Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Peranan Guru
Oleh: Jajang Sulaeman, S.Pd.
1.
Pengertian Guru
Istilah “guru” memiliki pengertian yang begitu luas, sehingga
begitu banyak para ahli pendidikan yang memberikan batasan secara bervariasi
tergantung cara pandang dan titik tolak yang dipergunakannya. Namun demikian,
semua pengertian tersebut senantiasa memiliki esensi yang sama tentang hakikat
dari pengertian guru.
Secara umum dapat dikatakan bahwa guru adalah sosok orang yang
memiliki kelebihan, baik dalam hal ilmu pengetahuan maupun kepribadiannya, yang
berusaha secara sadar dan sengaja untuk mentransfer kelebihan tersebut kepada
satu atau beberapa orang yang menjadi muridnya. Pengertian ini lebih mengarah
pada pengertian secara sosiologis, dimana guru menjadi salah satu status sosial
dalam diferensiasi sosial. Selain itu pengertian itu lebih bersifat informal,
dimana setiap orang bisa meraih kedudukan sebagai guru, dengan syarat memiliki
kelebihan tertentu dan berkehendak mentransfer kelebihan itu kepada orang lain
yang menjadi muridnya.
Dalam pengertian yang formal, guru merupakan tenaga professional dalam bidang pendidikan dan pembelajaran. Dalam Undang-Undang RI Nomor : 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 39 ayat (2) dikemukakan bahwa guru adalah “tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat”.
Sehubungan dengan proses pembelajaran, istilah “guru” mengandung
pengertian sebagai salah satu unsur manusiawi yang menentukan bagi pelaksanaan
proses pembelajaran. Hal ini dikemukakan oleh Sardiman A.M., 1992 : 123, bahwa,
“Guru ialah komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar, yang ikut
berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang
pembangunan”.
Dari kedua pengertian di atas muncul pula sebutan atau istilah lain
dari guru. Terkait dengan tugas profesinya, maka guru sering juga disebut
sebagai pendidik, pengajar, pembimbing dan pelatih. Guru adalah pendidik
dengan tugas inti mendidik, yakni meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai
hidup (transfer of values). Guru adalah pengajar dengan tugas
pokok mengajar, yakni meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi (transfer of knowledge and technology). Guru adalah pembimbing
dengan tugas utama memberikan bimbingan, yakni memberikan pengarahan dan
tuntunan kepada siswa dalam proses pembelajaran. Guru adalah pelatih
dengan tugas inti memberikan latihan, yakni mengembangkan berbagai kecakapan
dan keterampilan kepada para siswa.
Dari pengertian di atas tersirat bahwa “guru” merupakan suatu
jabatan profesional yang memerlukan keahlian dan figur kepribadian yang khusus.
Oleh karena itu tidak semua orang dapat dengan mudah menjadi guru.
Secara filosofis istilah “guru” memiliki arti dan makna yang sangat
mendalam dan ideal. Istilah “guru” terbentuk dari dua kata, yakni “digugu”
dan “ditiru”. Digugu mengandung arti dan makna bahwa seorang guru harus
mampu menunjukkan segala perkataannya yang mengandung ilmu pengetahuan dan
kebajikan, sehingga layak dan harus digugu oleh orang lain. Perkataan guru
harus gugu, karena setiap perkataan guru adalah ilmu dan kebijakan yang dijamin
kebenaran dan kebaikannya. Ditiru mengandung arti dan makna bahwa segala sikap,
perilaku dan tindakan guru harus mencerminkan sesuatu yang patut untuk
diteladani oleh orang lain. Oleh karena itu, sosok guru bukan hanya orang yang
memiliki kualitas keilmuan, tetapi juga menunjukkan kualitas kepribadian yang
layak untuk ditiru.
Dalam cara pandang yang
lebih luas lagi dan lebih menitik beratkan pada esensinya, maka dikatakan pula
bahwa istilah “guru” itu mengandung pengertian yang mencakup segala sesuatu
yang dapat memberikan pengalaman belajar. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh A.
Kosasih Djahiri, 1992 : 11, bahwa, “Pengertian guru secara luas meliputi setiap
hal yang mampu memberikan pengalaman belajar pada manusia, maka karenanya dia
dapat berupa orang, hal-hal yang material (kebendaan) atau non-material seperti
keadaan, norma, aturan, dan lain-lain”. Dari pengertian yang lebih luas ini,
maka begitu banyak hal yang dapat
berperan sebagai guru. Dari perspektif inilah kemudian muncul bahwa pengalaman
adalah guru yang paling besar (experience is the big teacher).
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan, bahwa istilah
“guru” memiliki banyak pengertian, tergantung dari mana kita memandangnya.
Dalam penelitian ini istilah “guru” lebih ditekankan pada pengertian secara
formal, yakni suatu jabatan profesional dalam dunia pendidikan, sebagaimana
yang dimaksud dalam Undang-Undang Sisdiknas di atas.
2.
Guru Sebagai
Tenaga Profesional
Pada pembahasan tentang pengertian guru telah dikemukakan bahwa
istilah “guru” mengandung arti sebagai jabatan profesional. Oleh karena itu
pekerjaan guru adalah suatu profesi.
Berkaitan dengan pengertian profesi, Sardiman A.M., 1992 : 131,
mengemukakan bahwa :
“Secara umum
profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut di
dalam science dan teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk
diimplementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat. Pekerjaan
profesional akan senantiasa menggunakan teknik dan prosedur yang berpijak pada
landasan intelektual yang harus dipelajari secara sengaja, terencana dan
kemudian dipergunakan demi kemaslahatan orang lain”.
Sedangkan menurut Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia
(IPSI), Engkoswara, 1991 : 3-4, bahwa :
“Profesi adalah
suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (expertise) dari para
anggotanya. Artinya pekerjaan itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang
yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan
tersebut. Keahlian diperoleh melalui profesionalisasi yang dilakukan baik
sebelum seseorang menjalani profesi itu (pendidikan/latihan prajabatan) maupun
setelah menjalani suatu profesi (in-service training).”
Dari kedua pengertian di atas jelas, bahwa jabatan guru sebagai
suatu profesi tidak dapat diperoleh dengan mudah oleh sembarang orang.
Seseorang akan dapat menduduki profesi sebagai seorang guru harus melawati
suatu proses yang disebut dengan profesionalisasi. Dalam kaitan ini H. Djam’an
Satori, 1988 : 42, mengemukakan bahwa, “Profesionalisasi adalah upaya
sistematis untuk mengembangkan suatu pekerjaan/jabatan berdasarkan norma-norma
profesional dalam mengukur tingkat produktivitas, efektivitas dan efisiensi
pekerjaan”.
Proses profesionalisasi itu bisa dilakukan sebelum atau sesudah
seseorang menjalani suatu profesi. Adapun perbedaan dari keduanya dijelaskan
oleh Engkoswara, 1991 : 4, sebagai berikut :
“Jika dalam
masa pendidikan/pelatihan prajabatan itu profesionalisasi lebih banyak
ditentukan oleh lembaga dengan berpegang pada kaidah-kaidah akademik dan latihan yang
standar, maka setelah bekerja
profesionalisasi lebih banyak tergantung kepada setiap individu profesional tersebut – apakah
ia/mereka mau meningkatkan profesionalitasnya (skills yang ditampilkan) dan
profesionalismenya (komitmen pada profesi), apakah ia ma uterus belajar,
bergaul secara akrab dengan rekan sejawatnya untuk saling member dan menerima
dalam suatu iklim kesejawatan dan kebersamaan”.
Dengan demikian untuk menjadi guru yang profesional mesti mengikuti
proses profesionalisasi, sehingga dalam setiap sosok guru akan diperoleh
beberapa ciri utama profesi. Dalam rangkaian kegiatan seminar tentang
pendidikan profesional tenaga kependidikan yang diselenggarakan oleh FPS IKIP
Bandung dari bulan Juni sampai Oktober 1990 dimana berbicara sejumlah
ahli/profesional dalam bidang kedokteran, kekonsultanan, kemiliteran, nnovato,
wartawan, pendidikan, konseling dan pengelola pendidikan. Dari penyajian dan
pembahasan para profesional tersebut diperoleh beberapa kesimpulan tentang
ciri-ciri utama profesi, yaitu :
a.
Memiliki fungsi
dan signifikasi sosial yang krusial.
b.
Adanya tuntutan
penguasaan keahlian/keterampilan sampai tingkatan tertentu.
c.
Pemerolehan keahlian/keterampilan
pada butir b, bukan hanya dilakukan secara rutin, tetapi melalui pemecahan
masalah atau penanganan situasi kritis melalui penggunaan metode ilmiah.
d.
Suatu profesi
memiliki batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematis dan eksplisit.
e.
Penguasaan
profesi membutuhkan masa pendidikan yang relatif lama, pada jenjang perguruan
tinggi. Menurut Encyclopedia Americana No. 28, suatu jabatan atau pekerjaan
profesional, minimal mendapat pendidikan 4 tahun setelah SLTA.
f.
Proses
pendidikan yang ditempuh juga merupakan wahana bagi sosialisasi nilai-nilai
profesional di kalangan siswa/mahasiswa yang mengikutinya.
g.
Dalam
memberikan pelayanan kepada masyrakat/klien, seorang profesional berpegang
teguh kepada kode etik, yang pelaksanaannya dikontrol oleh organisasi profesi,
dan setiap pelanggaran kode etik dapat dikenakan sanksi.
h.
Anggota suatu
profesi mempunyai kebebasan untuk menetapkan judgementnya sendiri dalam
menghadapi atau memecahkan sesuatu dalam lingkup kerjanya.
i.
Tanggung jawab
profesional adalah komitmen kepada profesi berupa pelayanan sebaik-baiknya
kepada masyarakat/klien (pelaksanaan profesi sebaik-baiknya) dan praktek
profesional ini otonom dari campur tangan pihak luar.
j.
Sebagai imbalan
dari proses pendidikan dan latihannya yang lama dan komitmen kepada seluruh
jasa/pekerjaannya, seorang profesional mempunyai prestise yang tinggi di
masyarakat dan karenanya berhak mendapatkan imbalan yang layak. Engkoswara,
1992 : 5-6.
Sehubungan dengan profesionalisme seseorang, Wolmer dan Mills mengemukakan
bahwa :
Pekerjaan itu
baru dikatakan sebagai suatu profesi, apabila memenuhi kriteria atau
ukuran-ukuran sebagai berikut :
1.
Memiliki spesialisasi dengan latar belakang teori yang luas,
maksudnya :
a.
Memiliki pengetahuan umum yang luas.
b.
Memiliki keahlian khusus yang mendalam.
2.
Merupakan karier yang dibina secara organisatoris, maksudnya :
a.
Adanya keterikatan dalam suatu organisasi profesional.
b.
Memiliki otonomi jabatan.
c.
Memiliki kode etik jabatan.
d.
Merupakan karya bakti seumur hidup.
3.
Diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status
profesional, maksudnya :
a.
Memperoleh dukungan masyarakat.
b.
Mendapat pengesahan dan perlindungan hukum.
c.
Memiliki persyaratan kerja yang sehat.
d.
Memiliki jaminan hidup yang layak.
Pekerjaan sebagai guru merupakan suatu profesi, sehingga memerlukan
adanya profesionalisasi dalam pendidikan. Hal ini didasarkan pada beberapa
asumsi sebagaimana dikemukakan oleh Engkoswara, 1992 : 6-7, yang penulis
simpulkan sebagai berikut :
a.
Subjek pendidikan
adalah manusia dengan segala potensialnya untuk berkembang, sehingga pendidikan
harus dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yakni menghargai martabat manusia
yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi dan perasaan.
b.
Dalam melakukan
aktivitasnya, pendidikan dilakukan secara sadar dan bertujuan, jadi
intensional, tidak dilakukan secara random. Oleh karena ada unsur tujuan, maka
pendidikan menjadi normatif, diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai, baik yang
bersifat universal maupun nasional dan lokal yang menjadi acuan pelaku
pendidikan, yaitu pendidik dan peserta didik.
c.
Oleh karena
yang dihadapi oleh pendidik adalah manusia dengan segala teka-tekinya (enigma),
maka ada teori-teori pendidikan yang merupakan jawaban kerangka hipotesis
tentang bagaimana seharusnya pendidikan dilakukan.
d.
Dalam memandang
manusia, pendidikan bertolak dari asumsi yang positif tentang potensi manusia.
Potensi yang baik itulah yang harus dikembangkan, yang oleh Norton ,1977,
disebut sebagai “daimon”, yakni suatu potensi yang unggul pada diri
manusia (a potential axcellence in personhood). Pendidikan jadinya
merupakan usaha mengembangkan potensi manusia yang baik (educations as
development).
e.
Inti pendidikan
terjadi dalam prosesnya, yaitu situasi pendidikan yang memungkinkan terjadinya
dialog antara pendidik dan terdidik. Dialog memungkinkan terdidik untuk tumbuh
kea rah tujuan yang dikehendaki oleh pendidik yang selaras dengan nilai-nilai
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
f.
Tujuan utama
pendidikan terletak pada dimensi intrinsiknya, yakni menjadikan manusia sebagai
manusia yang baik.
Guru sebagai tenaga profesional dengan segala ciri, kriteria dan
persyaratannya akan membawa konsekuensi yang esensial terhadap program
pendidikan, terutama yang berkenaan dengan komponen tenaga kependidikan. Salah
satu konsekuensi itu di antaranya berkenaan dengan accountability dari program
pendidikan itu sendiri.
Sehubungan dengan akuntabilitas tersebut, maka guru dituntut
memiliki kualifikasi profesional yang lebih memadai. Secara garis besar ada
tiga tingkatan kualifikasi profesional guru sebagai tenaga profesional
kependidikan. Dalam hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sardiman A.M. 1992 :
133, yang penulis simpulkan sebagai berikut :
a.
Capable
personal, maksudnya guru diharapkan memiliki
pengetahuan, kecakapan dan keterampilan serta sikap yang lebih mantap dan
memadai, sehingga mampu mengelola proses belajar mengajar secara efektif.
b.
Guru sebagai innovator,
yakni sebagai tenaga kependidikan yang memiliki komitmen terhadap upaya
perubahan dan reformasi. Para guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan
dan keterampilan serta sikap yang tepat terhadap pembaharuan dan sekaligus
merupakan penyebar ide pembaharuan yang efektif.
c.
Guru sebagai developer,
yakni harus memiliki visi keguruan yang mantap dan luas perspektifnya. Guru
harus mau dan mampu melihat jauh ke depan dalam menjawab tantangan yang
dihadapi oleh sektor pendidikan sebagai suatu sistem.
Berdasarkan uraian di atas cukup memberikan gambarang tentang guru
sebagai tenaga profesional. Untuk dapat menjadi guru tidak bisa semabarang
orang, melainkan mesti orang yang telah melalui proses profesionalisasi,
sehingga memiliki pengetahuan, keahlian dan keterampilan dalam bidang
kependidikan. Di samping itu juga harus mampu memenuhi beberapa kriteria,
syarat serta memiliki ciri-ciri sebagai seorang profesional.
3.
Tugas dan
Fungsi Guru
Guru sebagai tenaga profesional harus mempunyai kemahiran khusus,
karena dalam pelaksanaannya akan dihadapkan pada tugas khusus. Dalam kaitan ini
Moh. Uzer Usman, 1990 : 4, mengemukakan, bahwa “Tugas guru sebagai profesi
meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan
mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan
pada siswa”.
Selanjutnya Sardiman A.M. 1992 : 135, memberikan penjelasan sebagai
berikut :
“Seorang
dikatakan sebagai guru tidak cukup “tahu” sesuatu materi yang akan diajarkan,
tetapi pertama kali ia harus merupakan seseorang yang memang memiliki
“kepribadian guru”, dengan segala ciri tingkat kedewasaannya. Dengan kata lain
bahwa untuk menjadi pendidik atau guru, seseorang harus berpribadi. Masalahnya
yang penting adalah mengapa guru itu dikatakan sebagai “pendidik”. Guru memang
seorang “pendidik”, sebab dalam pekerjaannya ia tidak hanya “mengajar”
seseorang agar tahu beberapa hal, tetapi juga melatihkan beberapa keterampilan
dan terutama sikap mental anak didik. “Mendidik” sikap mental seseorang tidak
cukup hanya “mengajarkan” sesuatu pengetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan itu
harus dididikkan, dengan guru sebagai idolanya”.
Dengan demikian cukup jelas bahwa guru bukan hanya bertugas
memberikan latihan keterampilan dan mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi yang
paling pokok adalah menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada peserta didik.
Dalam tugas yang terakhir inilah yang dirasakan cukup berat, dimana guru harus
mempu tampil sebagai figur pribadi yang layak untuk diteladani oleh peserta
didik pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Dari ketiga tugas pokok di atas, yakni mendidik, mengajar dan
melatih, maka dalam pelaksanaannya guru tidak lepas melakukan kegiatan
bimbingan. Oleh karena itu pula guru sering dikatakan berfungsi sebagai
pembimbing. Sehubungan dengan hal ini Sardiman A.M. 1992 : 138, menjelaskan :
“Membimbing
dalam hal ini dapat dikatakan sebagai kegiatan menuntun anak didik dalam
perkembangannya dengan jalan memberikan lingkungan dan arah yang sesuai dengan
tujuan pendidikan. Sebagai pendidik, guru harus berlaku membimbing, dalam arti
menuntun sesuai dengan kaidah yang baik dan mengarahkan perkembangan anak didik
sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan, termasuk dalam hal ini, yang penting
ikut memecahkan persoalan-persoalan atau kesulitan yang dihadapi anak didik. Dengan
demikian diharapkan dapat menciptakan perkembangan yang lebih baik pada diri
siswa, baik perkembangan fisik maupun mental”.
Bila kita teliti secara lebih mendalam dari uraian di atas terdapat
dua aspek penting dalam tugas guru ini, yakni ada aspek formal atau kedinasan
dan aspek moral atau dedikasi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sardiman
A.M. 1992 : 138, bahwa, “Guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan
pembimbing, minimal ada dua fungsi, yakni fungsi moral dan fungsi kedinasan”.
Kedua aspek atau fungsi tersebut harus homogen menjadi satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam menjalankan tugasnya, guru harus memiliki
dasar formal yang jelas serta dilandasi dengan jiwa dedikasi atau pengabdian
yang tinggi.
Tugas dan fungsi guru tidak terbatas hanya dalam hubungannya dengan
peserta didik di lingkungan pendidikan tertentu, tetapi guru juga memiliki
tugas dalam bidang kemanusiaan. Dalam konteks inilah guru dituntut mampu
menampilkan kepribadian yang unggul, sehingga masyarakat akan memandangnya
sebagai orang terhormat dan layak untuk dijadikan panutan dan teladan. Sosok
guru inilah yang akan mengantarkan pada pengertian mendalam bahwa guru adalah
orang yang layak untuk digugu dan ditiru.
4.
Peranan Guru
Istilah “guru” menunjukkan pada suatu status (kedudukan) seseorang
pada bidang pendidikan, yang di dalamnya terkandung hak-hak dan kewajiban yang
harus diperankan. Dengan perkataan lain, secara sosiologis istilah “guru”
merupakan suatu status sosial yang dapat dicapai oleh setiap orang melalui
usaha yang disengaja.
Soerjono Soenkanto, 1990 : 268, mengemukakan bahwa, “Peranan (role)
merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak
dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu
peranan.” Dengan demikian, yang dimaksud dengan peranan guru merupakan aspek
dinamis dari statusnya sebagai guru, yakni melaksanakan hak dan kewajibannya.
Sebagai aspek yang dinamis, peranan guru secara konkrit akan
terwujud dalam berbagai tindakan guru yang seluruh peranannya diarahkan pada
pendewasaan pribadi peserta didiknya. Menurut Wrightman yang dikutip oleh Moh.
Uzer Usman, 1990 : 1, dikemukakan bahwa, “Peranan guru adalah serangkaian
tingkah laku yang saling berkaitan, yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu
serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa
yang menjadi tujuannya.”
Sehubungan dengan peranan guru secara umum telah banyak dikemukakan
oleh ahli pendidikan. Di antaranya Sardiman A.M. 1992 : 158, mengemukakan
bahwa:
“Untuk
melaksanakan tugasnya secara operasional, maka guru memiliki beberapa peranan
antara lain sebagai : informatory, organisator, motivator, fasilitator,
mediator, konselor, evaluator. Dalam kaitan ini perlu diciptakan hubungan baik
antara guru dengan siswa termasuk pengembangan hubungan secara informal dan
contact hours”.
Prey Katz menggambarkan peranan guru sebagai komunikator, sahabat yang
dapat memberikan nasihat-nasihat, motivator sebagai pemberi inspirasi dan
dorongan, pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkah laku serta
nilai-nilai, orang yang menguasai bahan yang diajarkan. Sardiman A.M., 1992 :
141.
James W. Brown mengemukakan bahwa tugas dan peranan guru antara
lain : menguasai dan mengembangkan materi pelajaran, merencana dan
mempersiapkan pelajaran sehari-hari, mengontrol dan mengevaluasi kegiatan
siswa. Sardiman A.M., 1992 : 142.
Sedangkan Federasi dan Organisasi Guru Sedunia mengungkapkan bahwa
peranan guru di sekolah, tidak hanya sebagai transmitter dari ide tetapi juga
berperan sebagai transformer dan katalisator dari nilai dan sikap. Sardiman
A.M., 1992 : 142.
Berkenaan dengan Pendidikan Kewarganegaraan, A. Kosasih Djahiri,
1988 : 95, mengemukakan beberapa peranan guru yaitu :
1)
Perencana (instructional planner/developer).
2)
Pelaksana sub. 1 dan misi profesionalnya.
3)
Motivator, pemberi gairah, semangat dan dorongan untuk belajar.
4)
Pemberi hadiah (rewarder) ke arah peningkatan sub. 1 dan
kepuasan harga diri siswa.
5)
Evaluator, menilai tingkat keberhasilan dan kekurangan seluruh
komponen/aspek pengajarannya (bukan hanya hasil belajar).
6)
Administrator, pengelola administrasi akademik pelajarannya.
7)
Pengelola atau manager, yang mampu menangani, mengelola serta
menguasai kelasnya.
8)
Pengambil keputusan yang arif – bijaksana – objektif dan tepat
guna.
Dari beberapa pendapat di atas cukup memberikan suatu gambaran
bahwa salah satu peranan guru adalah sebagai motivator, dengan tugas sebagai
pemberi dorongan terhadap kegiatan belajar siswa secara optimal. Beberapa
peranan guru tersebut dapat penulis kemukakan secara rinci sebagai berikut :
a.
Informator
Dalam hal ini guru berperan sebagai pelaksana cara mengajar
informatif, laboratorium, studi lapangan dan sumber informasi kegiatan akademik
maupun umum. Dalam pada itu berlaku teori komunikasi yakni teori stimulus –
respons, teori dissonance – reduction, dan teori pendekatan fungsional.
b.
Organisator
Dalam hal ini guru berperan sebagai pengelola kegiatan belajar
mengajar, silabus/kurikulum, workshop, jadwal pelajaran, dan lain-lain.
Komponen-komponen yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar, semuanya
diorganisir sedemikian rupa, sehingga dapat mencapai efektivitas dan efisiensi
yang optimal.
c.
Motivator
Penjelasan secara teoritis tentang peranan guru sebagai motivator
akan dijelaskan secara tersendiri di depan.
d.
Direktor
Jiwa kepemimpinan bagi guru dalam peranan ini lebih dominan, dimana
ia harus mampu membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan.
e.
Inisiator
Guru dalam hal ini sebagai pencetus ide-ide dalam proses belajar.
Sudah barang tentu ide-ide itu merupakan ide-ide kreatif yang dapat dicontoh
oleh anak didiknya. Jadi termasuk pula dalam lingkup semboyan “ing ngarso sung
tulodo”.
f.
Transmitter
Dalam kegiatan belajar, guru juga akan bertindak selaku penyebar
kebijaksanaan pendidikan dan pengetahuan, terutama yang berkaitan dan penting
bagi perkembangan peserta didiknya.
g.
Fasilitator
Guru dalam hal ini harus mampu memberikan fasilitas atau kemudahan
dalam proses belajar mengajar. Misalnya saja dengan menciptakan suasana
kegiatan belajar yang sedemikian rupa, serasi dengan perkembangan siswa,
sehingga interaksi belajar mengajar akan berlangsung secara efektif. Hal ini
bergayut dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”.
h.
Mediator
Guru harus mampu berperan sebagai penengah dalam kegiatan belajar
siswa. Misalnya menengahi atau memberikan jalan keluar bila ada kesulitan yang
dihadapi siswa dalam belajar. Mediator juga diartikan sebagai penyedia media,
yakni bagaimana mengadakan, mengorganisasikan dan menggunakan media
pembelajaran.
i.
Evaluator
Dalam hal ini guru harus mampu merencanakan dan melaksnakan
penilaian secara utuh, komprehensif dan berkesinambungan berkenaan dengan
tingkat pencapaian proses pembelajaran. Penilaian ini bukan hanya mengukur
hasil belajar siswa, tetapi juga menilai produktivitas berbagai unsur proses
pembelajaran, termasuk cara mengajar guru. Dengan demikian hasil penilaian akan
berfungsi sebagai masukan, baik bagi guru, siswa, orang tua siswa dan siapapun
yang berpentingan.
5.
Peranan Guru
Sebagai Motivator
Proses pembelajaran merupakan kegiatan inti dalam pendidikan di
sekolah, dimana akan terjadi proses interaksi edukatif di antara berbagai
komponen pembelajaran. Proses tersebut dilakukan secara sadar dan sengaja (bertujuan)
untuk mengantarkan peserta didik kea rah kedewasaannya.
Dalam proses pembelajaran terdapat dua unsur manusiawi, yakni siswa
sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar, dalam proses
mana siswa merupakan subjek utamanya.
Suatu proses pembelajaran harus ditandai oleh adanya aktivitas
siswa secara aktif, sedangkan guru berperan sebagai pembimbing yang berusaha
membina dan memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi yang terarah.
Dalam hubungan ini Sardiman A.M. 1992 : 142, mengemukakan bahwa :
“Peranan guru
sebagai motivator ini penting artinya dalam rangka meningkatkan kegairahan dan
pengembangan kegiatan belajar siswa. Guru harus dapat merangsang dan memberikan
dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan
swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas), sehingga akan terjadi
dinamika di dalam proses belajar mengajar”.
Dalam peranannya sebagai motivator, seorang guru secara profesional
harus mampu membina, meningkatkan dan mengembangkan motivasi belajar siswa.
Keterlaksanaan dan keberhasilan dari peranan ini akan menjadi suatu indikator
penting dari kedudukannya secara profersional serta akan menentukan aktivitas
dan keberhasilan belajar siswa.
Dalam konteks proses pembelajaran PKn sebagai pendidikan nilai,
moral dan norma, A. Kosasih Djahiri, 1989 : 24, mengemukakan :
“Guru harus
pandai mendorong motivasi siswa untuk terbuka dan kreatif, responsif,
transaktif, interaktif, evaluatif. Seluruh potensi atau organism diri siswa
harus berdialog baik secara internal maupun dengan potensi lainnya. Sehingga
proses belajar nilai, moral dan norma dirasakan menarik dan merangsang dan
mereka merasakan turut terlibat melakoni apa yang disampaikan guru”.
Dengan demikian, proses pembelajaran yang sering dikatakan bersifat
teoritis dan menjenuhkan akan mampu menjadi suatu proses pembelajaran yang
kontekstual serta membangkitkan motivasi peserta didik untuk belajar secara
optimal. Hal ini akan mungkin terjadi apabila guru benar-benar mampu
menjalankan peranannya sebagai motivator secara maksimal.
No comments:
Post a Comment