Oct 2, 2011

Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Peranan Guru

Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Peranan Guru
Oleh: Jajang Sulaeman, S.Pd.

-->
1.   Pengertian Guru
Istilah “guru” memiliki pengertian yang begitu luas, sehingga begitu banyak para ahli pendidikan yang memberikan batasan secara bervariasi tergantung cara pandang dan titik tolak yang dipergunakannya. Namun demikian, semua pengertian tersebut senantiasa memiliki esensi yang sama tentang hakikat dari pengertian guru.
Secara umum dapat dikatakan bahwa guru adalah sosok orang yang memiliki kelebihan, baik dalam hal ilmu pengetahuan maupun kepribadiannya, yang berusaha secara sadar dan sengaja untuk mentransfer kelebihan tersebut kepada satu atau beberapa orang yang menjadi muridnya. Pengertian ini lebih mengarah pada pengertian secara sosiologis, dimana guru menjadi salah satu status sosial dalam diferensiasi sosial. Selain itu pengertian itu lebih bersifat informal, dimana setiap orang bisa meraih kedudukan sebagai guru, dengan syarat memiliki kelebihan tertentu dan berkehendak mentransfer kelebihan itu kepada orang lain yang menjadi muridnya.

Dalam pengertian yang formal, guru merupakan tenaga professional dalam bidang pendidikan dan pembelajaran. Dalam Undang-Undang RI  Nomor : 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 39 ayat (2) dikemukakan bahwa guru adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat”.
Sehubungan dengan proses pembelajaran, istilah “guru” mengandung pengertian sebagai salah satu unsur manusiawi yang menentukan bagi pelaksanaan proses pembelajaran. Hal ini dikemukakan oleh Sardiman A.M., 1992 : 123, bahwa, “Guru ialah komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan”.
Dari kedua pengertian di atas muncul pula sebutan atau istilah lain dari guru. Terkait dengan tugas profesinya, maka guru sering juga disebut sebagai pendidik, pengajar, pembimbing dan pelatih. Guru adalah pendidik dengan tugas inti mendidik, yakni meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup (transfer of values). Guru adalah pengajar dengan tugas pokok mengajar, yakni meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (transfer of knowledge and technology). Guru adalah pembimbing dengan tugas utama memberikan bimbingan, yakni memberikan pengarahan dan tuntunan kepada siswa dalam proses pembelajaran. Guru adalah pelatih dengan tugas inti memberikan latihan, yakni mengembangkan berbagai kecakapan dan keterampilan kepada para siswa.
Dari pengertian di atas tersirat bahwa “guru” merupakan suatu jabatan profesional yang memerlukan keahlian dan figur kepribadian yang khusus. Oleh karena itu tidak semua orang dapat dengan mudah menjadi guru.
Secara filosofis istilah “guru” memiliki arti dan makna yang sangat mendalam dan ideal. Istilah “guru” terbentuk dari dua kata, yakni “digugu” dan “ditiru”. Digugu mengandung arti dan makna bahwa seorang guru harus mampu menunjukkan segala perkataannya yang mengandung ilmu pengetahuan dan kebajikan, sehingga layak dan harus digugu oleh orang lain. Perkataan guru harus gugu, karena setiap perkataan guru adalah ilmu dan kebijakan yang dijamin kebenaran dan kebaikannya. Ditiru mengandung arti dan makna bahwa segala sikap, perilaku dan tindakan guru harus mencerminkan sesuatu yang patut untuk diteladani oleh orang lain. Oleh karena itu, sosok guru bukan hanya orang yang memiliki kualitas keilmuan, tetapi juga menunjukkan kualitas kepribadian yang layak untuk ditiru.
 Dalam cara pandang yang lebih luas lagi dan lebih menitik beratkan pada esensinya, maka dikatakan pula bahwa istilah “guru” itu mengandung pengertian yang mencakup segala sesuatu yang dapat memberikan pengalaman belajar. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh A. Kosasih Djahiri, 1992 : 11, bahwa, “Pengertian guru secara luas meliputi setiap hal yang mampu memberikan pengalaman belajar pada manusia, maka karenanya dia dapat berupa orang, hal-hal yang material (kebendaan) atau non-material seperti keadaan, norma, aturan, dan lain-lain”. Dari pengertian yang lebih luas ini, maka begitu banyak hal  yang dapat berperan sebagai guru. Dari perspektif inilah kemudian muncul bahwa pengalaman adalah guru yang paling besar (experience is the big teacher).
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan, bahwa istilah “guru” memiliki banyak pengertian, tergantung dari mana kita memandangnya. Dalam penelitian ini istilah “guru” lebih ditekankan pada pengertian secara formal, yakni suatu jabatan profesional dalam dunia pendidikan, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Sisdiknas di atas.

2.   Guru Sebagai Tenaga Profesional
Pada pembahasan tentang pengertian guru telah dikemukakan bahwa istilah “guru” mengandung arti sebagai jabatan profesional. Oleh karena itu pekerjaan guru adalah suatu profesi.
Berkaitan dengan pengertian profesi, Sardiman A.M., 1992 : 131, mengemukakan bahwa :
“Secara umum profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut di dalam science dan teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat. Pekerjaan profesional akan senantiasa menggunakan teknik dan prosedur yang berpijak pada landasan intelektual yang harus dipelajari secara sengaja, terencana dan kemudian dipergunakan demi kemaslahatan orang lain”.

Sedangkan menurut Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (IPSI), Engkoswara, 1991 : 3-4, bahwa :
“Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (expertise) dari para anggotanya. Artinya pekerjaan itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut. Keahlian diperoleh melalui profesionalisasi yang dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi itu (pendidikan/latihan prajabatan) maupun setelah menjalani suatu profesi (in-service training).”

Dari kedua pengertian di atas jelas, bahwa jabatan guru sebagai suatu profesi tidak dapat diperoleh dengan mudah oleh sembarang orang. Seseorang akan dapat menduduki profesi sebagai seorang guru harus melawati suatu proses yang disebut dengan profesionalisasi. Dalam kaitan ini H. Djam’an Satori, 1988 : 42, mengemukakan bahwa, “Profesionalisasi adalah upaya sistematis untuk mengembangkan suatu pekerjaan/jabatan berdasarkan norma-norma profesional dalam mengukur tingkat produktivitas, efektivitas dan efisiensi pekerjaan”.
Proses profesionalisasi itu bisa dilakukan sebelum atau sesudah seseorang menjalani suatu profesi. Adapun perbedaan dari keduanya dijelaskan oleh Engkoswara, 1991 : 4, sebagai berikut :
“Jika dalam masa pendidikan/pelatihan prajabatan itu profesionalisasi lebih banyak ditentukan oleh lembaga dengan berpegang pada        kaidah-kaidah akademik dan latihan yang standar, maka setelah      bekerja profesionalisasi lebih banyak tergantung kepada setiap      individu profesional tersebut – apakah ia/mereka mau meningkatkan profesionalitasnya (skills yang ditampilkan) dan profesionalismenya (komitmen pada profesi), apakah ia ma uterus belajar, bergaul secara akrab dengan rekan sejawatnya untuk saling member dan menerima dalam suatu iklim kesejawatan dan kebersamaan”.

Dengan demikian untuk menjadi guru yang profesional mesti mengikuti proses profesionalisasi, sehingga dalam setiap sosok guru akan diperoleh beberapa ciri utama profesi. Dalam rangkaian kegiatan seminar tentang pendidikan profesional tenaga kependidikan yang diselenggarakan oleh FPS IKIP Bandung dari bulan Juni sampai Oktober 1990 dimana berbicara sejumlah ahli/profesional dalam bidang kedokteran, kekonsultanan, kemiliteran, nnovato, wartawan, pendidikan, konseling dan pengelola pendidikan. Dari penyajian dan pembahasan para profesional tersebut diperoleh beberapa kesimpulan tentang ciri-ciri utama profesi, yaitu :
a.    Memiliki fungsi dan signifikasi sosial yang krusial.
b.    Adanya tuntutan penguasaan keahlian/keterampilan sampai tingkatan tertentu.
c.    Pemerolehan keahlian/keterampilan pada butir b, bukan hanya dilakukan secara rutin, tetapi melalui pemecahan masalah atau penanganan situasi kritis melalui penggunaan metode ilmiah.
d.   Suatu profesi memiliki batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematis dan eksplisit.
e.    Penguasaan profesi membutuhkan masa pendidikan yang relatif lama, pada jenjang perguruan tinggi. Menurut Encyclopedia Americana No. 28, suatu jabatan atau pekerjaan profesional, minimal mendapat pendidikan 4 tahun setelah SLTA.
f.     Proses pendidikan yang ditempuh juga merupakan wahana bagi sosialisasi nilai-nilai profesional di kalangan siswa/mahasiswa yang mengikutinya.
g.    Dalam memberikan pelayanan kepada masyrakat/klien, seorang profesional berpegang teguh kepada kode etik, yang pelaksanaannya dikontrol oleh organisasi profesi, dan setiap pelanggaran kode etik dapat dikenakan sanksi.
h.    Anggota suatu profesi mempunyai kebebasan untuk menetapkan judgementnya sendiri dalam menghadapi atau memecahkan sesuatu dalam lingkup kerjanya.
i.      Tanggung jawab profesional adalah komitmen kepada profesi berupa pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat/klien (pelaksanaan profesi sebaik-baiknya) dan praktek profesional ini otonom dari campur tangan pihak luar.
j.      Sebagai imbalan dari proses pendidikan dan latihannya yang lama dan komitmen kepada seluruh jasa/pekerjaannya, seorang profesional mempunyai prestise yang tinggi di masyarakat dan karenanya berhak mendapatkan imbalan yang layak. Engkoswara, 1992 : 5-6.
Sehubungan dengan profesionalisme seseorang, Wolmer dan Mills mengemukakan bahwa :
Pekerjaan itu baru dikatakan sebagai suatu profesi, apabila memenuhi kriteria atau ukuran-ukuran sebagai berikut :
1.    Memiliki spesialisasi dengan latar belakang teori yang luas, maksudnya :
a.    Memiliki pengetahuan umum yang luas.
b.   Memiliki keahlian khusus yang mendalam.
2.    Merupakan karier yang dibina secara organisatoris, maksudnya :
a.    Adanya keterikatan dalam suatu organisasi profesional.
b.   Memiliki otonomi jabatan.
c.    Memiliki kode etik jabatan.
d.   Merupakan karya bakti seumur hidup.
3.    Diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status profesional, maksudnya :
a.    Memperoleh dukungan masyarakat.
b.   Mendapat pengesahan dan perlindungan hukum.
c.    Memiliki persyaratan kerja yang sehat.
d.   Memiliki jaminan hidup yang layak.

Pekerjaan sebagai guru merupakan suatu profesi, sehingga memerlukan adanya profesionalisasi dalam pendidikan. Hal ini didasarkan pada beberapa asumsi sebagaimana dikemukakan oleh Engkoswara, 1992 : 6-7, yang penulis simpulkan sebagai berikut :
a.    Subjek pendidikan adalah manusia dengan segala potensialnya untuk berkembang, sehingga pendidikan harus dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yakni menghargai martabat manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi dan perasaan.
b.    Dalam melakukan aktivitasnya, pendidikan dilakukan secara sadar dan bertujuan, jadi intensional, tidak dilakukan secara random. Oleh karena ada unsur tujuan, maka pendidikan menjadi normatif, diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai, baik yang bersifat universal maupun nasional dan lokal yang menjadi acuan pelaku pendidikan, yaitu pendidik dan peserta didik.
c.    Oleh karena yang dihadapi oleh pendidik adalah manusia dengan segala teka-tekinya (enigma), maka ada teori-teori pendidikan yang merupakan jawaban kerangka hipotesis tentang bagaimana seharusnya pendidikan dilakukan.
d.   Dalam memandang manusia, pendidikan bertolak dari asumsi yang positif tentang potensi manusia. Potensi yang baik itulah yang harus dikembangkan, yang oleh Norton ,1977, disebut sebagai “daimon”, yakni suatu potensi yang unggul pada diri manusia (a potential axcellence in personhood). Pendidikan jadinya merupakan usaha mengembangkan potensi manusia yang baik (educations as development).
e.    Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yaitu situasi pendidikan yang memungkinkan terjadinya dialog antara pendidik dan terdidik. Dialog memungkinkan terdidik untuk tumbuh kea rah tujuan yang dikehendaki oleh pendidik yang selaras dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
f.     Tujuan utama pendidikan terletak pada dimensi intrinsiknya, yakni menjadikan manusia sebagai manusia yang baik.
Guru sebagai tenaga profesional dengan segala ciri, kriteria dan persyaratannya akan membawa konsekuensi yang esensial terhadap program pendidikan, terutama yang berkenaan dengan komponen tenaga kependidikan. Salah satu konsekuensi itu di antaranya berkenaan dengan accountability dari program pendidikan itu sendiri.
Sehubungan dengan akuntabilitas tersebut, maka guru dituntut memiliki kualifikasi profesional yang lebih memadai. Secara garis besar ada tiga tingkatan kualifikasi profesional guru sebagai tenaga profesional kependidikan. Dalam hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sardiman A.M. 1992 : 133, yang penulis simpulkan sebagai berikut :
a.    Capable personal, maksudnya guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan keterampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai, sehingga mampu mengelola proses belajar mengajar secara efektif.
b.    Guru sebagai innovator, yakni sebagai tenaga kependidikan yang memiliki komitmen terhadap upaya perubahan dan reformasi. Para guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan keterampilan serta sikap yang tepat terhadap pembaharuan dan sekaligus merupakan penyebar ide pembaharuan yang efektif.
c.    Guru sebagai developer, yakni harus memiliki visi keguruan yang mantap dan luas perspektifnya. Guru harus mau dan mampu melihat jauh ke depan dalam menjawab tantangan yang dihadapi oleh sektor pendidikan sebagai suatu sistem.
Berdasarkan uraian di atas cukup memberikan gambarang tentang guru sebagai tenaga profesional. Untuk dapat menjadi guru tidak bisa semabarang orang, melainkan mesti orang yang telah melalui proses profesionalisasi, sehingga memiliki pengetahuan, keahlian dan keterampilan dalam bidang kependidikan. Di samping itu juga harus mampu memenuhi beberapa kriteria, syarat serta memiliki ciri-ciri sebagai seorang profesional.

3.   Tugas dan Fungsi Guru
Guru sebagai tenaga profesional harus mempunyai kemahiran khusus, karena dalam pelaksanaannya akan dihadapkan pada tugas khusus. Dalam kaitan ini Moh. Uzer Usman, 1990 : 4, mengemukakan, bahwa “Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa”.
Selanjutnya Sardiman A.M. 1992 : 135, memberikan penjelasan sebagai berikut :
“Seorang dikatakan sebagai guru tidak cukup “tahu” sesuatu materi yang akan diajarkan, tetapi pertama kali ia harus merupakan seseorang yang memang memiliki “kepribadian guru”, dengan segala ciri tingkat kedewasaannya. Dengan kata lain bahwa untuk menjadi pendidik atau guru, seseorang harus berpribadi. Masalahnya yang penting adalah mengapa guru itu dikatakan sebagai “pendidik”. Guru memang seorang “pendidik”, sebab dalam pekerjaannya ia tidak hanya “mengajar” seseorang agar tahu beberapa hal, tetapi juga melatihkan beberapa keterampilan dan terutama sikap mental anak didik. “Mendidik” sikap mental seseorang tidak cukup hanya “mengajarkan” sesuatu pengetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan itu harus dididikkan, dengan guru sebagai idolanya”.

Dengan demikian cukup jelas bahwa guru bukan hanya bertugas memberikan latihan keterampilan dan mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi yang paling pokok adalah menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada peserta didik. Dalam tugas yang terakhir inilah yang dirasakan cukup berat, dimana guru harus mempu tampil sebagai figur pribadi yang layak untuk diteladani oleh peserta didik pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Dari ketiga tugas pokok di atas, yakni mendidik, mengajar dan melatih, maka dalam pelaksanaannya guru tidak lepas melakukan kegiatan bimbingan. Oleh karena itu pula guru sering dikatakan berfungsi sebagai pembimbing. Sehubungan dengan hal ini Sardiman A.M. 1992 : 138, menjelaskan :
“Membimbing dalam hal ini dapat dikatakan sebagai kegiatan menuntun anak didik dalam perkembangannya dengan jalan memberikan lingkungan dan arah yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Sebagai pendidik, guru harus berlaku membimbing, dalam arti menuntun sesuai dengan kaidah yang baik dan mengarahkan perkembangan anak didik sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan, termasuk dalam hal ini, yang penting ikut memecahkan persoalan-persoalan atau kesulitan yang dihadapi anak didik. Dengan demikian diharapkan dapat menciptakan perkembangan yang lebih baik pada diri siswa, baik perkembangan fisik maupun mental”.

Bila kita teliti secara lebih mendalam dari uraian di atas terdapat dua aspek penting dalam tugas guru ini, yakni ada aspek formal atau kedinasan dan aspek moral atau dedikasi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sardiman A.M. 1992 : 138, bahwa, “Guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pembimbing, minimal ada dua fungsi, yakni fungsi moral dan fungsi kedinasan”.
Kedua aspek atau fungsi tersebut harus homogen menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam menjalankan tugasnya, guru harus memiliki dasar formal yang jelas serta dilandasi dengan jiwa dedikasi atau pengabdian yang tinggi.
Tugas dan fungsi guru tidak terbatas hanya dalam hubungannya dengan peserta didik di lingkungan pendidikan tertentu, tetapi guru juga memiliki tugas dalam bidang kemanusiaan. Dalam konteks inilah guru dituntut mampu menampilkan kepribadian yang unggul, sehingga masyarakat akan memandangnya sebagai orang terhormat dan layak untuk dijadikan panutan dan teladan. Sosok guru inilah yang akan mengantarkan pada pengertian mendalam bahwa guru adalah orang yang layak untuk digugu dan ditiru.




4.   Peranan Guru
Istilah “guru” menunjukkan pada suatu status (kedudukan) seseorang pada bidang pendidikan, yang di dalamnya terkandung hak-hak dan kewajiban yang harus diperankan. Dengan perkataan lain, secara sosiologis istilah “guru” merupakan suatu status sosial yang dapat dicapai oleh setiap orang melalui usaha yang disengaja.
Soerjono Soenkanto, 1990 : 268, mengemukakan bahwa, “Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan.” Dengan demikian, yang dimaksud dengan peranan guru merupakan aspek dinamis dari statusnya sebagai guru, yakni melaksanakan hak dan kewajibannya.
Sebagai aspek yang dinamis, peranan guru secara konkrit akan terwujud dalam berbagai tindakan guru yang seluruh peranannya diarahkan pada pendewasaan pribadi peserta didiknya. Menurut Wrightman yang dikutip oleh Moh. Uzer Usman, 1990 : 1, dikemukakan bahwa, “Peranan guru adalah serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan, yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya.”
Sehubungan dengan peranan guru secara umum telah banyak dikemukakan oleh ahli pendidikan. Di antaranya Sardiman A.M. 1992 : 158, mengemukakan bahwa:
“Untuk melaksanakan tugasnya secara operasional, maka guru memiliki beberapa peranan antara lain sebagai : informatory, organisator, motivator, fasilitator, mediator, konselor, evaluator. Dalam kaitan ini perlu diciptakan hubungan baik antara guru dengan siswa termasuk pengembangan hubungan secara informal dan contact hours”.

Prey Katz menggambarkan peranan guru sebagai komunikator, sahabat yang dapat memberikan nasihat-nasihat, motivator sebagai pemberi inspirasi dan dorongan, pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkah laku serta nilai-nilai, orang yang menguasai bahan yang diajarkan. Sardiman A.M., 1992 : 141.
James W. Brown mengemukakan bahwa tugas dan peranan guru antara lain : menguasai dan mengembangkan materi pelajaran, merencana dan mempersiapkan pelajaran sehari-hari, mengontrol dan mengevaluasi kegiatan siswa. Sardiman A.M., 1992 : 142.
Sedangkan Federasi dan Organisasi Guru Sedunia mengungkapkan bahwa peranan guru di sekolah, tidak hanya sebagai transmitter dari ide tetapi juga berperan sebagai transformer dan katalisator dari nilai dan sikap. Sardiman A.M., 1992 : 142.
Berkenaan dengan Pendidikan Kewarganegaraan, A. Kosasih Djahiri, 1988 : 95, mengemukakan beberapa peranan guru yaitu :
1)   Perencana (instructional planner/developer).
2)   Pelaksana sub. 1 dan misi profesionalnya.
3)   Motivator, pemberi gairah, semangat dan dorongan untuk belajar.
4)   Pemberi hadiah (rewarder) ke arah peningkatan sub. 1 dan kepuasan harga diri siswa.
5)   Evaluator, menilai tingkat keberhasilan dan kekurangan seluruh komponen/aspek pengajarannya (bukan hanya hasil belajar).
6)   Administrator, pengelola administrasi akademik pelajarannya.
7)   Pengelola atau manager, yang mampu menangani, mengelola serta menguasai kelasnya.
8)   Pengambil keputusan yang arif – bijaksana – objektif dan tepat guna.

Dari beberapa pendapat di atas cukup memberikan suatu gambaran bahwa salah satu peranan guru adalah sebagai motivator, dengan tugas sebagai pemberi dorongan terhadap kegiatan belajar siswa secara optimal. Beberapa peranan guru tersebut dapat penulis kemukakan secara rinci sebagai berikut :
a.    Informator
Dalam hal ini guru berperan sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum. Dalam pada itu berlaku teori komunikasi yakni teori stimulus – respons, teori dissonance – reduction, dan teori pendekatan fungsional.
b.    Organisator
Dalam hal ini guru berperan sebagai pengelola kegiatan belajar mengajar, silabus/kurikulum, workshop, jadwal pelajaran, dan lain-lain. Komponen-komponen yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar, semuanya diorganisir sedemikian rupa, sehingga dapat mencapai efektivitas dan efisiensi yang optimal.
c.    Motivator
Penjelasan secara teoritis tentang peranan guru sebagai motivator akan dijelaskan secara tersendiri di depan.


d.    Direktor
Jiwa kepemimpinan bagi guru dalam peranan ini lebih dominan, dimana ia harus mampu membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
e.    Inisiator
Guru dalam hal ini sebagai pencetus ide-ide dalam proses belajar. Sudah barang tentu ide-ide itu merupakan ide-ide kreatif yang dapat dicontoh oleh anak didiknya. Jadi termasuk pula dalam lingkup semboyan “ing ngarso sung tulodo”.
f.     Transmitter
Dalam kegiatan belajar, guru juga akan bertindak selaku penyebar kebijaksanaan pendidikan dan pengetahuan, terutama yang berkaitan dan penting bagi perkembangan peserta didiknya.
g.    Fasilitator
Guru dalam hal ini harus mampu memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar mengajar. Misalnya saja dengan menciptakan suasana kegiatan belajar yang sedemikian rupa, serasi dengan perkembangan siswa, sehingga interaksi belajar mengajar akan berlangsung secara efektif. Hal ini bergayut dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”.
h.   Mediator
Guru harus mampu berperan sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa. Misalnya menengahi atau memberikan jalan keluar bila ada kesulitan yang dihadapi siswa dalam belajar. Mediator juga diartikan sebagai penyedia media, yakni bagaimana mengadakan, mengorganisasikan dan menggunakan media pembelajaran.
i.      Evaluator
Dalam hal ini guru harus mampu merencanakan dan melaksnakan penilaian secara utuh, komprehensif dan berkesinambungan berkenaan dengan tingkat pencapaian proses pembelajaran. Penilaian ini bukan hanya mengukur hasil belajar siswa, tetapi juga menilai produktivitas berbagai unsur proses pembelajaran, termasuk cara mengajar guru. Dengan demikian hasil penilaian akan berfungsi sebagai masukan, baik bagi guru, siswa, orang tua siswa dan siapapun yang berpentingan.

5.   Peranan Guru Sebagai Motivator
Proses pembelajaran merupakan kegiatan inti dalam pendidikan di sekolah, dimana akan terjadi proses interaksi edukatif di antara berbagai komponen pembelajaran. Proses tersebut dilakukan secara sadar dan sengaja (bertujuan) untuk mengantarkan peserta didik kea rah kedewasaannya.
Dalam proses pembelajaran terdapat dua unsur manusiawi, yakni siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar, dalam proses mana siswa merupakan subjek utamanya.
Suatu proses pembelajaran harus ditandai oleh adanya aktivitas siswa secara aktif, sedangkan guru berperan sebagai pembimbing yang berusaha membina dan memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi yang terarah. Dalam hubungan ini Sardiman A.M. 1992 : 142, mengemukakan bahwa :
“Peranan guru sebagai motivator ini penting artinya dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar siswa. Guru harus dapat merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas), sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar mengajar”.

Dalam peranannya sebagai motivator, seorang guru secara profesional harus mampu membina, meningkatkan dan mengembangkan motivasi belajar siswa. Keterlaksanaan dan keberhasilan dari peranan ini akan menjadi suatu indikator penting dari kedudukannya secara profersional serta akan menentukan aktivitas dan keberhasilan belajar siswa.
Dalam konteks proses pembelajaran PKn sebagai pendidikan nilai, moral dan norma, A. Kosasih Djahiri, 1989 : 24, mengemukakan :
“Guru harus pandai mendorong motivasi siswa untuk terbuka dan kreatif, responsif, transaktif, interaktif, evaluatif. Seluruh potensi atau organism diri siswa harus berdialog baik secara internal maupun dengan potensi lainnya. Sehingga proses belajar nilai, moral dan norma dirasakan menarik dan merangsang dan mereka merasakan turut terlibat melakoni apa yang disampaikan guru”.

Dengan demikian, proses pembelajaran yang sering dikatakan bersifat teoritis dan menjenuhkan akan mampu menjadi suatu proses pembelajaran yang kontekstual serta membangkitkan motivasi peserta didik untuk belajar secara optimal. Hal ini akan mungkin terjadi apabila guru benar-benar mampu menjalankan peranannya sebagai motivator secara maksimal.

No comments:

Post a Comment