi
perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi
kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan
yang cukup baik dalam kehidupan bersama.
Pengertian anak juga mencakup masa
anak itu exist (ada). Hal ini untuk menghindari keracunan mengenai pengertian
anak dalam hubugannya dengan orang tua dan pengertian anak itu sendiri
setelah menjadi orang tua. Kasiram (1994) mengatakan :
Anak
adalah makhluk yang sedang dalam taraf perkembangan yang mempunyai perasaan,
pikiran, kehendak sendiri, yang kesemuannya itu merupakan totalitas psikis dan
sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangannya.
Dalam peristilahan pendidikan,
pengertian anak mengalami perluasan arti, tidak terbatas pada rentang usia,
tetapi lebih pada setiap individu yang tengah menempuh suatu proses pendidikan
pada suatu jenis atau jenjang pendidikan tertentu, yang kita kemudian kita
kenal istilah anak didik atau peserta didik.
Anak yang menjadi sasaran dalam PAUD adalah anak usia dini.
Secara psikologis, Mansur (2007 : 88) mengemukakan :
Anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik, dalam arti memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan (koordinasi motorik halus dan kasar), intelegensi (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi dan
kecerdasan
spiritual), sosial emosional (sikap dan perilaku serta
agama), bahasa dan
komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat
pertumbuhan dan
perkembangan anak.
Menurut
batasan usia dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU Sisdiknas ditegaskan bahwa,
“Pendidikan anak usia dini diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan
enam tahun dan bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar”.
Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di
beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak 0 – 8 tahun.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimasuk dengan anak usia dini adalah
manusia dalam rentas usia 0- 6 atau 8 tahun yang berada dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan yang khas, sehingga memerlukan stimulasi pendidikan
yang baik
dan tepat.
Dalam konteks proses pendidikan
dengan sasaran anak usia dini itulah, kemudian muncullah suatu konsep yang
dikenal dengan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun
2003, bab I pasal 1 angka 14 dinyatakan bahwa :
Pendidikan anak usia dini adalah suatu
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Dalam Wikipedia (2009) dijelaskan bahwa :
Pendidikan
anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan
dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir
sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang
diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Dasahik,
Kabid PLS
Diknas Muba (2009) menjelaskan bahwa :
Pengertian PAUD adalah suatu upaya
pelayanan pendidikan bagi anak usia dini (0-6 tahun) yang dilakukan di
lingkungan keluarga, sekolah, lembaga atau tempat pengasuhan anak yang
berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang anak, agar dapat berkembang secara
optimal dan memiliki kesiapan memasuki pendidikan dasar.
Sedangkan
Maimunah Hasan (2009) memberikan definisi bahwa :
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah
jenjang pendidikan sebelum pendidikan dasar sebagai suatu upaya pembinaan dini
yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai usia enam tahun. Jenjang pendidikan ini sangat penting dilakukan sebagai sarana menciptakan
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani anak sedini mungkin, agar anak memiliki kesiapan optimal dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut, baik yang formal, nonformal, dan informal.
Eli Tohonan Tua Pane (2008) mengemukakan
bahwa :
Pendidikan anak usia dini merupakan wahana pendidikan
yang sangat fundamental dalam memberikan kerangka dasar
terbentuk dan berkembangnya dasar-dasar pengetahuan, sikap dan keterampilan
pada anak.
Disamping
istilah normatif tentang PAUD terdapat pula terminologi Pengembangan Anak Usia Dini
sebagaimana dikemukakan oleh Direktorat PADU (2002 : 3) yaitu, “Upaya
yang dilakukan oleh masyarakat dan atau pemerintah untuk membantu anak usia
dini dalam mengembangkan potensinya secara holistik baik aspek pendidikan, gizi
maupun kesehatan”.
Dari
beberapa pernyataan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu jenjang pendidikan, baik formal
(sekolah), nonformal (lingkunga) maupun informal (keluarga) sebelum pendidikan
dasar dalam kerangka Sistem Pendidikan Nasional yang diarahkan pada pembinaan
potensi anak usia 0 – 6 atau 8 tahun agar memiliki kesiapan jasmani dan rohani secara
utuh sebagai dasar untuk perkembangan selanjutnya.
Memperbincangkan PAUD sebenarnya sudah dipikirkan
sejak lama oleh Ki Hajar Dewantara. Persisnya, Bapak Pendidikan Indonesia itu
membatasi usia dini adalah anak-anak di bawah 7 tahun.
Ki Hajar menamai sekolah anak-anak itu dengan nama Taman Indria yang berdiri di
Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922. Label “Indria” dipakai, karena Ki Hajar
mencermati bahwa anak usia di bawah 7 tahun lebih dominan belajar menggunakan
indera (indria).
Gagasan
dan penamaannya kalau dicermati lebih pas ketimbang lahirnya Kindergarten yang
dirintis oleh Friedrich Frobel (1782-1852). Ahli pendidikan Jerman itu
mendirikan taman kanak-kanak pertama di dunia pada tahun 1837.
Memang,
penamaan “kinder” yang berarti anak-anak, dan “garten” yang berarti taman, yang
pada akhirnya kemudian diadopsi oleh hampir seluruh negara di dunia, termasuk
Indonesia dengan menggunakan istilah Taman Kanak-Kanak (TK).
Begitu
pula dalam perkembangannya, ternyata Taman Indria di lingkungan Taman Siswa
tidak berkembang bagus. Sementara itu TK tumbuh subur di banyak kota di
Indonesia. Data Depdiknas hingga akhir 2006 mencatat jumlah TK sebanyak 54.742
buah. Dari jumlah itu hanya 1,3% atau 708 TK milik pemerintah. Selebihnya,
54.034 (98,7%) diselenggarakan swasta.
Jauh
sebelum konsep pendidikan anak usia dini (PAUD) ditemukan, dunia pendidikan
kita sesungguhnya telah mengenal konsep pendidikan anak prasekolah. Dasar pemikirannya banyak mengadopsi tokoh-tokoh
pendidikan dari Islam dan Barat yang mengupas persoalan pendidikan anak
prasekolah. Pendidikan anak prasekolah sendiri merupakan konsep pendidikan yang
mencoba menggali dan mencari model pendidikan yang tepat untuk anak di usia
dini.
Penyelenggaraan pendidikan anak prasekolah telah
diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 2 Tahun
1989 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Anak
Prasekolah. Disahkannya UUSPN tersebut oleh pemerintah sebagai bentuk
kepeduliannya akan arti masa prasekolah (3 – 6 tahun) yang merupakan pijakan
awal untuk mengenalkan pendidikan kepada anak usia dini.
Lebih dari 15 tahun konsep pendidikan anak prasekolah
berjalan hingga akhirnya menemukan cara pandang baru tentang pendidikan anak
yaitu dengan konsep PAUD pada tahun 2003.
Gagasan PAUD pada dasarnya ingin mempertajam kembali
konsep pendidikan anak prasekolah sebagai pandangan awal sesuai dengan konteks tuntutan
zaman dan dunia
internasional.
Dunia
memang menghendaki semua negara memperhatikan pendidikan anak usia dini.
Setidaknya sejak pertemuan di Jomtien, Thailand pada tahun 1990. Forum itu
melahirkan Deklarasi Jomtien yang isinya antara lain menyatakan pentingnya
pendidikan untuk semua mulai dari kandungan sampai liang lahat.
Konsep
Pendidikan Untuk Semua (Education For All) lebih ditegaskan lagi dalam pertemuan
Dakkar, Senegal, pada tahun 2000. Hasilnya antara lain menyatakan komitmen
untuk “memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak
usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung”.
Kemudian
muncul Deklarasi “A World Fit for Children” di New York, Amerika Serikat, pada
tahun 2002. Forum ini menekankan pada perlunya penyediaan pendidikan yang
berkualitas serta millenium development goals yang di antaranya meliputi
penekanan kepada pemberlakuan pendidikan dasar yang universal.
Di
Indonesia, PAUD baru berkembang dalam satu dekade terakhir, berawal dari
tawaran Bank Dunia melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
pada tahun 1996. Uji coba program PAUD melibatkan Depkes dan Depdiknas.
Kala
itu, PAUD dikembangkan oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat di bawah Ditjen
PLSP. Program awal PAUD itu dilaksanakan di 12 Kabupaten di provinsi Jawa
Barat, Bali dan Sulawesi Selatan.
Gagasan
dan program PAUD terus berkembang sampai pada tahun 2003 mendapat landasan secara yuridis formal yakni diatur
dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3.
Landasan
Penyelenggaraan PAUD
Yang menjadi landasan penyelenggaraan PAUD dapat
dilihat dalam empat aspek, yakni secara filosofis, yuridis, teoritis/keilmuan
dan empiris. Dalam kaitan ini
berdasarkan beberapa sumber dapat dikemukakan sebagai berikut :
a.
Landasan
Filosofis
Sebagaimana
sebuah pepatah mengatakan bahwa bila menginginkan bangunan yang kuat, teguh dan
mantap, maka haruslah dibangun di atas fondasi atau landasan yang kuat pula.
Bila hal ini kita aplikasikan dalam bidang pendidikan, maka setiap kegiatan
pendidikan senantiasa memiliki landasan filosofis yang jelas sebagai fondasi,
pegangan dan arah proses penyelenggaraannya.
Berkaitan
dengan konteks tersebut, Tim Pengembang Pusat
Kurikulum Direktorat PAUD Direktorat Pembinaan TK dan SD UNJ Depdiknas
(2007) mengemukakan :
Pendidikan merupakan suatu upaya untuk
memanusiakan manusia. Artinya melalui proses pendidikan diharapkan terlahir
manusia-manusia yang baik. Standar manusia yang “baik” berbeda antar
masyarakat, bangsa atau negara, karena perbedaan pandangan filsafah yang
menjadi keyakinannya. Perbedaan filsafat yang dianut dari suatu bangsa akan
membawa perbedaan dalam orientasi atau tujuan pendidikan.
Implementasinya,
sekalipun sudah banyak negara-negara dengan pembangunan di bidang pendidikannya
sudah dinilai maju, namun kita tidak dapat begitu saja menirunya secara
dangkal. Hal ini dikarenakan secara fundamental memang terdapat perbedaan, sekalipun
dalan aspek-aspek teknis operasional kita dapat mengambilnya dalam arti
akulturatif dan dalam filter filosofis bangsa kita sendiri.
Dalam
hubungan tersebut selanjutnya Tim Pengembang Pusat
Kurikulum Direktorat PAUD Direktorat Pembinaan TK dan SD UNJ Depdiknas
(2007) menjelaskan bahwa :
Bangsa Indonesia yang menganut falsafah
Pancasila berkeyakinan bahwa pembentukan manusia Pancasilais menjadi orientasi
tujuan pendidikan yaitu menjadikan manusia indonesia seutuhnya.Bangsa Indonesia
juga sangat menghargai perbedaan dan mencintai demokrasi yang terkandung dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang maknanya “berbeda tetapi satu.” Dari
semboyan tersebut bangsa Indonesia juga sangat menjunjung tinggi hak-hak
individu sebagai mahluk Tuhan yang tak bisa diabaikan oleh siapapun. Anak
sebagai mahluk individu yang sangat berhak untuk mendaptkan pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Dengan pendidikan yang diberikan
diharapkan anak dapat tumbuh sesuai dengan potensi yang dimilkinya, sehingga
kelak dapat menjadi anak bangsa yang diharapkan. Melalui pendidikan yang
dibangun atas dasar falsafah pancasila yang didasarkan pada semangat Bhineka
Tunggal Ika diharapkan bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang tahu akan hak
dan kewajibannya untuk bisa hidup berdampingan, tolong menolong dan saling
menghargai dalam sebuah harmoni sebagai bangsa yang bermartabat.
Atas dasar landasan
filosofis tersebut di atas, maka penyelenggaraan pendidikan di Indonesia,
termasuk PAUD, harus dikembangkan melalui suatu pengembangan kurikulum
pendidikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan nasional senantiasa
merupakan pengejawantahan dari pandangan filosofis bangsa dan negara Indonesia.
b.
Landasan
Yuridis
Indonesia merupakan negara hukum dimana semua kegiatan
harus memiliki landasan yuridis yang jelas, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam konteks penyelenggaraan PAUD ini
landasan yuridis digunakan sebagai dasar hukum kerangka kebijakan dan
pelaksanaan PAUD.
Berdasarkan sejumlah sumber yang penulis telusuri dapat
dikemukakan beberapa dasar hukum penyelenggaraan PAUD antara lain :
1)
Pembukaan
UUD 1945 alinea IV yang menyatakan bahwa salah satu tujuan kemerdekaan adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa.
2)
Amandemen
UUD 1945 pasal 28 B ayat 2 dinyatakan bahwa, ”Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.
3)
Amandemen
UUD 1945 Pasal 28 C dinyatakan bahwa, ”Setiap anak berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
4)
UU
No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, pada pasal 9 ayat (1) dinyatakan bahwa, ”Setiap
anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”.
5)
UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional antara lain :
(a) Pasal 1, Butir 14 dinyatakan bahwa ”Pendidikan Anak
Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir
sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”.
(b) Pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini dinyatakan
bahwa :
(1)Pendidikan Anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang
pendidikan dasar,
(2)Pendidkan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui
jalur pendidkan formal, non formal, dan/atau informal,
(3)Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal: TK,
RA, atau bentuk lain yang sederajat,
(4)Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non formal:
KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat,
(5)Pendidikan usia dini jalur pendidikan informal:
pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan, dan
(6)Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
6)
Peraturan
Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan :
(a) Pasal 29 ayat (1) bahwa : Pendidik pada pendidikan anak
usia dini memiliki :
(1) kualifikasi akademik minimum difloma empat (D-IV) atau
sarjana (S.1).
(2) latar belakang pendidikan tinggi di bidang
pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, atau psikologi; dan
(3) serfikatprofesi
guru untu PAUD.
(b) Pasal 30 ayat (1) bahwa : Pendidik pada TK/RA
sekurang-kurangnya terdiri atas guru kelas yang penugasannya ditetapkan oleh
masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan.
(c) Pasal 38 ayat (1) bahwa : Kriteria untuk
menjadi kepala TK/RA meliputi :
(1) Berstatus
sebagai guru TK/RA;
(2) Memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku;
(3) Memiliki
pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun di TK/RA; dan
(4) Memiliki kemampuan kepemimpinan dan kewirausahaan di
bidang pendidikan.
Selain landasan yuridis yang merupakan kebijakan nasional
terdapat pula dasar yuridis dalam skala internasional berupa komitmen atau
peraturan maupun konvensi internasional yang terkait dengan hak asasi anak yang
diantaranya telah diratifikasi, yakni :
1)
CRC-20
November 1989, pemenuhan hak-hak dasar anak.
2)
Deklarasi
Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), pada pasal 26 dinyatakan bahwa, ”Setiap orang
berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus cuma-Cuma, setidak-tidaknya
untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan dasar diperlukan
untuk menjaga perdamaian”. (Idenk, 2004).
3)
Deklarasi
Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Education for All Declaration) pada
konferensi UNESCO di Thailand tahun 1990, dimana Indonesia telah ikut
menandatanganinya. Deklarasi ini menjadi komitmen bersama untuk menyediakan
pendidikan dasar yang bermutu dan non-diskriminatif di masing-masing negara.
4)
The
World Fit for Children 8 Mei 2002 tentang memberikan kesempatan yang lebih luas
bagi anak untuk berpartisipasi dalam pengambilan dan pemenuhan hak-hak dasar
anak.
5)
Konferensi
Internasional di Dakkar, Senegal tahun 2000 tentang Pendidikan Untuk Semua :
(a) Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan
dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan
kurang beruntung.
(b) Menjamin bahwa
menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam
keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan
menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik.
(c) Menjamin bahwa
kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses
yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang
sesuai.
(d)Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa
menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada
pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa.
(e) Menghapus disparitas gender dalam pendidikan
dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam
pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas
akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik.
(f) Memperbaiki semua
aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil-hasil
belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam
keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting.
6)
United
Nation Milenium Declaration 8 Desember 2008 tentang perlunya nilai-nilai dasar
yang bersifat universal yang harus ditanamkan pada anak-anak.
b.
Landasan
Teoritis/Keilmuan
Landasan keilmuan yang mendasari
pentingnya pendidikan anak usia dinii didasarkan kepada beberapa penemuan atau
hasil penelitian para ahli tentang tumbuh kembang anak. Dalam kaitan ini ada
beberapa hasil penelitian yang dapat dijadikan landasan keilmuan, yaitu :
1)
Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak
dapat dilepaskan kaitannya dengan perkembangan struktur otak. Dalam konteks ini
Menurut Wittrock (Clark, 1983), ada tiga wilayah perkembangan
otak yang semakin meningkat, yaitu pertumbuhan serabut dendrit, kompleksitas
hubungan sinapsis, dan pembagian sel saraf. Peran ketiga wilayah otak tersebut sangat penting untuk pengembangan
kapasitas berpikir manusia. Sejalan dengan itu Teyler mengemukakan bahwa pada
saat lahir otak manusia berisi sekitar 100 milyar hingga 200 milyar sel saraf.
Tiap sel saraf siap berkembang sampai taraf tertinggi dari kapasitas manusia
jika mendapat stimulasi yang sesuai dari lingkungan. (Tim
Pengembang Pusat Kurikulum Direktorat PAUD Direktorat Pembinaan TK dan SD UNJ
Depdiknas, 2007). Ini menunjukkan selama 9 bulan masa kehamilan paling
tidak setiap menit dalam pertumbuhan otak diproduksi 250 ribu sel otak. Setiap
sel otak saling terhubung dengan lebih dari 15 ribu simpul elektrik kimia yang
sangat rumit sehingga bayi yang berusia 8 bulan pun diperkirakan memiliki
biliunan sel saraf di dalam otaknya. Sel-sel saraf ini harus rutin distimulasi
dan didayagunakan supaya terus berkembang jumlahnya. (Wiratih Rahayu,
2009).
2) Jean Piaget (1972)
mengemukakan tentang bagaimana anak belajar:“ Anak belajar melalui interaksi dengan
lingkungannya. Anak seharusnya mampu melakukan percobaan dan penelitian
sendiri. Guru bisa menuntun anak-anak dengan menyediakan bahan-bahan yang
tepat, tetapi yang terpenting agar anak dapat memahami sesuatu, ia harus
membangun pengertian itu sendiri, dan ia harus menemukannya sendiri.” Sementara
Lev Vigostsky meyakini bahwa : pengalaman interaksi sosial merupakan hal yang
penting bagi perkembangan proses berpikir anak. Aktivitas mental yang tinggi
pada anak dapat terbentuk melalui interaksi dengan orang lain. Pembelajaran
akan menjadi pengalaman yang bermakna bagi anak jika ia dapat melakukan sesuatu
atas lingkungannya. Howard Gardner menyatakan tentang kecerdasan jamak
dalam perkembangan manusia terbagi menjadi: kecerdasan bodily kinestetik,
kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan naturalistik,
kecerdasan logiko – matematik, kecerdasan visual – spasial, kecerdasan musik. (Tim
Pengembang Pusat Kurikulum Direktorat PAUD Direktorat Pembinaan TK dan SD UNJ
Depdiknas, 2007)
3)
Pada
usia rawan saat anak mulai banyak bergerak, yaitu usia 6 bulan, angka
kecelakaan dapat berkurang sebanyak 80% bila mereka diberi rangsangan dini. (Wiratih
Rahayu, 2009).
4)
Pada umur 3 tahun anak-anak akan mempunyai IQ
10 sampai 20 poin lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak pernah mendapat
stimulasi. (Wiratih Rahayu, 2009).
5) Glen
Doman, seorang ahli perkembangan anak,
menyatakan bahwa perkembangan otak manusia yang paling pesat terjadi pada usia
0 sampai 7 tahun. Perkembangan otak manusia pada usia dini bisa dicapai secara
maksimal apabila diberikan rangsangan yang tepat. (http://balikidz.com).
6)
Pada usia 12 tahun mereka tetap
memperoleh prestasi yang baik dan pada usia 15 tahun tingkat intelektual mereka
semakin bertambah. Ini memberikan gambaran bahwa pendiidkan sejak dini
memberikan efek jangka panjang yang sangat baik. Sebaliknya, bila anak
mengalami stress pada usia-usia awal pertumbuhannya akan berpengaruh juga pada
perkembangan otaknya. Anak yang dibesarkan di dalam lingkungan yang minim
stimulasi, berkurang kecerdasannya selama 18 bulan yang tidak mungkin
tergantikan. (Wiratih Rahayu, 2009).
7) Otak
manusia terdiri dari 2 belahan, kiri (left hemisphere) dan kanan (right
hemisphere) yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum.
Kedua belahan otak tersebut memiliki fungsi, tugas dan respons berbeda dan
harus tumbuh dalam keseimbangan.Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk
berfikir rasional, analitis, berurutan, linier, saintifik seperti membaca,
bahasa dan berhitung. Sedangkan belahan otak kanan berfungsi untuk
mengembangkan imajinasi dan kreativitas. Bila pelaksanaan pembelajaran di PADU
memberikan banyak pelajaran menulis, membaca, bahasa dan berhitung seperti yang
cenderung terjadi dewasa ini, akan mengakibatkan fungsi imajinasi pada belahan
otak kanan terabaikan. Sebaiknya dalam usaha memekarkan segenap kecerdasan
anak, pembelajaran pada anak usia dini ditunjukkan pada pengembangan kedua
belahan otak tersebut secara harmonis. (Wiratih Rahayu, 2009).
8)
Anak dalam proses tumbuh kembangnya
sangat dipengaruhi oleh orang lain dan lingkungannya. Sehingga dalam proses
awal belajar anak akan menemui kendala begitu juga dengan pola asuh orangtua.
Inilah yang disebut dengan ketidakmampuan belajar (learning disability).
Padahal menurut Strauss dan Werner (1942) yang pernah melakukan
penelitian ketidakmampuan belajar pada anak usia dini yang dikutip (Lidia,
2003) bukan karena seorang anak tidak mampu mengerjakan tugas-tugasnya,
melainkan berawal dari adanya kerusakan sistem saraf sehingga menghambat proses
belajar. (Nazhori Author, 2009).
Dengan
demikian perkembangan kemampuan berpikir manusia sangat berkaitan dengan
struktur otak, sedangkan struktur otak itu sendiri dipengaruhi oleh stimulasi
dan kesehatan dan gizi yang diberikan oleh lingkungan sehingga peran pendidikan
yang sesuai bagi anak usia dini sangat diperlukan.
9)
Para ahli psikologi berpendapat bahwa
usia dini sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan intelektual anak terjadi sangat
pesat dan tahun-tahun awal kehidupan anak. Sekitar 50% variabilitas kecerdasan
orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30%
berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau
akhir dasawarsa kedua. Fakta lain ditemukan bahwa pada saat lahir, otak bayi
sudah memiliki sekitar 100 miliar sel otak atau neuron atau telah mencapai
jumlah 75% dari jumlah sel-sel otak manusia dewasa. Perkembangan otak menjadi
sempurna melalui pengalaman dari hari ke hari yang dialami oleh anak. Saat-saat
kritis masa penyempurnaan itu terjadi sejak masa konsepsi hingga usia 6 tahun.
(Dirjen Mandikdasmen, 2009).
c. Landasan
Empiris
Berkaitan
dengan persoalan PAUD terdapat beberapa data empiris yang dapat menjadi landasan penyelenggaraannya,
antara lain sebagaimana dikemukakan oleh Wiratih Rahayu (2009) sebagai
berikut :
1)
Sensus
penduduk 2003, diperkirakan jumlah anak usia dini di Indonesia adalah 26,17
juta jiwa. Namun yang belum terlayani PAUD masih terdapat sekitar 19,01 juta
(72,64%).
2)
Laporan
UNDP tentang Human Development Index (HDI) pada tahun 2002, Indonesia menempati
peringkat 110 dari 173 negara dan 111 pada tahun 2004, jauh di bawah negara
ASEAN lainnya seperti Malaysia (59), Philipina (77),Thailand (70).
3)
Berdasarkan
hasil studi ”kemampuan membaca” siswa tingkat SD yang dilaksanakan oleh
International Educatinal Achevement (IEA) diketahui bahwa siswa SD di Indonesia
berada di urutan ke-38 dari 39 negara.
4)
Hasil
penelitian The Third International Mathematic and Science Study Repeat tahun
1999, kemampuan siswa Indonesia di bidang IPA berada diurutan ke 32 dari 38
negara yang diteliti dan di bidang matematika berada di urutan ke 34 dari 38
negara yang diteliti.
5)
Berdasarkan
piramida pendidikan Depdiknas tahun 1999/2000 yaitu rendahnya kualitas calon
siswa didasarkan pada satu kenyataan bahwa selama ini perhatian kita terhadap
pendidikan anak usia dini masih sangat minim.
6)
Menurut
hasil studi UNESCO bahwa angka
partisipasi pendidikan anak usia dini di Indonesia tercatat sebagai salah satu
yang terendah di dunia, yakni 20% yang terbilang rendah dibanding negara-negara
berkembang di belahan dunia lain. Bahkan dengan Vietnam yang belum lama
menikmati hidup damai pun, Indonesia jauh tertinggal. Angka partisipasi di
Vietnam mencapai sekitar 43% (Jawa Pos, 2006). Begitu pula angka yang
diterbitkan oleh pemerintah tak terpaut jauh dari catatan UNESCO. Menurut data
Balitbang Depdiknas, dari sekitar 28,2 juta anak usia 0 – 6 tahun, baru 7,2
juta atau sekitar 25,3% yang memperoleh layanan PAUD (Warta Plus, 2006).
4.
Tujuan
PAUD
PAUD merupakan
suatu jenjang pendidikan yang merupakan bagian integral dari Sistem Pendidikan
Nasional. Oleh karena itu tujuan PAUD harus sejalan dan merupakan bagian dari
upaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Dalam UU No. 20
tahun 2003 tentang Sisdiknas pada pasal 3 dinyatakan bahwa:
Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Adapun PAUD, secara
umum tujuannya adalah untuk ”mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini
sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya:
(Tim
Pengembang Pusat Kurikulum Direktorat PAUD Direktorat Pembinaan TK dan SD UNJ
Depdiknas, 2007).
Menurut Wikipedia bahwa tujuan
penyelenggaraan PAUD dibedakan dalam dua kategori yaitu :
a. Tujuan utama: untuk membentuk anak
Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan
tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam
memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
b. Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan
anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Menurut Maimunah Hasan (2009) bahwa arah utama
PAUD menitikberatkan pada peletakan dasar-dasar ini :
a.
Pertumbuhan dan
perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar).
b.
Kecerdasan (daya
fikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual).
c.
Sosio-emosional
(sikap dan perilaku serta agama), bahasa dan komunikasi yang disesuaikan dengan
keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Eli Tohonan Tua Pane (2008) merumuskan tujuan
PAUD secara umum sebagai berikut :
Pertama, membantu anak untuk terus belajar sepanjang
hayat guna menguasai keterampilan hidup. Pembelajaran bagi anak usia dini bukan berorientasi pada
sisi akademis saja melainkan menitikberatkan kepada peletakan dasar ke arah
pertumbuhan dan perkembangan fisik, bahasa, intelektual, sosial-emosi serta
seluruh kecerdasan (Kecerdasan Jamak). Dengan demikian, PAUD yang
diselenggarakan harus dapat mengakomodasi semua aspek pekembangan anak dalam
suasana yang menyenangkan dan menimbulkan minat anak.
Kedua, mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai
persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Selanjutnya Eli
Tohonan Tua Pane (2008) memberikan rumusan tujuan PAUD yang utama berdasarkan
tinjauan aspek didaktis psikologis bahwa :
Pertama, menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan agar mampu menolong diri sendiri (self help), yaitu mandiri dan
bertanggung jawab terhadap diri sendiri seperti mampu merawat dan menjaga
kondisi fisiknya, mampu mengendalikan emosinya dan mampu membangun hubungan
dengan orang lain.
Kedua, meletakkan dasar-dasar tentang bagaimana seharusnya
belajar (learning how to learn). Hal ini sesuai dengan perkembangan paradigma
baru dunia pendidikan melalui empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh
UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning to
live together yang dalam implementasinya di lembaga PAUD dilakukan melalui pendekatan
bermain sambil belajar (learning by playing), belajar yang menyenangkan (joyful
learning) serta menumbuh-kembangkan keterampilan hidup (life skills) sederhana sedini
mungkin.
Pendidikan
anak usia dini memiliki fungsi utama mengembangkan semua aspek perkembangan
anak, meliputi perkembangan kognitif, bahasa, fisik (motorik kasar dan halus),
sosial dan emosional. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
yang sangat kuat antara perkembangan yang dialami anak pada usia dini dengan
keberhasilan mereka dalam kehidupan selanjutnya. Misalnya, anak-anak yang hidup
dalam lingkungan (baik di rumah maupun di KB atau TK) yang kaya interaksi
dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar akan terbiasa mendengarkan dan
mengucapkan kata-kata dengan benar, sehingga ketika mereka masuk sekolah,
mereka sudah mempunyai modal untuk membaca. (http://www.whitehouse .gov/infocus/earlychild-hood/sect2.html)
Satryo
Soemantri Brodjonegoro (2007) mengemukakan bahwa sehubungan dengan fungsi-fungsi yang telah dipaparkan tersebut,
maka tujuan pendidikan anak usia dini dapat dirumuskan sebagai berikut :
a)
Memberikan pengasuhan dan pembimbingan yang
memungkinkan anak usia dini tumbuh dan berkembang sesuai dengan usia dan
potensinya.
b)
Mengidentifikasi penyimpangan yang mungkin
terjadi, sehingga jika terjadi penyimpangan, dapat dilakukan intervensi dini.
c)
Menyediakan pengalaman yang beranekaragam dan
mengasyikkan bagi anak usia dini, yang memungkinkan mereka mengembangkan
potensi dalam berbagai bidang, sehingga siap untuk mengikuti pendidikan pada
jenjang sekolah dasar (SD).
Tujuan diadakannya kegiatan pendidikan ini untuk
mengembangkan potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dari sini kita sudah bisa memahami
bahwa PAUD adalah salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik
dan kecerdasan: daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa/komunikasi,
sosial, sehingga di usia mereka, membiarkan bermain sesuai dengan keinginan
yang menurut mereka menarik dan menantang selagi tidak membahayakan mereka.
Orang tua hanya melihat dan menggontrol aktivitas anak didik kita yang sedang
aktif.
5.
Penyelenggaraan
PAUD (Ruang Lingkup, Penyelenggara, Pembelajaran)
Penyelenggaraan
PAUD secara global garis beras dinyatakan dalam pasal 28 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional antara
lain :
(1) Pendidikan Anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang
pendidikan dasar,
(2) Pendidkan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui
jalur pendidkan formal, non formal, dan/atau informal,
(3) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal: TK,
RA, atau bentuk lain yang sederajat,
(4) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non formal:
KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat,
(5) Pendidikan usia dini jalur pendidikan informal:
pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan, dan
(6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Berdasarkan
pasal 28 tersebut maka dapat disimpulkan tentang penyelenggaraan PAUD adalah
sebagai berikut :
a. Jalur
formal yang berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Atfal (RA) atau bentuk
lain yang sederajat dan diselenggarakan oleh pihak pemerintah ataupun pihak
swasta.
b. Jalur
nonformal yang berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA) atau
bentuk lain yang sederajat.
c. Jalur
informal yang berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang
diselenggarakan oleh lingkungan.
Adapun
yang menjadi sasaran atau peserta didik dari PAUD ini dijelaskan pada pasal 1
butir 14 bahwa “
Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Sementara
menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya
di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun, dengan pengkategorian menurut Wikipedia
(2009) adalah sebagai berikut :
a.
Infant (0-1 tahun).
b.
Toddler (2-3 tahun).
c.
Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun).
d.
Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun).
Tenaga
kependidikan PAUD sekurang-kurangnya terdiri dari kepala sekolah, wali kelas
dan guru/pendidik. Mengenai tenaga pendidik PAUD dinyatakan pada pasal 29 ayat
(1) UU No. 20/2003 bahwa :
Pendidik pada
pendidikan anak usia dini memiliki :
(1) kualifikasi akademik minimum difloma empat (D-IV) atau
sarjana (S.1).
(2) latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan anak usia dini, kependidikan
lain, atau psikologi; dan
(3) serfikatprofesi
guru untu PAUD.
Selanjutnya pada pasal 30 ayat (1)
UU No. 20/2003 disebutkan bahwa, “Pendidik
pada TK/RA sekurang-kurangnya terdiri atas guru kelas yang penugasannya
ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan”.
Pasal 38 ayat (1) UU No. 20/2003
menyatakan bahwa :
Kriteria untuk menjadi kepala TK/RA
meliputi :
(1) Berstatus
sebagai guru TK/RA;
(2) Memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku;
(3) Memiliki
pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun di TK/RA; dan
(4) Memiliki kemampuan kepemimpinan dan kewirausahaan di
bidang pendidikan.
Anak usia
dini belajar dengan caranya sendiri. Bermain erupakan cara belajar yang sangat penting bagi anak usia
dini. Sering guru dan orangtua mengajarkan anak sesuai dengan jalan pikiran orang dewasa, seperti
melarang anak untuk
bermain.
Akibatnya apa yang diajarkan orangtua sulit diterima anak dan banyak hal yang disukai oleh anak dilarang
oleh orangtua; sebaliknya banyak hal yang disukai orangtua tidak disukai anak. Untuk itu
orangtua dan guru anak usia dini perlu memahami hakikat perkembangan anak dan hakikat
PAUD agar dapat
memberi
pendidikan yang sesuai dengan jalan pikiran anak.
Berbagai
teori belajar pada anak seperti teori Piaget, Vygotsky, Montessori, Bandura, Case, Bruner, dan Smilansky
menjelaskan cara belajar anak dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Oleh karena itu teori
belajar tersebut perlu dipilih dan disesuaikan dengan karakteristk anak serta materi
ajarnya. Modalitas belajar anak
juga
berbeda-beda, sehingga cara anak belajar berbeda pula. Anak tipe auditif, misalnya, berbeda cara belajarnya
dengan tipe visual dan kinestetik. Untuk itu guru dan orangtua perlu memahami karakteristik anak agar
dapat memberi bantuan
belajar yang
paling tepat..
Kurikulum
PAUD bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi anak (the whole child) agar kelak
dapat berfungsi sebagai manusia yang utuh sesuai kultur, budaya, dan falsafah suatu bangsa.
Anak dapat dipandang sebagai individu yang baru mulai mengenal dunia. Ia belum mengetahui tatakrama,
sopan-santun, aturan, norma,
etika, dan
berbagai hal tentang dunia. Ia juga sedang belajar berkomunikasi dengan orang lain dan belajar memahami
orang lain.
Anak perlu
dibimbing agar mampu
memahami
berbagai hal tentang dunia dan isinya. Ia juga perlu dibimbing agar memahami berbagai fenomena alam dan
dapat melakukan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup di masyarakat.
Interaksi
anak dengan benda dan dengan
orang lain
diperlukan untuk belajar agar anak mampu mengembangkan kepribadian, watak, dan akhlak yang mulia. Usia
dini merupakan saat yang amat berharga untuk menenamkan nilai-nilai nasionalisme, kebangsaan,
agama, etika, moral, dan sosial
yang berguna
untuk kehidupannya dan strategis bagi pengembangan suatu bangsa.
Proses pembelajaran PAUD harus
bersifat terpadu (holistik) sebagai dikemukakan oleh Diah Harianti (2007)
sebagai berikut :
Pembelajaran bersifat holistik dan terpadu. Pembelajaran
mengembangkan semua aspek perkembangan, meliputi (1) moral dan nilai-nilai
agama, (2) sosial- emosional, (3) kognitif (intelektual), (4)
bahasa, (5) Fisik-motorik, (6) Seni. Pembelajaran bersifat terpadu
yaitu tidak mengajarkan bidang studi secara terpisah. Satu kegiatan dapat menjadi
wahana belajar berbagai hal bagi anak.
Dengan demikian program dan proses
pembelajaran PAUD harus bersifat utuh, integral, dan multidisipliner yang
dikemas dalam bentuk pembelajaran tematik yang harus dikembangkan oleh guru
dalam bentuk Satuan Kegiatan Mingguan (SKM) dan Satuan Kegiatan Harian (SKH).
Materi
pembelajaran PAUD juga amat variatif. Ada pendapat yang menyatakan bahwa PAUD hanya mengembangkan
logika berpikir, berperilaku, dan berkreasi. Adapula yang menyatakan bahwa PAUD juga mempersiapkan
anak untuk siap belajar
(ready to
learn); yaitu siap belajar berhitung, membaca, menulis.
Ada pula
yang menyatakan bahwa materi pembelajaran
bebas, yang penting PAUD mengembangkan aspek moral-agama, emosional, sosial, fisik-motorik,
kemampuan berbahasa, seni, dan intelektual. PAUD membimbing anak
yang premoral agar berkembang ke arah moral realism dan moral
relativism.
Pembelajaran
membimbing anak dari yang bersifat egosentris-individual, ke arah prososial, dan
sosial-komunal. Pembelajaran juga melatih anak menganal jati dirinya (self identity),
menghargai dirinya (self esteem), dan kemampuan akan dirinya (self efficacy).
Banyak
pertanyaan dari guru dan
orangtua
tentang bolehkan mengajarkan anak berhitung, membaca, dan menulis. Bukannya tidak boleh mengajarkan
semua itu, tetapi yang penting ialah anak sudah siap dan guru menggunakan cara-cara yang sesuai untuk
belajar anak.
Selain itu proses pembelajarannya
senantiasa bersifat menyenangkan, sebagaimana dijelaskan oleh Diah Harianti
(2007) bahwa :
Bermain sambil belajar, dimana esensi bermain
menjiwai setiap kegiatan pembelajaran amat penting bagi PAUD. Esensi bermain
meliputi perasaan senang, demokratis, aktif, tidak terpaksa, dan merdeka menjadi jiwa
setiap kegiatan. Pembelajaran hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga
menyenangkan, membuat anak tertarik untuk ikut serta, dan tidak terpaksa. Guru
memasukkan unsur-unsur edukatif dalam kegiatan bermain tersebut, sehingga anak secara
tidak sadar telah belajar berbagai hal.
Dengan demikian seorang guru PAUD
dituntut mampu menampilkan proses pembelajaran yang menyenangkan melalui
berbagai bentuk permainan. Hal ini sesuai dengan dunia anak sebagai dunia
bermain, akan tetapi dalam permainan tersebut tersirat misi dan target pendidikan.
Dengan perkataan lain bahwa proses
pembelajaran di PAUD harus nampak dalam bentuk berbagai permainan, anak merasa
sedang bermain, tetapi pada hakekatnya mereka sedang belajar.
-->
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (1993), Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta.
Departemen Agama RI, (1992), Al
Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta : Intermassa.
Forum PAUD Kab.
Bekasi, “Kerangka Dasar Kurikulum Pendidikan Usia Dini”, Website: http://www.komunitaspers.blog.dada.net/, [25 November
2009].
Handoko, D. Et al. (2008), Ketika Musim PAUD Nonformal Bersemi,
Pena Pendidikan.Com, [27 November 2009].
Harianti, D, (2007), Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum
PAUD, Jakarta : Depdiknas Balitbang Pusat Kueikulum.
Iskandarsyah, A. (2006), Remaja dan Permasalahannya, Perspektif
psikologi terhadap permasalahan remaja dalam bidang pendidikan (Makalah), Bandung : Fakultas Psikologi Universitas
Padjadjaran.
Jurnal Kajian Pendidikan Agama Islam – Ta’lim Vol. 6
No. 1 – 2008, Bandung : Jurusan MKDU FPIPS UPI Bandung.
Latifah, M. (2008), Karakteristik Remaja, Child
Development Copyright © 2009 All Rights Reserved. Hosted
by Edublogs, [29 November 2009].
Mataharieducare, (2009), Definisi Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD) menurut Wikipedia, http://id.wikipedia.org. [25 November 2009].
Mohammad Ali, (1992), Strategi
Penelitian Pendidikan, Bandung : Angkasa.
Nana Sudjana, (1991), Teori-Teori
Belajar Untuk Pengajaran, Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Purwanto, M. Ngalim, (1998), Ilmu
Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Qodi Azizi, A. (2003), Pendidikan Agama untuk Membangun Etika
Sosial, Semarang : Aneka Ilmu.
Rahael, R.,
Drs., M.Kes, (1999), Pendidikan seks bagi remaja dalam keluarga pada
masyarakat adat Sentani di Kehiran Desa Yoboi Kecamatan Sentani Kabupaten
Jayapura, ITB Central Library, [29 November 2009].
Slameto, (1991), Belajar dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya, Jakarta : Rineka Cipta.
Sudrajat, A.
(2008), Problema Masa Remaja, Copyright © 2007-2009 Akhmad Sudrajat : Lets
Talk About Educatiom, [29 November 2009].
Surakhmad, W. (1990), Pengantar
Penelitian Ilmiah (Dasar Metode Teknik), Bandung : Tarsito.
Tim Dosen PAI UPI Bandung, (2008), Islam
Tuntutan dan Pedoman Hidup, Bandung
: Value Press.
perde modelleri
ReplyDeletesms onay
VODAFONE MOBİL ÖDEME BOZDURMA
nft nasıl alınır
Ankara evden eve nakliyat
Trafik Sigortası
dedektor
web sitesi kurma
aşk kitapları
uc satın al
ReplyDeleteminecraft premium
yurtdışı kargo
lisans satın al
nft nasıl alınır
en son çıkan perde modelleri
en son çıkan perde modelleri
özel ambulans
Good content. You write beautiful things.
ReplyDeletemrbahis
hacklink
sportsbet
hacklink
sportsbet
taksi
mrbahis
korsan taksi
vbet
Success Write content success. Thanks.
ReplyDeletecanlı poker siteleri
betmatik
kıbrıs bahis siteleri
kralbet
deneme bonusu
betturkey
betpark