Oct 5, 2011

TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)
Oleh: Jajang Sulaeman, S.Pd.




A.  Pengertian Tata Pemerintahan yang Baik

Secara singkat dapat dipahami bahwa selain komponen fisik tentang batasan wilayah dan pengakuan kedaulatan sebagai persyaratan sebuah negara, dalam sebuah negara terdapat dua  komponen inti yang terikat erat, “rakyat” dan “pemerintah”, Pemerintah dalam arti paling dasar diterjemahkan sebagai sekumpulan orang yang memiliki mandat yang absah dari rakyat untuk menjalankan wewenang-wewenangnya dalam urusan-urusan pemerintahan. Di sini ada hubungan “kontrak sosial” antara rakyat sebagai pemberi mandat dan pemerintah sebagai pelaksana mandat.
Jika diadakan pendekatan dari segi bahasa terhadap kata “pemerintah” atau “pemerintahan”, kedua kata tersebut berasal dari suku kata “perintah” yang berarti sesuatu yang harus dilaksanakan. Beberapa hal yang terkandung dalam dari makna “perintah” adalah sebagai berikut:
1.    Adanya “keharusan” menunjukkan kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperintahkan; 
2.    Adanya dua pihak, yaitu yang memberi dan yang menerima perintah;
3.    Adanya hubungan fungsional antara yang memberi dan yang menerima perintah;
4.    Adanya wewenang atau kekuasaan untuk memberi perintah.

Kata “pemerintah” atau “pemerintahan” dalam bahasa Inggris dipergunakan kata “government”. Kata ini berasal dari suku kata “to govern” yang artinya perintah atau memerintahkan. Istilah “to govern” berbeda dengan “to command” atau “to order” meskipun memiliki arti dasar “perintah”.
“Memerintah” diartikan sebagai menguasai atau mengurus negara atau daerah sebagai bagian dari negara. Dengan demikian, kata “pemerintah” berarti kekuasaan untuk memerintah suatu negara. “Pemerintah” menunjuk kepada kesatuan aparatur atau badan (lembaga), diartikan juga sebagai “negara atau negeri”  dan ditafsirkan pula sebagai “pengelola atau pengurus”. Sedangkan “pemerintahan” menunjuk kepada perbuatan atau cara atau urusan memerintah, misalnya pemerintahan yang adil, pemerintahan demokratis, pemerintahan diktator, dan sebagainya.
Membandingkan hubungan pemerintah dengan rakyat dalam segi kuantitas, jumlah rakyat akan jauh lebih banyak daripada pemerintah. Karena jumlah pemerintah yang sedikit dibandingkan banyaknya jumlah rakyat, diciptakanlah tata cara untuk membentuk pemerintah yang dianggap  cocok pada suatu negara. Kedua komponen inti itu, baik rakyat maupun pemerintah, masing-masing memperluas komponennya. 
Komponen rakyat dengan berbagai latar belakang memperluas dirinya dalam karakteristik paham, ideologis, agama, pekerjaan, profesi, geografis tempat tinggal, dan sebagainya. Begitu juga dengan komponen pemerintah memperluas peran dan fungsinya ke berbagai kelembagaan, seperti kelembagaan konstitutif, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dan berbagai pelebaran kelembagaan lainnya. Perluasan  peran dan fungsi dari rangkaian komponen itu menjadi cikal bakal komponen dasar good governance.
Proses pemahaman umum mengenai  governance atau  good governance mulai mengemuka di Indonesia sejak tahun 1990-an dan mulai semakin bergulir pada tahun 1996, seiring dengan interaksi pemerintah Indonesia dengan negara luar beserta lembaga-lembaga bantuannya yang menyoroti kondisi objektif perkembangan ekonomi dan politik Indonesia. 
Governance merupakan tata pemerintahan.  Good governance adalah tata pemerintahan yang baik, sebaliknya bad governance adalah tata pemerintahan yang buruk.
Secara umum istilah  government lebih mudah dipahami sebagai “pemerintah” yaitu  lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurusi negara dan menjalankan kehendak rakyat. Kecenderungannya lebih tertuju kepada lembaga eksekutif/kepresidenan  (executive heavy). Diskusi yang terkait dengan  government lebih mengarah  pada bagaimana meminimalkan peran negara dan mempromosikan peran sektor swasta. Dengan lain perkataan semangatnya adalah  limitation of the state’s roles . Terdapat pula diskusi mengenai reformasi aparatur negara ( civil service reform) namun hal ini tidak lebih dari bagian agenda ekonomi untuk penyesuaian struktural (structural adjustment) (Satish Chandra Mishra, 2000).
Lain hal dengan  governance,  istilah ini lebih kompleks (complicated) karena menyangkut beberapa persyaratan yang terkandung dalam terminologinya (peristilahan). Ada tiga komponen yang terlibat dalam  governance, yaitu pemerintah, dunia usaha (swasta,  commercial society) dan masyarakat pada umumnya (termasuk partai politik). Hubungan ketiganya harus dalam posisi sejajar dan saling kontrol  (checks and balances), untuk menghindari penguasaan atau “eksploitasi” oleh satu komponen terhadap komponen lainnya. Bila salah satu komponen lebih tinggi dari yang lain, maka akan terjadi dominasi kekuasaan atas dua komponen lainnya.
Good governance tidak dilihat seperti dalam pilihan menu. Sebagai contoh dalam rangka reformasi “economic governance” menu programnya antara lain, pengawasan bank, kebijaksanaan deregulasi, hukum dan pengadilan tentang kepailitan, pelaksanaan kontrak, dan sebagainya. Contoh lainnya dalam reformasi politik, menu  programnya antara lain, pelayanan sipil, reformasi parlemen, penguatan institusi masyarakat sipil, desentralisasi daerah, reformasi lembaga pengadilan/kehakiman.  Good governance harus dilihat secara menyeluruh tidak diterjemahkan secara sederhana dalam berbagai kertas kerja dan program (Satish Chandra Mishra, 2000).
Istilah  governance, good governance,  dan  good public governance menjadi populer dalam kurun tahun 1996-1997 karena banyak diperkenalkan oleh lembaga pemberi bantuan luar negeri  (foreign donor agencies) baik yang bersifat  multilateral maupun bilateral (World Bank, 1994).
Istilah tersebut sering dikaitkan dengan kebijaksanaan pemberian bantuan (aid policies), dalam arti (good) governance atau  government dijadikan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian  bantuan baik berupa pinjaman (loan) maupun hibah  (grant). Walaupun beberapa lembaga donor internasional cenderung menggunakan terminologi yang berbeda mengenai aparatur pemerintahan, namun yang dimaksud adalah sama.
Seperti telah terurai di atas,  governance terdiri atas tiga pilar (komponen) yaitu  public governance merujuk pada lembaga pemerintahan,  corporate governance merujuk pada pihak swasta/dunia usaha, dan civil society (masyarakat madani). Untuk mewujudkan  good governance, upaya pembaharuan pada salah satu pilar mesti dibarengi dengan pembaharuan pada pilar-pilar yang lain.

B.  Karakteristik Tata Pemerintahan yang Baik

Good governance tidak mudah untuk didefinisikan secara seragam sebab istilah ini memiliki banyak sumbangan makna yang bervariasi selain dari luasnya substansi bahasan. Dari sumbangan referensi mengenai good governance, keberagaman makna tersebut pada hakekatnya memiliki kesatuan tujuan yang utuh yakni pencapaian kondisi pemerintahan dapat terselenggara secara seimbang dengan kerja sama semua komponen pelaku (individu, masyarakat madani, lembaga-lembaga masyarakat, dan pihak masyarakat). Semua pelaku harus saling tahu apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya, dan adanya ruang dialog agar para pelaku saling memahami perbedaan-perbedaan di antara mereka. Melalui proses tersebut diharapkan akan tumbuh konsensus dan sinergi di dalam masyarakat.
Dari telusuran keberagaman wacana good governance, terdapat sekumpulan nilai-nilai yang diperlukan untuk diterapkan di Indonesia sebagai nilai-nilai yang sebenarnya telah tertanam hidup di akar budaya masyarakat Indonesia, hanya saja istilah dan kemasannya yang berbeda.  
Terdapat empat belas karakteristik yang dapat terhimpun dari telusuran wacana  good governance, yaitu:
1.        Berwawasan ke depan (visi strategis);
2.        Terbuka (transparan);
3.        Cepat tanggap (responsif);
4.        Bertanggung jawab/bertanggung gugat (akuntabel);
5.        Profesional dan kompeten;
6.        Efisien dan efektif;
7.        Desentralistis;
8.        Demokratis;
9.        Mendorong partisipasi masyarakat;
10.    Mendorong kemitraan dengan swasta dan masyarakat;
11.    Menjunjung supremasi hukum;
12.    Berkomitmen pada pengurangan kesenjangan;
13.    Berkomitmen pada tuntutan pasar;
14.    Berkomitmen pada lingkungan hidup
Keempat belas karakteristik nilai good governance tersebut dapat dijelaskan secara ilustrasi deskriptif sebagai berikut:
1.    Tata pemerintahan yang berwawasan ke depan (visi strategis) 
Semua kegiatan pemerintahan berupa pelayanan publik dan pembangunan di berbagai bidang  seharusnya didasarkan pada visi dan misi tertentu disertai strategi implementasi yang jelas. Lembaga-lembaga pemerintahan pusat dan daerah perlu memiliki rencana strategis (Renstra) sesuai dengan bidang tugas masing-masing sebagai pegangan dan arah pemerintahan di masa mendatang. Dengan demikian Program Pembangunan Nasional (Propenas), Program Pembangunan Daerah, Rencana Strategis Departemen/Lembaga/Dinas merupakan wujud dari prinsip tata pemerintahan yang berdasarkan visi strategis.
   
2.    Tata pemerintahan yang bersifat terbuka (transparan)
Semua urusan tata pemerintahan berupa kebijakan-kebijakan publik baik yang berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus diketahui publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan kebijakan publik harus dapat diakses oleh publik dan harus diumumkan agar mendapat tanggapan publik. Demikian pula informasi tentang kegiatan pelaksanaan kebijakan tersebut dan hasil-hasilnya harus terbuka dan dapat diakses publik. Dalam konteks ini, aparat pemerintahan seharusnya bersedia secara terbuka dan jujur memberikan informasi yang dibutuhkan publik. Upaya pembentukan masyarakat transparansi, forum komunikasi langsung dengan eksekutif dan dengan legislatif, wadah komunikasi dan informasi lintas pelaku baik melalui media cetak maupun elektronik, merupakan contoh wujud nyata dari prinsip tata pemerintahan yang bersifat transparan.
 
3.    Tata pemerintahan yang cepat tanggap (responsif)
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat atau sekelompok masyarakat tertentu menghadapi berbagai masalah dan krisis sebagai akibat dari perubahan situasi dan kondisi. Dalam situasi seperti ini, aparat pemerintahan tidak boleh masa bodoh tetapi harus cepat tanggap dengan mengambil prakarsa untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Aparat juga harus mengakomodasi aspirasi masyarakat sekaligus menindaklanjutinya dalam bentuk peraturan/kebijakan, kegiatan, proyek atau program yang diusulkan. Wujud nyata dari prinsip tata pemerintahan yang responsif antara lain adalah penyediaan pusat pelayanan bagi keluhan masyarakat, pusat pelayanan masyarakat dalam hal -hal yang bersifat kritis dan gawat (crisis center), kotak saran, surat pembaca dan tanggapannya, dan berbagai bentuk tanggapan eksekutif dan legislatif dalam forum-forum pertemuan publik. 

4.    Tata pemerintahan yang bertanggung jawab/ bertanggung gugat (akuntabel)
Penerapan prinsip akuntabilitas atau bertanggung jawab/bertanggung gugat dalam penyelenggaraan pemerintahan diawali pada saat penyusunan program pelayanan publik dan pembangunan (program accountability), pembiayaannya (fiscal accountability), pelaksanaan, pemantauan dan penilaiannya (process accountability) sehingga program tersebut dapat memberikan hasil atau dampak seoptimal mungkin sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ditetapkan  (outcome accountability). Para penyelenggara pemerintahan menerapkan prinsip akuntabilitas dalam hubungannya dengan masyarakat/publik (outwards accountability), dengan aparat bawahan yang ada di dalam instansi pemerintahan itu sendiri  (downwards accountabi lity), dan kepada atasan mereka (upwards accountability). Berdasarkan substansinya, prinsip bertanggung jawab/bertanggung gugat mencakup akuntabilitas administratif seperti penggunaan sistim dan prosedur tertentu (administrative accountability), akuntabilitas hukum  (legal accountability), akuntabilitas politik antara eksekutif kepada legislatif (political accountability), akuntabilitas profesional seperti penggunaan metode dan teknik tertentu (professional accountability), dan akuntabilitas moral (ethical accountability). Apabila semua yang dikatakan di atas dapat terpenuhi, maka akan tumbuh kepercayaan kepada aparat dan keandalan lembaga pemerintahan yang ada.

5.    Tata pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas dan kompetensi
Di dalam pemberian pelayanan publik dan pembangunan dibutuhkan aparat pemerintahan yang memiliki kualifikasi kemampuan tertentu, dengan profesionalisme yang sesuai. Oleh karenanya, dibutuhkan upaya untuk menempatkan aparat secara tepat, dengan memperhatikan kecocokan antara tuntutan pekerjaan dengan kualifikasi kemampuan dan profesionalisme. Tingkat kemampuan dan profesionalisme aparat pemerintahan yang ada perlu selalu dinilai kembali, dan berdasarkan penilaian tersebut dilakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia sesuai tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab melalui pendidikan, pelatihan, lokakarya, dan sebagainya.
Wujud nyata dari prinsip kompetensi dan profesionalisme dapat dilihat dari upaya penilaian kebutuhan dan evaluasi yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan profesionalisme sumber daya manusia yang ada, dan dari upaya perbaikan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia. 

6.    Tata pemerintahan yang menggunakan struktur dan sumber daya secara  efisien dan efektif.
Agar dapat meningkatkan kinerja tata pemerintahan dibutuhkan dukungan struktur yang tepat. Oleh karena itu, pemerintahan baik pusat maupun daerah dari waktu ke waktu harus selalu menilai dukungan struktur yang ada, melakukan perubahan struktural sesuai dengan tuntutan perubahan seperti menyusun kembali struktur kelembagaan secara keseluruhan dan menyusun jabatan dan fungsi yang lebih tepat. Di samping itu, pemerintahan yang ada juga harus selalu berupaya mencapai hasil yang optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya yang tersedia secara efisien. Dalam konteks ini, harus ada upaya untuk selalu menilai tingkat efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia.

7.    Tata pemerintahan yang terdesentralisasi
Upaya mendelegasikan kewenangan pusat  kepada daerah untuk dapat mengurusi rumah tangganya telah dilakukan di seluruh Indonesia. Namun demikian, pendelegasian kewenangan tersebut harus juga dilakukan di daerah seperti pendelegasian wewenang oleh bupati kepada dinas-dinas atau badan/lembaga teknis yang ada di bawahnya, agar mereka memiliki keleluasaan yang cukup untuk memberikan pelayanan publik dan menyukseskan pembangunan di daerah.
Wujud nyata dari prinsip tata pemerintahan yang terdesentralisasi adalah pemberian kewenangan yang luas disertai sumberdaya pendukung kepada lembaga dan aparat yang ada di bawahnya untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah yang dihadapi.
 
8.    Tata pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada konsensus
Perumusan kebijakan  tentang pelayanan publik dan pembangunan di pusat dan daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Dalam konteks ini wakil-wakil rakyat di DPR/D diberi akses untuk secara aktif menyuarakan kepentingan masyarakat, dan menindaklanjuti aspirasi mereka sampai terwujud secara nyata. Keputusan-keputusan yang diambil, baik oleh lembaga eksekutif maupun legislatif, dan keputusan antara kedua lembaga tersebut harus didasarkan pada konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil benar-benar merupakan keputusan bersama. 
 
9.    Tata pemerintahan yang mendorong partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan agar penyelenggara pemerintahan dapat mengenal lebih dekat siapa masyarakat dan warganya berikut  cara pikir dan kebiasaan hidupnya, masalah yang dihadapinya, cara atau jalan keluar yang disarankannya, apa yang dapat disumbangkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, dan sebagainya. Kehadiran, keikutsertaan warga masyarakat dalam forum pertemuan publik, dan keaktifan mereka dalam menyumbangkan pikiran dan saran-saran menunjukkan bahwa urusan pemerintahan juga menjadi urusan mereka dan bukan semata urusan birokrat sebagaimana terjadi selama ini.
Meskipun demikian, harus diakui bahwa tidaklah mudah mengikutsertakan semua lapisan masyarakat dalam suatu forum sekaligus. Jalan keluar yang diusulkan adalah memberi akses kepada wakil-wakil dari berbagai lapisan masyarakat untuk berpartisipasi untuk menyuarakan kepentingan kelompok yang diwakilinya dan mengajukan usul serta pikiran dalam forum-forum pertemuan publik seperti musyawarah pembangunan tingkat desa dan konsultasi regional pembangunan.
Wujud nyata dari prinsip ini adalah pembentukan forum-forum atau mekanisme pengambilan kebijakan publik yang memberi akses yang lebih besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi, dan pemberian fasilitas berupa pelatihan atau lokakarya kepada wakil-wakil kelompok masyarakat agar mampu merumuskan masalah yang dihadapi kelompoknya dan mampu menemukan cara pengungkapan yang tepat dalam forum-forum atau saluran publik yang ada.

 10.     Tata pemerintahan yang mendorong kemitraan dengan swasta dan masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik, pembangunan masyarakat madani dan  khususnya dalam rangka otonomi daerah, peranan swasta dan masyarakat sangatlah penting. Karena itu, masyarakat dan sektor swasta harus diberdayakan lewat pembentukan kerjasama atau kemitraan antara pemerintah dengan swasta, pemerintah dengan masyarakat, dan antara swasta dengan masyarakat. Kemitraan ini harus didasarkan kepada kebutuhan yang riil  (demand driven). Sektor swasta seringkali sulit tumbuh karena mengalami hambatan birokratis seperti sulitnya memperoleh berbagai bentuk ijin dan kemudahan-kemudahan lainnya. Hambatan birokratis seperti ini harus segera diakhiri dengan pembentukkan pelayanan satu atap, pelayanan terpadu, dan sebagainya. Dengan demikian, wujud nyata dari prinsip ini adalah pembentukan kemitraan dan perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat dan sektor swasta. 

11.     Tata pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum
Dalam pemberian pelayanan publik dan pelaksanaan pembangunan seringkali terjadi pelanggaran hukum, seperti yang paling populer saat ini yaitu terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme, serta pelanggaran HAM. Dalam konteks ini, siapa saja yang melanggarnya harus diproses dan ditindak secara hukum atau sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Wujud nyata dari prinsip sup remasi hukum antara lain mencakup upaya pembentukan peraturan perundangan, pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum, penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum.
 
 12.     Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pengurangan kesenjangan
  Kesenjangan ekonomi yang sekaligus menunjukkan adanya kesenjangan tingkat kesejahteraan merupakan isu penting saat ini. Kesenjangan ekonomi yang meliputi kesenjangan antara pusat dan daerah, antardaerah, antargolongan pendapatan, merupakan salah satu penyebab lambatnya proses pemulihan ekonomi dewasa ini. Karena daerah-daerah dihuni oleh penduduk dari etnis bahkan juga agama yang berbeda, kesenjangan menjadi isu yang sangat rawan terhadap disintegrasi bangsa. Kesenjangan lain yang penting untuk diperhatikan adalah kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan seringkali mendapatkan perlakuan yang berbeda/diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengurangi berbagai kesenjangan ini, merupakan wujud nyata dari prinsip tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pengurangan kesenjangan.
 
13.     Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pasar
Pengalaman telah membuktikan bahwa campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi seringkali berlebihan sehingga akhirnya membebani anggaran belanja dan bahkan merusak pasar. Bantuan pemerintah untuk mengembangkan perekonomian masyarakat seringkali tidak diikuti oleh pembangunan atau pemantapan mekanisme pasar. Dalam jangka panjang bantuan tersebut menimbulkan distorsi dalam perekonomian serta meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat tertentu dari kegiatan ekonomi yang berbasis pada mekanisme pasar. Upaya pengaitan kegiatan ekonomi masyarakat dengan pasar baik di dalam  daerah maupun antardaerah merupakan contoh wujud nyata penerapan prinsip tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pasar.

 
14.     Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan hidup
Masalah lingkungan dewasa ini telah berkembang menjadi isu yang sangat penting baik pada tataran nasional maupun internasional. Hal ini berakar pada kenyataan bahwa daya dukung lingkungan semakin lama semakin menurun akibat pemanfaatan yang tidak terkendali. Lahan-lahan kritis semakin bertambah akibat pertumbuhan penduduk, penebangan hutan secara liar, pembakaran hutan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pada akhirnya, hal tersebut mendatangkan ancaman banjir, tanah longsor dan mengeringnya sumber air bagi penduduk.
Sementara di kota, pembangunan yang berorientasi pada industri menimbulkan masalah polusi udara, air, dan suara bagi penduduk kota, termasuk pelanggaran pihak tertentu untuk membangun pada daerah-daerah resapan air dan jalur hijau yang telah dilarang. Kewajiban penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan secara konsisten, program reboisasi, penegakan hukum lingkungan secara konsekuen, pengaktifan lembaga- lembaga pengendali dampak lingkungan merupakan contoh perwujudan tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto, (2006), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik,  Yogyakarta; Ghajah Mada University Pres.

Faisal Akbar,  (2003), Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, Medan; Pustaka Bangsa Press.

L.P. Sinambela,  (1992), Ilmu dan Budaya, Perkembangan Ilmu Administrasi Negara.

No comments:

Post a Comment