Oct 7, 2011

STRATEGI PEMBELAJARAN NILAI
Oleh: Jajang Sulaeman, S.Pd.




A.    Makna Strategi Pembelajaran
           1.      Pengertian Pembelajaran

Perubahan wawasan tentang hahekat belajar dan mengajar mendorong pula terjadinya perubahan penggunaan istilah  yang berkait dengan terminologi mengajar.  Mengajar-Pengajaran dalam kurikulum 1975, dan 1984 digunakan istilah instruksional. Kata instruksional  itu sendiri diambil dari istilah instruction yang diartikan belajar-mengajar. Istilah belajar-mengajar itu sendiri dimaknai sebagai proses interaktif antara guru dan siswa, yang berbeda dengan istilah mengajar yang konotasinya hanya guru yang aktif. Kata instruksional  selanjutnya dalam kurikulum 1994, tidak lagi digunakan dan diganti menjadi  pembelajaran. 
Perubahan makna tentang hakekat belajar-mengajar, dilatari oleh perubahan peranan guru dalam proses pembelajaran. Dalam menjalankan perannya di samping menyampaikan informasi, tugas guru di kelas adalah juga mendiagnosis kesulitan belajar siswa, menyeleksi material belajar, mensupervisi kegiatan belajar, menstimulasi interaksi belajar siswa, memberikan bimbingan belajar,menggunakan multi media, strategi dan metode. Peranan guru juga menunjukkan film, mengajak diskusi, mengajukan pertanyaan, mediator debat, menyelenggarakan field trip, simulasi dan berbagai peranan lainnya (Simpson; Anderson , 1981-60). 
Berbagai peran yang dimainkan guru tersebut bahwa pembelajaran pada dasarnya adalah berkenaan dengan hal membelajarkan anak. Dalam pada itu, peranan guru tidak lain adalah memfasilitasi terjadinya belajar pada diri anak. Perlu digarisbawahi bahwa perubahan-perubahan perilaku siswa sebagai indikator hasil belajarnya, adalah akibat keaktifan yang dilakukan anak sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya. 

Guru dalam berbagai perannya hanyalah sebagai fasilitator yang mengarahkan dan memfasilitasi terjadinya aktivitas belajar. Oleh karena itu, maka istilah instruksional, yang bermakna proses interaktif guru-siswa, digantikan dengan istilah  pembelajaran, dengan makna sebagai proses penciptaan lingkungan yang merangsang terjadinya proses belajar  pada diri anak.    
 Perubahan penggunaan istilah pembelajaran juga di latari oleh asumsi-asumsi pandangan modern tentang belajar.  Misalnya belajar menurut Gagne (1975), merupakan aktivitas mental-intelektual yang  bersifat internal. Aktivitas belajar aktualisasinya adalah proses beroperasinya mental-intelektual anak. Indikator adanya proses beroperasinya mental-intelektual tersebut dapat di lacak dari hasil  operasi-operasi mental-intelektual tersebut. Hasil-hasil operasi itu, dalam hal ini diaktualisasikan anak dalam bentuk perubahan perilaku. Perubahan perilaku yang dimaksud berupa kemampuan-kemampuan kognitif seperti kemampuan  mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis dan menilai.
Selain itu, perubahan perilaku itu, juga diwujudkan anak berupa kemampuan-kemampuan afektif seperti penghayatan sikap, motivasi, kesediaan anak, penghargaan terhadap sesuatu dan sejenisnya. Di samping juga perubahan perilaku anak tersebut termanifestasikan dalam wujud perubahan keterampilan fisik anak yang berupa kemampuan mengkordinasikan sistem otot-ototnya untuk melakukan gerakan-gerakan keterampilan tertentu.
Beroperasinya mental-intelektual  anak tersebut  di atas, dapat terjadi  manakala  ada obyek  eksternal  di  lingkungan sekitar  yang menstimulasinya. Obyek eksternal yang  dimaksud  dapat berwujud  data,  fakta,  peristiwa,  problema,  perintah,  tugas, penjelasan,  dan sejenisnya. 
Ini berarti reaksi mental-intelektual tersebut tidak dapat terjadi tanpa obyek eksternal yang merangsangnya. Jikalau reaksi mental-intelektual itu tidak terjadi, maka gilirannya belajar itupun tidak terjadi. 
Terjadinya  belajar (reaksi mental-intelektual) pada diri anak, memerlukan obyek eksternal yang berupa peristiwa ataupun sistem lingkungan, yaitu serangkaian kondisioning  yang dapat  merangsang  terjadinya belajar pada diri anak. Aktivitas  guru  yang berupa  kegiatan  penciptaan  peristiwa atau sistem lingkungan, yang dimaksudkan agar mental-intelektual anak  terdorong dan terangsang  untuk melakukan aktivitas belajar disebut pembelajaran. Dalam kaitan ini Gagne (1975) mendefinisikan pembelajaran  adalah  seperangkat peristiwa yang diciptakan dan  dirancang untuk mendorong, menggiatkan dan mendukung belajar siswa  (Hanafi dan Manan, 1988:14). Sedangkan Raka Joni (1980:1) menyebutkan, pembelajaran adalah penciptaan sistem  lingkungan yang memungkinkan terjadinya belajar. 
Penciptaan  sistem lingkungan berarti menyediakan  seperangkat peristiwa-kondisi lingkungan  yang dapat merangsang anak untuk  melakukan  aktivitas belajar. 
Berkenaan dengan perubahan-perubahan pemaknaan yang berujung digantinya beberapa istilah yang bertalian dengan proses belajar-mengajar, sesungguhnya, Smith, B.O dalam Dunkin, M.J (1987)  menjelaskan bahwa secara etimologi, sebenarnya kata learn (belajar) dan teach (mengajar) mempunyai makna yang sama. Kata learn berasal dari kata bahasa Inggris kuno learned yang bermakna  to learn atau to teach. Misalnya dalam struktur kalimat bahasa inggris, ‘I will learn you typewriting’.  
Kajian-kajian lain menyebutkan pula kata teaching yang dalam bahasa Indonesia diartikan mengajar berasal dari kata teach. Kata ini berasal dari bahasa Inggris kuno teacon yang diambil dari teutonic kuno kata teik artinya to show yang artinya menyajikan/ menunjukkan. Kata teach dalam bahasa Inggris berkenaan dengan kata token yang artinya tanda atau simbol.
Berkenaan dengan dua akar kata bahasa Inggris tersebut, mengajar di artikan ‘menyajikan atau menunjukkan seseuatu kepada seseorang melalui tanda atau simbol’ (Karhami, Karim, A tanpa tahun).  Sementara itu, penggunaan kata pembelajaran yang diterjemahkan dari kata Instruction berasal dari kata Instruct yang maknanya menurut kamus adalah  mengajar/ melatih/memerintah. Instructional artinya bersifat pelajaran. Berdasarkan kajian akar bahasa, kata teaching and instruction tidak mempunyai arti yang berbeda. Keduanya berarti menyajikan/menunjukkan sesuatu kepada seseorang melalui simbol, atau melatih/memerintah yang bersifat pelajaran kepada seseorang.

     2.      Pengertian Strategi Pembelajaran

Bertolak dari makna pembelajaran tersebut di atas, maka strategi pembelajaran pada dasarnya berkenaan dengan hal pemilihan dan pengoperasian system lingkungan yang efektif dan efisien untuk pencapaian tujuan pembelajaran dengan mempertimbangkan variable-variabel dan komponen-komponen yang tersedia dalam pembelajaran.  
Strategi itu sendiri sesungguhnya pungutan dari kosa kata militer. Kata strategi berhubungan erat dengan pengetahuan tentang perang. Dalam bahasa Yunani, strategi berasal dari kata stratos yang artinya pasukan dan agein yang  artinya memimpin-membimbing. Strategi berarti kegiatan memimpin pasukan. Jendral Karl Von Clausewitz (1780-1831) menegaskan bahwa Strategi adalah pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk kepentingan perang. 
Demikian pula Antonie Henri Jomini (1779-1869) menyatakan bahwa strategi adalah seni menyelenggarakan perang di atas peta dan meliputi seluruh kawasan operasi. Sementara Liddle Hart menyebutkan bahwa strategi adalah seni mendistribusikan dan menggunakan sarana-sarana militer untuk mencapai tujuan-tujuan politik .
Bertolak dari pengertian-pengertian ini, strategi memiliki dua hal, (1) perencanaan tindakan secara sistematis dan, (2) implementasi perencanaan dalam tindakan di lapangan. (Al Hakim S. dkk.; 2002:80). Dan ujung dari penggunaan strategi adalah memenangkan pertempuran.  
Berangkat dari konsep strategi tersebut diatas, maka strategi pembelajaran sesungguhnya dapat definisikan  sebagai pengetahuan tentang perencanaan dan penyelenggaraan pembelajaran. Dapat juga dikatakan bahwa strategi pembelajaran adalah seni untuk merencanakan dan menyelenggarakan pembelajaran yang meliputi seluruh  komponen yang terkait dengan kegiatan pembelajaran. 
Berikut  ini  disajikan  beberapa pengertian strategi pembelajaran yang berbeda-beda tersebut. 
Menurut  Hilda Taba, proses pembelajaran merupakan  aktivitas yang kompleks.  Proses pembelajaran  mencakup  banyak  variabel, yaitu  variabel tujuan, guru, siswa, proses belajar, dan  susunan pembelajaran. Untuk mengembangkan strategi pembelajaran,  variabel-variabel  penting  tersebut di atas,  perlu  dipertimbangkan. Oleh karena itu, Strategi pembelajaran menurut Hilda Taba  adalah pola dan urutan tingkah laku guru untuk menampung semua variabel-variabel pembelajaran secara sadar dan  sistematis,  (Suprihadi, 1993: 93). 
Strategi  pembelajaran merupakan bagian dari keseluruhan komponen pembelajaran. Strategi pembelajaran berhubungan  dengan cara-cara yang dipilih guru untuk pencapaian tujuan pembelajaran.  Cara-cara  itu, mencakup   sifat, ruang lingkup  dan  urutan kegiatan  yang  berwujud pengalaman belajar  bagi  siswa. Oleh sebab itu, Hilda Taba menyatakan pula strategi pembelajaran adalah cara-cara yang dipilih guru dalam proses pembelajaran yang dapat  memberikan  kemudahan  atau fasilitas  bagi  siswa  menuju tercapainya tujuan pembelajaran (Suprihadi, 1993:94) 
Dick  dan  Carrey dalam membuat  pengertian  strategi tidak membatasi  hanya  prosedur  pembelajaran.  Strategi  pembelajaran mencakup materi atau paket pembelajaran. Menurut Dick dan  Carrey strategi pembelajaran adalah  semua komponen materi dan  prosedur pembelajaran  yang digunakan untuk membantu siswa dalam  mencapai tujuan pembelajaran  tertentu (Suprihadi,  1993:94).   
Gropper sesuai  dengan pendapat Elly mengatakan, Strategi adalah rencana untuk  pencapaian  tujuan  pembelajaran.  Strategi  pembelajaran, terdiri atas metode dan teknik, tetapi, strategi lebih luas  dari metode dan teknik pembelajaran (Suprihadi,1993:94).
Davies (1987:121) menyatakan, Strategi pembelajaran meliputi garis-garis  besar metode pembelajaran. Hal tersebut antara  lain meliputi strategi perkuliahan atau ceramah,  strategi  tutorial, strategi dari studi kasus. Dengan perkataan lain, strategi adalah garis-garis besar yang menggambarkan cara mengerjakan dan  mengolah tugas-tugas pembelajaran.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan  oleh  Syamsudin (1983:66) dengan menyatakan  bahwa  strategi pembelajaran  adalah  suatu garis besar  haluan  bertindak  untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan. 
Raka Joni (1980:1) menyatakan istilah strategi banyak  dipakai dalam banyak konteks dengan makna yang  berbeda-beda. Dalam konteks pembelajaran,  strategi pembelajaran  adalah  pola  umum perbuatan guru-murid di dalam perwujudan peristiwa  pembelajaran.
Memperhatikan  beberapa  pengertian  strategi   yang dikemukakan  oleh beberapa ahli pembelajaran di atas,  dapat  dicermati bahwa strategi pembelajaran pada dasarnya bukan perencanaan  pembelajaran. Perencanaan pembelajaran substansinya meliputi semua variabel atau komponen program pembelajaran, termasuk di dalamnya variabel strategi pembelajaran itu sendiri. Strategi pembelajaran, sebagai salah satu komponen program pembelajaran, berfungsi untuk mewujudkan aktualisasi proses pembelajaran. 
Strategi pembelajaran perwujudannya berupa ketetapan guru tentang tindakan strategis untuk mewujudkan proses pembelajaran. Dalam pada itu, dari segi waktu penetapannya, strategi pembelajaran ditetapkan ketika guru merancang disain perencanaan pembelajaran. Oleh karena sifatnya yang kondisional-transaksional, keputusan strategi pembelajaran dapat terjadi ditetapkan bersamaan ketika proses pembelajaran itu sendiri sedang berlangsung. Hal ini dilakukan untuk membuat penyesuaian-penyesuaian dengan realitas yang ada ketika proses pembelajaran sedang berlangsung. 
Strategi  pembelajaran aktualisasinya terwujud  sebagai seperangkat tindakan guru untuk mewujudkan proses pembelajaran yang memudahkan siswa untuk mencapai tujuan belajarnya. Cakupan  tindakan tersebut substansial yang meliputi variabel :  (1)   setting (latar) pembelajaran, (2) pengelolaan dan pengorganisasian bahan ajar, (3)  pengalokasian  waktu,  (4) pengaturan pola aktivitas  pembelajaran,  (5) metode,  teknik,  dan prosedur pembelajaran, (6)  pengaturan dalam pemanfaatan media  pembelajaran,  (7) penerapan  prinsip-prinsip pembelajaran, (8) penerapan pendekatan pola aktivitas pembelajaran, (9) pengembangan dan pengaturan iklim pembelajaran. 
Strategi pembelajaran perwujudannya  bersifat sistemik karena antar variabel terangkai sebagai  pola  pembelajaran yang utuh,  terpadu, rasional, sistematis  dan strategis. Keutuhan  dan keterpaduan variabel strategi pembelajaran, ditengarai oleh  adanya sinkronitas antar variabel tersebut, sehingga mewujudkan kerelevansian antar variabel, yang gilirannya mampu memudahkan dan mengefektifkan optimalisasi tercapainya tujuan belajar. Rasional dalam arti bahwa hubungan setiap variabel yang  mendukung perwujudan pembelajaran tersebut, memiliki alasan yang dapat diterima karena antar  aspek bersifat kontributif-komplementatif- implikatif.  
Aktualisasi pembelajaran di katakan strategis, manakala setiap jenis dan atau  pola aktivitas pembelajaran beserta seluruh variabel yang terkait  dapat dilacak rasionalitasnya, kadar keefektifan  dan keefisiensiannya untuk pencapaian tujuan pembelajaran. Nilai strategis suatu strategi pembelajaran dapat juga diuji atas dasar kesesuaiannya dengan karakteristik variabel-variabel  penentu pembelajaran, seperti : (1) sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, (2)  sesuai dengan  karakteristik bahan pembelajaran, (3) karakeristik  guru, (4)  karateristik siswa, (5) karakteristik sarana  dan prasarana yang tersedia. Dan ujung dari semua itu adalah keakuratan strategi tersebut dalam memfasilitasi keoptimalan pencapaian tujuan belajar oleh setiap anak.

B.     Makna Nilai

Menurut Driyarkara, nilai merupakan hakikat suatu hal yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia. Sementara itu, menurut Bertens, nilai adalah suatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Singkatnya, nilai adalah sesuatu yang baik.
Dalam pandangan Sinurat, nilai dan perasaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling mengandaikan. Perasaan adalah aktivitas psikis tempat manusia menghayati nilai. Hal ini bermakna bahwa sesuatu itu bernilai bagi seseorang jika menimbulkan perasaan positif dan sebaliknya. Senada dengan Sinurat, Hans Jonas, filsuf Jerman-Amerika menyatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang senantiasa kita ‘iya’-kan atau kita setujui.
Pengalaman dan penghayatan nilai itu melibatkan hati, hati nurani serta budi. Hati menangkap nilai dengan merasakannya dan budi menangkap nilai dengan memahami dan menyadarinya.
Nilai itu selalu dihadapi oleh manusia dalam hidup kesehariannya. Setiap kali mereka hendak melakukan sutau pekerjaan, maka harus menentukan pilihan di antara sekian banyak kemungkinan dan harus memilih. Di sinilah nilai akan menjalankan fungsinya. Nilai menjadi ukuran untuk menghukum atau memilih tindakan atau tujuan tertentu. Nilai tidak terletak pada barang atau peristiwa, tetapi manusia memasukkan nilai ke dalamnya sehingga barang atau peristiwa itu mengandung nilai. Oleh karena itu, subjeklah yang tahu dan menghargai nilai itu. Tanpa adanya hubungan subjek atau objek itu maka nilai tidak akan ada. Suatu benda akan ada, sekalipun manusia tidak ada. Akan tetapi, benda itu tidak bernilai, manakala manusia tidak ada. Nilai menjadi tidak bernilai jika manusia tidak ada.
Menurut Hoffmeister, nilai adalah implikasi hubungan yang diadakan oleh manusia yang sedang memberi nilai antara satu benda dengan satu ukuran. Nilai merupakan realitas abstrak. Nilai kita rasakan dalam diri kita masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi penting dalam kehidupan, sampai pada suatu tingkat, di mana sementara orang lebih siap untuk mengorbankan hidup mereka dari pada mengorbankan nilai.
Sumber nilai bukanlah budi (pikiran), tetapi hati (perasaan). Persoalan nilai ini berlawanan dengan persoalan ilmu. Ilmu terlibat dalam fakta, sedangkan nilai terlibat dengan cita dan idea. Salah atau benarnya suatu teori ilmu pengetahuan dapat dipikirkan. Indah-jeleknya suatu benda atau barang, atau baik buruknya suatu peristiwa dapat dirasakan, tetapi perasaan itu sendiri tidak ada ukurannya karena tergantung kepada masing-masing orang yang merasakannya. Jadi, nilai itu sangat subjektif sekali.
Dalam pandangan Harun Nasution, nilai dimaknai sebagai nilai rohani (etika relegius) yang berupa kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikiran lurus.
 
C.    Struktur Nilai

Secara aksiologis, nilai dapat dibagi menjadi nilai mutlak dan nilai relatif, nilai intrinsik (dasar), dan nilai instrumental. Nilai mutlak bersifat abadi, tidak mengalami perubahan dan tidak tergantung pada kondisi dan situasi tertentu. Nilai relatif tergantung pada situasi dan kondisi oleh karenanya selalu berubah. Nilai intrinsik ada dengan sendirinya dan tidak menjadi prasarat bagi nilai yang lain, misalnya adalah kebahagiaan, tetapi ukurannya tergantung pada masing-masing orang. Nilai instrumental berupa amal saleh dengan indikator amanah, kejujuran, kesabaran, keadilan, kemanusiaan, etos kerja, dan disiplin yang dalam praktik kehidupan paling banyak dihadapi oleh manusia.
Sedangkan menurut Gordon M. Hart, dalam disposisi jiwa seseorang terdapat tingkatan lapisan yang terkait dengan nilai; pertama, tingkah laku; kedua, sikap; ketiga, nilai; dan keempat, kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu. Di sini nilai (yang terletak di bawah keyakinan) berada dalam dunia rohaniah/batiniah, spiritual, tidak berwujud, dan tidak empirik, tetapi sangat kuat pengaruh dan peranannya dalam setiap perbuatan dan penampilan seseorang.
Dari sini dapat diketahui bahwa nilai menjadi standar tingkah laku yang bersifat tetap dan abadi. Dalam pandangan Atmadi, jenis nilai itu beragam, jika dilihat dari sifat maupun manfaatnya. Jika dilihat dari sisi manfaat nilai dapat dibedakan menjadi universal dan partikular, intrinsik dan ekstrinsik. Dilihat dari manfaatnya ada nilai final dan instrumental. Uang bernilai instrumental dan Allah bernilai final.
Max Scheller, sebagaimana dikutip Purwo Hadiwardoyo membagi nilai dalam empat tingkatan sebagai berikut. 
  1. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai keenakan yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak. 
  2. Nilai-nilai hidup: dalam tingkat ini terdapat nilai yang penting bagi orang yang hidup, semisal kesehatan dan kesejahteraan umum. 
  3. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungannya, semisal keindahan, kebenaran, dan lain-lain. 
  4. Nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapat modalitas nilai dari yang suci. Nilai-nilai semacam ini terdiri dari nilai pribadi, terutama Allah sebagai Pribadi Tertinggi.
   
D.    Beberapa Problematika Nilai
Ada beberapa faktor yang dapat menjadi hambatan dalam pelaksanaan internalisasi nilai-nilai kepada peserta didik, antara lain :
  1. Kultur masyarakat Indonesia dengan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah, ditambah dengan multietnis dan budaya yang merupakan kondisi rentan terhadap berbagai pengaruh budaya luar yang masuk lewat kontak langsung maupun tayangan televisi. Pengaruh ini sangat dahsyat dan kuat dalam membentuk opini, pola pikir, dan pola hidup masyarakat yang cenderung konsumtif, pragmatis, dan hedonis. Hal ini sangat bertolak belakang dengan semangat nilai-nilai ideal.
  2. Sistem pemerintahan (politik) yang dianut oleh negara berkembang pada umumnya adalah pemerintahan otoriter yang menempatkan pemerintah sangat leluasa dalam menentukan kebijakan. Dalam situasi seperti ini lembaga pendidikan menjadi sangat subordinatif dan tidak dapat mengelola kegiatan pembelajaran secara independen dan ideal. Lembaga akan lebih banyak melaksanakan program pendidikan versi pemerintah yang sarat dengan kepentingan politis-ekonomi dan mempertahankan status quo. 
  3. Lembaga pendidikan itu sendiri tidak memiliki cukup konsep dan instrumen tentang pembelajaran nilai yang benar-benar dapat diandalkan untuk membina peserta didik. Lembaga pendidikan lebih bersifat administratif-formalistik yang secara rutin menyampaikan materi pelajaran, evaluasi dan kemudian meluluskan peserta didik agar nantinya dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
  4. Kondisi peserta didik (in-put) yang secara kuantitatif relatif banyak tetapi berkualitas rendah. Proses transformasi nilai akan sangat sulit jika dilaksanakan dalam suatu kelas yang jumlahnya banyak (gemuk), apalagi berkualitas rendah sebab pembelajaran nilai sangat membutuhkan keaktifan peserta dan monitoring yang intensif dari guru. 
  5. Karakter nilai itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat abstrak sehingga menyulitkan pendidik dalam melakukan transformasi maupun evaluasi. Hal demikian tidak terjadi dalam ilmu eksakta. Instrumen yang valid untuk evaluasi nilai sangat sulit, kalaupun bisa memerlukan waktu dan dana yang cukup banyak. Ukuran keberhasilan yang sulit dipastikan akan menjadi kendala tersendiri dalam melakukan tindak lanjut.
  6. Kebiasaan hati yang penuh dengan kebencian dan kedengkian serta tertutup. Dalam kondisi ini pendidikan hanya mampu menyampaikan informasi rasional, tetapi gagal dalam menanamkan nilai-nilai.
  7. Kultur dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang cenderung suka meredam perasaan, emosi, tidak spontan, dan tidak transparan. 
  8. Kebiasaan dalam kegiatan pembelajaran yang menggunakan semangat monolog/pidato dan instruktif serta kurang menggunakan model sharing (berbagi) dan dialog.

     
E.     Strategi Pembelajaran Nilai

Nilai-nilai itu bukanlah ciptaan manusia, melainkan datang dari Sang Pencipta sebagai Nilai Tertinggi (Summum Bonum) dan menjadi sumber segala nilai. Manusia memiliki tugas untuk memahami, menyadari, merasakan, menemukan, dan mewujudkan dalam kenyataan.
Proses pemahaman dan penemuan nilai ini tidak dapat dilakukan hanya dengan budi-pikiran saja, melainkan perlu mewujudkannya dalam pengalaman nyata. Ketika seseorang ingin menghayati nilai ‘cinta kasih’, tidak cukup hanya dengan berpikir, memahami, dan menyetujui di kepala saja, melainkan perlu mewujudkannya dalam pengalaman nyata ‘mencintai’ dan ‘dicintai’.
Pendidikan nilai merupakan upaya pembentukan sikap  dan tingkah laku seseorang, hal ini seperti dikemukakan oleh Smith dan Spranger, bahwa  nilai-nilai mewarnai sikap dan tindakan individu karena ia harus senantiasa untuk dimiliki.
Senada dengan Smith dan Spranger, menurut Max Scheler, manusia perlu terus-menerus berusaha mencapai nilai-nilai yang lebih tinggi tingkatannya. Berkait dengan tingkatan nilai itu, Hadiwardoyo menyatakan bahwa perlu ada pedoman untuk menentukan tinggi rendahnya nilai; semakin tahan lama, semakin tinggi, semakin tidak tergantung pada nilai-nilai lain, semakin membahagiakan, dan semakin tidak tergantung pada kenyataan tertentu.
Proses internalisasi nilai membutuhkan kemahiran dalam menangkap nilai lewat pengalaman nyata, di antaranya perlu keterbukaan hati-budi, keheningan, ketenangan, dan disposisi batin yang mendukung; terbuka, percaya, jujur, rendah hati, bertanggung jawab, berniat baik, setia, dan taat.
Pendidikan nilai hendaknya bukan hanya sekadar tambahan (pelengkap), melainkan merupakan sesuatu yang hakiki dalam seluruh proses pendidikan. Pendidikan nilai menjadi kian penting ketika arus materialisme dan konsumerisme secara global terus mengikis nilai-nilai luhur dari kehidupan manusia, tidak hanya yang tinggal di kota-kota besar, bahkan sudah menyentuh desa-desa yang terpelosok sekalipun. 
Terdapat beberapa strategi alternatif (model) yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai kepada peserta didik, antara lain sebagai berikut. 
            1.      Menurut Khairan
Penanaman nilai-nilai dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa model di antaranya :
a.   Model pewarisan; adalah dengan menggunakan cara  indoktrinasi mekanistik, pemaksaan, latihan, dan pengulangan;
b.  Model pengembangan kesadaran nilai, artinya bahwa nilai itu akan ditemukan oleh anak ketika mereka mengalaminya sendiri; 
c.    Model pengembangan nilai etika swasta, anak didik tumbuh dan berkembang melalui tahap-tahap perkembangan dalam suatu seri tahap-tahap yang secara kualitatif berbeda satu sama lain.

           2.      Menurut A.M. Saifudin
Internalisasi nilai paling strategis dilakukan lewat universitas dan civitas akademika. Dalam pandangannya, kejatuhan sains di dunia modern karena terlalu mengagungkan potensi nalar tanpa memberikan sedikit pun untuk hal–hal yang bersifat metanalar. Sementara realitas kehidupan yang ada membuktikan bahwa justru realitas kehidupan yang digeluti sekarang ini banyak yang tidak rasional, artinya banyak ditentukan oleh asumsi manusia dalam bentuk keyakinan. Oleh karena itu, ia mengusulkan adanya fakultas baru yang peduli terhadap nilai, yaitu sebagai berikut.
a.    Fakultas Zikir
Dalam epistemologi al-Qur’an, fakultas zikir bergerak dalam dunia intuitif yang dikonotasikan dengan akidah atau iman. Daya pancar fakultas zikir ini mampu menangkap sinyal-sinyal rohani lewat alam semesta sebagai instrumen prima untuk realitas mutlak sebagai ego terakhir. Fakultas zikir berfungsi meloloskan manusia dari kepungan-kepungan materialisme yang sangat dahsyat.
b.   Fakultas Pikir
Pikir dan zikir harus padu dalam memotret setiap sosok kehidupan dari alpha sampai omega. Menurut Imam al-Ghazali, kerancauan berpikir dari ahli pikir terjadi akibat kenyataan dan angan-angan dicampuradukan dengan akal. Sebenarnya akal dapat mencapai hakikat, tetapi harus dituntun oleh wahyu untuk membaca ilmu Allah yang terbentang luas di alam semesta agar manusia dapat memahami makna ‘super energi’ di balik energi yang digunakan untuk memutar roda kehidupan makhluk.                       
c.    Fakultas Amal 
Amal merupakan refleksi dan perbuatan kreatif dari zikir dan pikir yang jatuh pada titik pusat kesadaran emosional di saat pikir dan zikir telah sampai di hati yang menimbulkan prosesal ‘amalu bi an niyat.

      3.      Menurut A. Atmadi dan Setyaningsih
Pendidikan nilai akan lebih efektif jika dikembangkan lewat jalur non-formal karena disposisi peserta didik terbangun dengan baik. Disposisi ini sangat ditentukan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang menentukan disposisi antara lain; niat, motivasi, dan arah konsentrasi perhatian murid. Sementara itu, faktor eksternalnya adalah sikap badan atau posisi duduk, tata ruang, dan dinamika hubungan antarsubjek yang terlibat. 
Suasana kelas yang formal, klasikal dan tempat duduk yang terpaku pada kursi meja yang diatur berlajur-lajur paralel dan arah pandang (komunikasi) yang searah ke depan saja, kiranya hanya cocok untuk mengajarkan ilmu pengetahuan kognitif lewat ceramah-ceramah. Setting suasana kelas tersebut kurang mendukung keberhasilan pendidikan nilai. Pendidikan nilai membutuhkan setting eksternal yang mendukung terbentuknya disposisi internal yang diharapkan sehingga hati dengan bebas membuka dan nilai-nilai mudah masuk ke dalamnya.
Di antara  setting eksternal yang mendukung efektivitas pendidikan nilai adalah sebagai berikut : 
a.    Sikap posisi duduk yang rileks dan bebas bergerak, misalnya duduk lesehan atau duduk dikursi dengan posisi duduk melingkar.
b.   Suasana santai, informal, dan luwes.
c.    Acara-acara dinamis dan interaktif.
d.   Arah konsentrasi perhatian terfokus, tetapi tidak kaku dan tegang.
e.    Setting tempat luas, terbuka, alami, dan segar.
f.    Ada refreshment (minum, snack, dan makanan).
 Hal di atas akan berpengaruh terhadap disposisi internal. Akan tetapi, disposisi internal sendiri harus ditumbuhkan untuk :
a.    niat yang bulat untuk mengikuti acara-acara yang diselenggarakan;
b.   arah-konsentrasi perhatian yang terpusat;
c.    minat yang muncul secara bebas dari dalam (merasa butuh); dan
d.   keterbukaan untuk berkembang.
  Proses conditioning dalam pendidikan nilai dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa model antara lain :
a.    Model pemecahan masalah (problem solving); mengajak murid untuk berdiskusi memecahkan suatu masalah konkret;
b.   Model berpikir reflektif (reflective thinking); mengajak murid secara pribadi atau berkelompok untuk  membuat catatan refleksi atau perenungan (tanggapan) atas suatu tulisan, peristiwa, kasus, gambar, foto, dsb;
c.    Model membangun sikap bertanggung jawab (responsibility-building); murid diserahi tugas atau pekerjaan yang konkret dan diminta untuk membuat laporan sejujur-jujurnya;                       
d.   Model piknik (picnic); mengadakan kunjungan ke suatu tempat diluar kelas untuk refershing dan mengenal suasana lingkungan;
e.    Camping study; murid diajak untuk melakukan camping;
f.    Model pesta; muri diundang ke rumah guru untuk berpesta, meskipun sederhana dan kecil kecilan.
     4.      Menurut Kamrani
Pembelajaran nilai dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain sebagai berikut : 
a.    Strategi Tradisional; dengan menjelaskan  nash-nya, pesannya kemudian dijelaskan konsekuensi bagi yang melaksanakan maupun yang meninggalkannya.
b.   Strategi Klarifikasi Nilai; dengan memilih, menghargai, dan melaksanakan nilai dalam kehidupan sehari-hari.
c.    Strategi Teladan; dengan memberi contoh kepada peserta didik tentang nilai-nilai yang dianut dan menjelaskannya.
d.   Strategi Transinternal; dengan cara menyimak cerita yang mengandung nilai, menanggapi suatu perilaku dalam cerita tersebut, mendudukan nilai yang tertinggi dari nilai yang ada dalam cerita dan internalisasi (memberi makna) nilai.
      5.      Menurut Dougles Superka
Dalam mengajarkan nilai terdapat beberapa strategi yang dipilih berdasarkan materi bahan ajar dan tujuan yang dikenal dengan strategi Value Clarivication Technique (VCT), antara lain sebagai berikut.
a.    Pendekatan evokasi/ekspresi spontan (evolution approach) yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mengemukakan tanggapan, perasaan, penilaian, dan pandangannya terhadap suatu hal yang disampaikan oleh pendidik, khususnya nilai –nilai tertentu. Pandangan yang disampaikan tersebut boleh bersifat emosional, positif, bahkan negatif sekalipun.
b.   Pendekatan sugesti terarah (inculcation approach), di mana peserta didik secara halus digiring untuk mengarah pada suatu kesimpulan dan menerima nilai tertentu. 
c.    Pendekatan kesadaran (awareness), dengan mengadakan suatu kegiatan di mana peserta didik diberi kesempatan untuk mengamati dan dituntun untuk mengklarifikasi dirinya atau orang lain. 
d.   Mencari kejelasan moral (moral reasoning), di mana pendidik melontarkan suatu dilema kepada peserta didik, mereka diajak terlibat dalam  dilema itu dan kemudian diminta untuk melakukan klarifikasi dirinya, serta meningkatkan nilai tersebut melalui dialog.
e.    Pendekatan analisis nilai (approach of value analitis) dengan mengajak peserta didik melakukan analisis nilai yang ada dalam suatu media, mulai dari analisis seadanya seperti reportase dan kemudian melakukan kajian mendalam. 
f.    Pengungkapan nilai (value clarification), dengan cara membina kesadaran emosional nilai peserta didik melalui cara klarifiaksi, kajian kritis rasional, dan menguji kebenaran, kebaikan, keadilan, kelayakan, serta ketepatan.
g.   Pendekatan kesepakatan (commitment approach), yakni dengan minta peserta ketika awal masuk sudah harus menyepakati sikap dan pola pikir  yang berdasarkan nilai-nilai tertentu. Pendekatan ini diterapkan dalam pengajaran nilai untuk melatih peserta didik disiplin dalam pola berpikir dan berbuat, serta membina integritas sosial peserta didik.
h.   Mengintegrasikan diri (approach union), yakni peserta didik diintegrasikan dalam kehidupan riil atau simulasi yang dirancang oleh pendidik. Peserta didik disuruh mengalami atau merasakan secara langsung hal ihwal yang diharapkan.
Dalam penerapan berbagai strategi di atas, sebenarnya dibutuhkan adanya prasyarat yang mendukung, antara lain sebagai berikut.
a.    Keterampilan mengidentifikasi nilai, sikap atau moral, mengklarifikasi diri, dan mengambil keputusan atau kesimpulan.
b.   Adanya keterbukaan (diri dan pikiran) atau kesediaan (keramahan dan objektivikasi) para peserta didik dan pendidik.
c.    Hati, pikiran, emosi, kemauan, keseluruhan diri, dan minat peserta didik harus terpanggil dan terlibat dalam apa yang sedang berlangsung di kelas; bagaikan nonton wayang atau film yang begitu bergairah hanyut dalam lakon.
d.   Pendidik harus memiliki, menyadari, dan selalu patuh akan target-target nilai dari pokok pelajarannya.
DAFTAR PUSTAKA

A. Atmadi dan Setyaningsih (Ed.). 2000. Transformasi Pendidikan Memasuki Millenium Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
A. Hanafi. 1976. Pengantar Filsafat Islam.  Jakarta: Bulan Bintang.
A. Mangunhardjana. 1997.  Isme-isme dalam Etika A Sampai Z.  Yogyakarta: Kanisius.
A.M. Saifudin, dkk. 1987. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan.
Abdurrahmansyah. 2004. Wacana Pendidikan Islam: Khazanah Filosofis dan Implementasi Kurikulum,
Metodologi, dan Tantangan Pendidikan Moralitas.  Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
Achmadi. 2005.  Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bertens K. 1994. Etika.  Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.                       
Buseri, Kamrani. 2003. Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah: Pemikiran Teoritis Praktis Kontemporer. Yogyakarta: UII Press.
Damami, Muh. 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa.  Yogyakarta: LESFI.
Gazalba, Sidi. 1981. Sistematika Filsafat: Dunia Filsafat, Teori Pengetahuan, dan Teori  Nilai. Jakarta: Bulan Bintang.
H. De Vos. 1987. Pengantar Filsafat.  Yogyakarta: Tiara Wacana.
Hadiwardoyo, A. Purwo. 1985. Nilai-nilai Kemanusiaan dan Hikmat bagi Pendidikan. Yogyakarta: IKIP
Irwandar. 2003. Dekonstruksi Pemikiran Islam: Idealitas Nilai dan Realitas Empirik. Yogyakarta: Media Ar-Ruz.
Keraf, Sony dan Mikhael Dua. 2001.  Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis.  Yogyakarta: Kanisius.
Mustansyir, Rizal dan Musnal Munir. 2001. Filsafat Ilmu.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, Harun. 1996. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran.  Bandung: Mizan.
Rosyadi, Khaeron. 2004. Pendidikan Profetik.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rukiyanto, Agus. 1993.  Ajaran Nilai Max Scheller dalam Tim Redaksi Tri Diyarkara: Diskursus
Kemasyarakatan dan Kemanusiaan.  Jakarta: Gramedia.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Soedjatmoko. 1996. Etika Pembebasan. Jakarta: LP3ES.
Soemargono, Soejono. 1992. Pengantar Filsafat.  Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudarsono. 1993.  Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar.  Jakarta: Rineka Cipta.
Sukamadinata, Nana Saodih. 1997. Pengembanagn Kurikulum: Teori dan Praktik.  Bandung: Rosdakarya.
Suseno FM dan Reksosusilo. 1983. Etika Jawa dalam Tantangan.  Yogyakarta: Kanisius. 
Tafsir, Ahmad. 1992. Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Tales – James. Bandung: Rosdakarya.
Takeshita, Masataka. 2005. Manusia Sempurna Menurut Konsep Ibnu ‘Arabi.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wijaya, Cuk Ananta. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

No comments:

Post a Comment